A.
Pengertian dan Keutamaan
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh
suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal
dari bahasa
Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Tiga
pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa
akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan
perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Diantara
keutamaan Akhlak adalah :
Pertama : Akhlak yang baik termasuk tanda kesempurnaan iman seseorang,
sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang-orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (Dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’, No. 1241)
Kedua : Dengan akhlak yang baik, seorang hamba akan bisa mencapai derajat
orang-orang yang dekat dengan Allah Ta’ala, sebagaimana penjelasan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: ”Sesungguhnya seorang
mukmin dengan akhlaknya yang baik bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan
qiyamul lail.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul
Jami’, No. 1937)
Ketiga : Akhlak yang baik bisa menambah berat amal kebaikan seorang hamba di
hari kiamat, sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak
ada sesuatu yang lebih berat ketika diletakkan di timbangan amal (di hari
akhir) selain akhlak yang baik.” (Shahihul Jami’, No. 5602)
Keempat : Akhlak yang baik merupakan sebab yang paling banyak memasukkan
manusia ke dalam surga. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah ketika
ditanya tentang apa yang bisa memasukkan manusia ke dalam surga. Beliau
menjawab: “Bertakwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (Riyadhus
Shalihin)
Apa yang dimaksud akhlak
yang baik itu ?
Imam Hasan Al-Bashri
berkata : “Akhlak yang baik diantaranya: menghormati, membantu dan
menolong.” Ibnul Mubarak berkata: “Akhlak yang baik adalah:
“berwajah cerah, melakukan yang ma’ruf dan menahan kejelekan (gangguan).” Imam
Ahmad bin Hambal berkata: “Akhlak yang baik adalah jangan marah dan dengki.”
Al-Imam Muhammad bin Nashr
mengatakan: “Sebagian ulama berkata: Akhlak yang baik adalah menahan
marah karena Allah, menampakkan wajah yang cerah berseri kecuali kepada ahlul
bid’ah dan orang-orang yang banyak berdosa, memaafkan orang yang salah kecuali
dengan maksud untuk memberi pelajaran, melaksanakan hukuman (sesuai
syari’at Islam) dan melindungi setiap
muslim dan orang kafir yang terikat janji dengan orang Islam kecuali untuk mengingkari kemungkaran, mencegah kedzaliman terhadap
orang yang lemah tanpa melampaui batas.”(Iqadhul Himam, hal. 279)
B.
Memperbaiki Akhlak seorang
Hamba Allah
Akhlak seorang hamba itu
bisa baik bila mengikuti jalannya (sunnahnya) Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam, sebab beliaulah orang yang terbaik akhlaknya. Allah Ta’ala berfirman:“Dan
sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam:
4). Allah Ta’ala juga menegaskan: “Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yakni) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (datangnya) hari kiamat, dan dia banyak menyebut
Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Maka sudah selayaknya bagi
setiap muslim mempelajari riwayat hidupnya dari setiap sisi kehidupan beliau
(secara menyeluruh), yakni bagaimana beliau beradab dihadapan Rabbnya,
kelurganya, sahabatnya dan terhadap orang-orang non muslim.
Salah satu cara untuk
mempelajari itu semua adalah sering duduk (bergaul) dengan orang-orang yang
bertakwa. Sebab seseorang itu akan terpengaruh dengan teman duduknya. Nabi
bersabda: “Seseorang itu dilihat dari agama teman dekatnya. Karena itu
lihatlah siapa teman dekatnya.”(HR Tirmidzi)
Kemudian wajib juga bagi
setiap muslim untuk menjauhi orang yang jelek akhlaknya. Mudah-mudahan dengan
begitu kita termasuk hamba-hamba Allah yang menghiasi diri kita dengan akhlak
yang baik.
C.
Macam – macam Nilai Akhlak dan Sumbernya
Seperti yang telah diketahui bahwa timbulnya
kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap Allah SWT adalah ukuran yang
menentukan corak hidup manusia. Akhlak atau moral adalah
pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Tiap-tiap perbuatan
adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang
tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang
kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah
kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau
merasakan diri sendiri berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah hal yang
membedakan khalal dan kharam, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan.
Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut dan tidak patut,
karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang
sebagai subjek bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan
sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami
perbuatannya dia bisa dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan itu.
Akhlak baik lambang akidah
yang murni
Rasulullah Shallalllahu
‘alaihi wa sallam diutus untuk mengajak manusia agar beribadah hanya kepada
Allah Azza wa Jalla sahaja dan memperbaiki akhlak manusia. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang baik.” Sesungguhnya antara akhlak dengan ‘aqidah terdapat hubungan
yang sangat kuat sekali. Ini kerana akhlak yang baik sebagai bukti dari
keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman, semakin
sempurna akhlak seorang Muslim bererti semakin kuat imannya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Kaum
Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di
antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik
kepada isteri-isterinya.”
Akhlak yang baik adalah
sebahagian dari pada amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki nilai yang berat
di dalam timbangan. Pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan akhlak yang baik adalah salah satu penyebab seseorang
untuk dapat masuk Syurga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Maha Pemurah menyukai kedermawanan dan akhlak yang mulia serta
membenci akhlak yang rendah/hina.”
Sungguh akhlak yang mulia
itu meninggikan darjat seseorang di sisi Allah, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam“Sesungguhnya seorang Mukmin dengan akhlaknya yang
baik, akan mencapai darjat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan shalat di
tengah malam.”
Akhlak yang mulia dapat
menambah umur dan menjadikan rumah makmur, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:“… Akhlak
yang baik dan bertetangga yang baik keduanya menjadikan rumah makmur dan
menambah umur.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
paling baik akhlaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sebutkan dalam
firman-Nya:
Begitu pula para Sahabat
Radhiyallahu ‘anhum, mereka adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya
setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di antara akhlak
Salafush Shalih Radhiyallahu ‘anhum, yaitu:
a.
Ikhlas dalam ilmu dan amal
serta takut dari riya’.
b.
Jujur dalam segala hal dan
menjauhkan dari sifat dusta.
c.
Bersungguh-sungguh dalam
menunaikan amanah dan tidak khianat.
d.
Menjunjung tinggi hak-hak
Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
e.
Berusaha meninggalkan
segala bentuk kemunafikan.
f.
Lembut hatinya, banyak
mengingat mati dan akhirat serta takut terhadap akhir kehidupan yang
jelek (su’ul khatimah).
g.
Banyak berdzikir kepada
Allah Azza wa Jalla, dan tidak berbicara yang sia-sia.
h.
Tawadhdhu’ (rendah hati)
dan tidak sombong.
i.
Banyak bertaubat,
beristighfar (mohon ampun) kepada Allah, baik siang maupun malam.
j.
Bersungguh-sungguh dalam
bertaqwa dan tidak mengaku-ngaku sebagai orang yang bertaqwa, serta senantiasa
takut kepada Allah.
k.
Sibuk dengan aib diri
sendiri dan tidak sibuk dengan aib orang lain serta selalu menutupi aib orang
lain.
l.
Senantiasa menjaga lisan
mereka, tidak suka ghibah (tidak mengumpat sesama Muslim).
m.
Pemalu.
D.
Membina Pribadi :
1.
Perbaikan akhlak
Jiwa seseorang yang merasa
jauh dari Tuhan, merasa ada pembatas untuk dekat kepadaNya, perlu dilakukan
perbaikan akhlak. Imam Al Ghazali berkata bahwa tujuan perbaikan
akhlak itu adalah untuk membersihkan kalbu dari kotoran hawa nafsu dan amarah (
hasrat jahat ) sehingga hati menjadi bersih bagaikan cermin yang dapat menerima
dan memantulkan Nur ( hidayah ) Allah.
2.
Sabar
Sabar merupakan bagian dari jihad an nafs,
perjuangan jiwa melawan hawa amarah, untuk kembali/ inabah kepada Allah yaitu
mencapai kesucian. Sekali lagi Imam Ghazali berkata bahwa Sabar ialah
meninggalkan segala macam pekerjaan yang digerakkan oleh hawa nafsu, kembali
tetap pada pendirian agama yang sering bertentangan dengan kehendak nafsu,
dengan tujuan semata mata demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ(45)الَّذِينَ يَظُنُّونَ
أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`, (yaitu)
orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka
akan kembali kepada-Nya.”( Al Baqarah )
Seorang Filosof berkata,
ilmu saja belum cukup untuk mendapatkan keutamaan dalam hidup tanpa harus
memiliki kesabaran. Kaum sufi
membagi kesabaran itu kepada :
·
sabar dalam berbuat taat
·
sabar dalam menjalankan kewajiban
·
sabar dalam beberapa
bagian yakni kedua-duanya
Sabar dapat pula dibagi
berdasar hukum ;
·
sabar menghindari yang
haram, hukumnya wajib
·
sabar menghindari yang
makruh hukumnya sunat
·
Sabar menjalani hukum bila
bebuat salah hukumnya harus
·
Sabar membela
kehormatan atau hak, ini dinamai sabar syaja'ah.
Dalam menghadapi kehidupan
ini, apapun bentuk kesulitannya sabar menjadi kunci sukses menhadapinya. Orang
yang sbar mendapat penghargaan tersendiiri dari Allah swt. sebagaimana pada
ayat berikut ini .
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا
وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَام
“Mereka itulah orang yang
dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan
mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya,” Al Furqan : 75
3.
Syukur
Sudah selaknya seorang
muslim senatiasa bersyukur kapada Allah atas segala nikmatNya. Orang sufi
mengajarkan bahwa sifat syukur itu terpui dan dipuji olah Allah SWT.
Syukur perlu diwujudkan
dalam sikap dan prilaku bukan hanya dengan rasa dan kata semata. Salah satu
makna syukur ialah keadaan seseorang mempergunakan nikmat yang diberikan oleh
Allah untuk berbuat kebajikan, kebajiakn disini adalah hal ihwal yang diridhai
oleh Allah swt. Kesyukuran bukan untuk Allah tetapi lebih kepada kebajikan
orang yang bersyukur itu sendiri, namun sedikit orang yang mau bersyukur
اعْمَلُوا ءَالَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ
عِبَادِيَ الشَّكُورُ
… Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur
(kepada Allah). Dan sedikit sekali dari
hamba-hambaKu yang berterima kasih. ( Saba 13 )
4.
Ridha dan Qadha
Sabar, syukur dan ridha adalah tiga sifat
terpuji yang sangat bernilai tinggi dapat membawa orang kepada kondisi berbudi
luhur dan mulia. merupakan pendorong seseorang untuk memperoleh kemauan yang
kuat dan berjiwa besar serta bertanggungjawab atas segala
perbuatannya. Orang yang memiliki sifat ridha tidak mudah bimbang atau
kecewa atas pengorbanan yang ia lakukan, mapan menghadapi kekurangan dalam hidup
, tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang dimiliki oang lain.
Dalam salah satu hadis
qudsi Nabi menceriterakan :
قال الله تعالى : إنني أنا الله لاإله الا
أنا من لم يصبر على بلائ ولم يشكر لنعمائ ولم يرض بقضاءى فليخرج من تحت
سمائي وليطلب ربا سواي
Tuhan berfirman :
Akulah Allah tiada Tuhan selain Aku maka barangsiapa tidak sabar atas
cobaanku dan tidak syukur atas nikmatKu dan tidak ridha atas ketentuanKu maka
hendaklah iakeluar dari kolong langitKu dan mencari Tuhan yang
selain Aku ”( Dr.
Mstafa Zahri : 67 - 71)
Iman Mujmal dan Iman Mufasshal
Iman Mujmal adalah ;Pengakuan seorang muslim
akan adanya Allah YME dengan segala asma dan sifatNya, diikrarkan dengan lidah
dan dibenarkan dengan hari. Iman Mufasshal / Rukun Iman, Iman kepada
Allah, MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Rasul-Rasulnya, dan Hari Kiamat serta
percaya kepada Qadha dan qadarnya.Kesempurnaan iman menurut perspektif hadis
Nabi :
وعنه قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم أكمل المؤمنين ايمانا أحسنهم خلقا
وخياركم خياركم لنساءهم ( روا الترمذى وقال حديث حسن صحيح )
Dari Abi Hurairah R.A, Rasul SAW bersabda : Orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik budi pekertinya dan sebaik baik kamu adalah yang paling baik
terhadap isterinya, hadis R. Turmuzi
V. Tahapan
Menuju Pribadi yang Baik
Dalam rangkaian metode
pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap
: Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
a. Takhalli,
Sebagai tahap pertama
dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia.
Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari
kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi.
Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan
manusia. Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap.
Dalam Al Quran Ada
ceritera Qarun dengan hartanya, Fir'aun dengan Kekuasaannya, Haman dengan
Jabatannya.
a. QARUN
Qarun adalah kaum Nabi
Musa, berkebangsaan Israel, dan bukan berasal dari suku Qibthi (Gypsy, bangsa
Mesir). Allah mengutus Musa kepadanya seperti diutusnya Musa kepada Fir’aun dan
Haman. Allah telah mengaruniai Qarun harta yang sangat banyak dan
perbendaharaan yang melimpah ruah yang banyak memenuhi lemari simpanan.
Perbendaharaan harta dan lemari-lemari ini sangat berat untuk diangkat karena beratnya
isi kekayaan Qarun. Walaupun diangkat oleh beberapa orang lelaki kuat dan kekar
pun, mereka masih kewalahan.
Dalam memandang Qarun dan
harta kekayaannya, Bani Israil terbagi atas dua kelompok.Kelompok
pertama adalah kelompok orang yang beriman kepada Allah dan lebih
mengutmakan apa yang ada di sisi-Nya. Karena itu mereka tidak terpedaya oleh
harta Qarun dan tidak berangan-angan ingin memilikinya. Adapun kelompok
kedua adalah yang terpukau dan tertipu oleh harta Qarun karena mereka
telah kehilangan tolok ukur nilai, landasan dan fondasi yang dapat digunakan
untuk menilai Qarun dan hartanya. Mereka menganggap bahwa kekayaan Qarun
merupakan bukti keridhaan dan kecintaan Allah kepadanya. Maka mereka
berangan-angan ingin bernasib seperti itu.
Qarun tudak sejahat
Koroptor : Ia punya harta sendiri yang berlimpah, dosanya adalah kesombongan,
dan penggunaan harta bukan di jalan yang diridoi Allah. Ketika disadarkan
masyarakat ia malah berkata ; “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena
ilmu yang ada padaku”
b. FIR'AUN
Di antara perkara yang
aneh dalam din Fir’aun adalah fithrah kejadiannya. Umum-nya bayi diciptakan
oleh Allah dalam keadaan fithrah, kudu mawludin yuwladu ‘ala’i fithrah,
tapi tampaknya hadits ini dikecualikan terhadap bayi Fir’aun. Karena sejak orok
sudah kafir di dalam perut ibunya. Syeikh Albani dalam Shahihul Jami’ no.:3237
menghasankan bunyi hadits “wa khalaqa fir’aun fi bathni ummihi kafiran,”
dan Fir’aun dijadikan (oleh Allah) dalam perut ibunya dalam keadaan kafir. (HR.
Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil dan Imam Thabarani dalam Al-Ausath). Abu Sa’id
Al-Khudri radhiya’l-lahu ‘anh menceritakan, saat menyampaikan hadits ini
Rasulullah s.aw sedang berkhutbah di hadapan kami pada sore hari. Nabi s.a.w
bersabda: “yuwladu’n-nass ‘ata thabaqatin syatta, manusia dilahirkan
berdasarkan tingkatannya sendiri-sendiri.” Ada yang lahir mu’min, hidup
mu’min dan mati dalam keadaan mu’min. Ada yang lahir kafir, hidup kafir dan
mati pun kafir. Ada yang lahir mu’min, hidup mu’min dan mati kafir, serta ada yang
lahir kafir, hidup kafir, tapi matinya dalam keadaan mu’min.
Dari Sa’id bin Jubeir dari
Ibnu ‘Abbas radhiya’l-lahu ‘anhuma meriwayatkan: “dua orang Sahabat menghadap
Rasulullah (menanyakan tentang Fir’aun). Sabda Nabi s.a.w: “Malaikat Jibril
menyumpali mulut Fir’aun dengan pasir, khawatir kalau-kalau akan
mengucapkan: la ‘ilaha illa’l-lah” (Shahih, HR. Turmudzi [3107];
Ahmad [2145], at-Thabari [11/163]; Ibnu Hibban [6215];
Hadits di atas umumnya
dapat kita temui pada bahasan ayat tenggelamnya Fir’aun. Imamat-Thabari dan
Imam Al-Qurthubi misalnya meletakkan hadits tersebut pada
surah Yunus ayat 90, di mana Allah berfirman: “Dan Kami
memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan
bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila
Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: Saya percaya bahwa tidak ada
Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. 10:90) . Fir’aun wafat
di Laut Merah atau laut Qalzum atau sebelumnya populer dengan
namaFAM AL-HAIRUTS, dekat terusan Suez, pada tanggal 10 Muharram dan
karena itulah ada syari’atshaum ‘Asyura, setelah sebelumnya menyatakan
taubat dan yakin akan Tuhan Allah s.w.t. Dan inilah taubat ghayru
maqbui yakni taubat tertolak (Qs. 10:90).
c. HAMAN
Sumber-sumber dalam Al-Qur'an menyebutkan kisah Haman terjadi setelah kembalinyaMusa dari Madyan. Dalam kerajaan Fir'aun, Haman menempati beberapa posisi penting kerajaan
sebagai mentri, penasehat raja (terutama bidang keagamaan),
dan sebagai pelaksana proyek pembangunan menara. Haman diperintah
oleh Fir'aun untuk membuat menara yang akan digunakan Fir'aun untuk melihat
"Tuhan Musa". Pembuatan menara itu membutuhkan 50.000 pekerja dan
belum termasuk tukang untuk membuat kuil-kuil[6]. Setelah pembangunan menara selesai, Fir'aun menembakkan panah dari puncak menara untuk mengalahkan Tuhan Musa. Fir'aun berbohong
kepada Musa bahwa Tuhannya telah mati dengan menunjukkan anak panahnya yang
kembali telah berlumuran darah[7][8]. Menara itu kemudian dirobohkan oleh Jibril menjadi tiga bagian yang menewaskan hampir seluruh pekerja.[9] Haman jugalah yang menasihati Fir'aun untuk menolak misi keagamaan
Musa. Pada peristiwa pelarian Bani Israel dari Mesir, Haman tenggelam bersama Fir'aun dan tentaranya[10]. begitu lah sejarah hamman
Koroptor, hartanya dari
hasil penyelewengan, digunakan kemanapun tetap salah, sombong lagi ??
Hati yang sibuk pada
dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan
dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut
para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari
kecintaan pada dunia.
b. Tahalli,
Sebagai tahap kedua
berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang
lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan
dzikir dan mengingat Allah. Zikir ada beberapa macam
1. Zikir
lisan dan zikir qalbi
Zikir yang diucapkan
dengan lisan dan zikir qalbi merupakan zikir resapan dari zikir lisan.
1. Zikrul
maut, kematian suatu yang pasti akan terjadi bagi semua, tetapi sedikit orang
yang mau dan sadar akan kematian ini, saidina Umar RA, berkata seorang yang
paling sempurna imannya adalah yang paling banyak ingat akan kematian.
2. Zikrnun
Ni'mah, Nikamat iman dan Islam merupakan rahmat Allah yang bersar, dan yang
tidak kalah pentingnya untuk diingat adalah nikmat kelahiran dan wujud kita di
alam ini sampai sekarang. Sedikit yang mau merenungi, bahwa kita ada disi dan
seperti ini adalah pemberian Tuhan tanpa dimohon sebelumnya, sejumlah organ
tubuh yang berfungsi dengan baik juga milik Allah untuk kita, seyogianyalah
semua itu diingat-ingat selalu.
3. Zikrullah,
merupakan zikir yang dilakukan dengan penuh kesadaran akan Allah yang tidak
pernah lepas pengawasan dan pemeliharaanNYa buat kita,
Dengan mengingat Allah,
melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan
selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah
tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah,
bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan
mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya
tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan
lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat.
Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata,
kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai
ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya
bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput.
Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada
kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah
dalam setiap detik.
2. Tajalli.
Yaitu, tahapan dimana
kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah
subhanahu wata'ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa
dilukiskan. Ia bahagia dalam keridhoâan-Nya. Pada tahap ini, para sufi
menyebutnya sebagai ma'rifa. Alat yang digunakan untuk ma’rifat telah ada dalam
diri manusia yaitu Qalbu (hati), qalbu selain alat untuk merasa juga alat untuk
berfikir. Bedanya Qalbu dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh
pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan. Sedangkan Qalbu bisa mengetahui
hakikat dari segala yang ada dan jika dilimpahi cahaya Tuhan bisa mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan. Qalbu yang telah dibersihkan dari segala dosa dan
maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahu
rahasia-rahasia Tuhan, yaitu saat hati tersebut disinari cahaya Tuhan.
Proses sampainya qalbu
pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan dengan konsep takhalli, tahalli,
tajalli. Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, manusia
sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi seorang malaikat yang berbadan manusia.
Rohaninya telah mencapai ketinggian kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang
yang telah masuk pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah.
Orang-orang yang telah memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai derajat
tertinggi kerohanian manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam
Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah, Ma'ruf
al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi,
Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan lain
sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup dapat ditemui, yaitu kebahagiaan sejati.
( Rizqan Khamami )
VI. Muttaqin
Dan Muhsinin
Muttaqîn dan muhsinîn
adalah dua posisi (maqam) manusia di hadapan Allah. Kedua posisi ini didapatkan
manusia sebagai anugerah Allah atas
kepatuhannya kepada Allah. Namun demikian, para ulama
berbeda pendapat tentang yang manakah dari keduanya yang lebih tinggi dan lebih
mulia. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba melihat keduanya berdasarkan
informasi al-Qur’an. Ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk melihat yang
manakah dari kedua posisi ini yang lebih mulia.
Pertama, dari pemahaman
terhadap makna akar kata.
1. Kata
muttaqîn berasal dari taqwa yang secara harfiyah berarti takut dan terpelihara.
2. Kata
taqwa kemudian diartikan sebagai rasa takut seorang hamba kepada Allah,
sehingga membuatnya terpelihara dari perbutan melanggar aturan Allah swt. dan
pada akhirnya menjadikan seseorang terhindar dan terpelihara dari murka Allah
dan siksa neraka-Nya.
3. Taqwa menurut Ustaz Haji Ashaari Muhammad” terbitan Penerbitan Minda Ikhwan
dari Malaysia. Syaratnya ada 8
:
1) Mendapat Hidayah dari Allah, 2) Faham tentang
Islam, 3) Yakin, 4) Melaksanakan, 5) Mujahadah, 6) Istiqamah Beramal, 7) Ada Guru
Mursyid, dan Berdo’a kepada Allah.Sementara 3 Rukun Taqwa
itu adalah : 1) Iman, 2) Islam dan 3) Ihsan.
Sementara kata Muhsinîn
berasal dari kata ihsan secara harfiyah berarti
1. Berbuat
kebaikan.
2. Ihsan
kepada sesama adalah memberikan lebih banyak dari yang seharusnya diberikan dan
mengambil lebih sedikit dari yang semestinya diambil.
3. Ihsan
juga berarti memperlakukan orang lain lebih baik dari memperlakukan diri
sendiri.
4. Sedangkan
ihsan kepada Allah adalah bahwa ketika seseorang beribadah kepada Allah, dia
larut dengan cintanya sehingga dia tidak melihat dirinya dan yang dilihatnya
hanyalah Allah semata.
Dengan demikian, ihsan
kepada Allah adalah rasa cinta seorang hamba kepada-Nya, sehingga dia melakukan
sesuatu perintah dan menjauhi suatu larangan bukan karena mengharap
imbalan. Ibadah atas dasar cinta tentu lebih mulia dari rasa takut.
Oleh karena itu muhsinîn tentu lebih tinggi dan lebih mulia dari muttaqîn.
Di dalam al-Qur’an
disebutkan bahwa seseorang menjadi muttaqîn setelah sebelumnya berada dalam
posisi mukminin (orang beriman). Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah
[2]: 183
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Sementara, Muhsinîn dicapai seseorang setelah sebelumnya mereka berada dalam posisi muttaqîn. Seperti yang terdapat di dalam surat Ali ‘Imran [3]: 133-134
Sementara, Muhsinîn dicapai seseorang setelah sebelumnya mereka berada dalam posisi muttaqîn. Seperti yang terdapat di dalam surat Ali ‘Imran [3]: 133-134
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِينَ(133)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,133(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ketiga,
dari segi penempatan mereka di hadapan Allah. Di mana muttaqîn di tempatkan Allah
sebagai kelompok manusia yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya di
hadapan-Nya. Seperti yang
disebutkan di dalam surat al-Hujurat [49]:13
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sementara
Muhsinîn dijadikan Allah sebagai kekasih dan orang yang paling di
sayang-Nya. Seperti yang
disebutkan dalam surat surat Ali ‘Imran (3): 134
الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “… Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Kita tentu memahami, bahwa kedudukan kekasih dan orang yang di sayangi lebih mulia daripada orang yang diberikan kedudukan yang tinggi.
Kita tentu memahami, bahwa kedudukan kekasih dan orang yang di sayangi lebih mulia daripada orang yang diberikan kedudukan yang tinggi.
VII.Tentang Tasawuf
a. Sebutan Tsawuf
Prof. Dr. Harun Nasution menerangkan bahwa:
Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab
yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Safa dalam
arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak
berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
salat dan puasa.
2. Saf (baris).
Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf
pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak
membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang.
Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan
Tuhan.
3. Ahl
al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan
meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang
miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai
suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai
apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula
sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos (bahasa
Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi
pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata
sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan
sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf (kain
wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia
meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol
kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan
kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Diantara semua pendapat
itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi.
Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia
materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai
kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H). www.tasawufislam.blogspot.com
Kata Tasawuf tidak
terdapat dalam Al Quran dan Al Hadis. Bagi orang yang berfikir singkat akan
berkata bahwa pernyataan itu benar, tetapi kalau kita mau melihat lebih jauh ,
ada ilmu Hadis, ada ilmu tauhid, ilmu Fiqih, ilmu balahgah, ilmu
nahu dll, semua itu juga tidak ada disebut dalam Al Quran dan Al Hadis namun,
semua umat Islam mengakui pentingnya ilmu itu dalam Islam dan dalam kehidupan
Muslim. Ada yang berkata bahwa difinisi Tasawuf itu bid'ah karena tidak ada
dalam Al Quran dan Hadis. Memang nama dan difinisi itu tidak adas dalam Quran
dan Hadis karena Nabi Muhammad SAW di utus bukan untuk membuat sejumlah
definisi. Karena itu ulama yang datang kemudianlah yang membuat definisi itu
semua berdasar definisi sesuai disiplin ilmunya masing masing, dengan tetap
memperhatikan tuntunan Quran dan Hadis dan akhirnya diterima baik
oleh umat Islam.
Menurut Istilah; Imam Al
Gazali mengemukakan pendapat Abu Bakar Al Kattany ;
التصوف خلق فمن زاد عليك بالخلق زاد عليك بالتصوف
Tasawuf adalah Akhlak, maka barang siapa bertambah baik akhlaknya maka
berartia bertasawuf
Asy Syech Muhammad Amin Al
Kurdi mengatakan bahwa tasawuf adalah ;
علم يعرف به احوال النفس محمودها ومذمومها وكيفية
تطهيرها
Suatu ilmu yang dengannya dapat diketahu
keadaan jiwa, terpuji atau tercela serta cara bagaimana membersihkan
jiwa itu sendiri.
Muhammad Amin An Nawawy mengemuakakan pendapat imam Al
Junaid Al Bagdadi ;
التصوف حفظ الاوقات : قال وهو أ لا يطالع العبد
غير حده ولا يوافق غير ربه ولا يقارن غير وقته
Tasawuf adalah memelihara waktu :
yakni seorang hamba tidak menekuni suatu amalan tanpa aturan
tertentu, dan tidak melakukan ibadah melainkan untuk Tuhannya serta tidak
berhubungan dengan Tuhan tanpa menggunakan waktunya untuk ibadah kepada Nya.
a. Hakikat
Tasawuf
Ilmu tasawuf itu adalah
ilmu mengenai cara-cara membersihkan lahir dan batin daripada dosa dan
kesalahan. Bahkan kesalahan lahir ini berasal dari kesalahan batin. Dosa lahir
ini berlaku setelah berlakunya dosa batin. Maka sebab itulah ia dikatakan ilmu
tasawuf. Kenapa pula ilmu ini juga dikatakan ilmu batin? Ini karena roh atau
hati memang tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Ia adalah makhluk yang
tersembunyi. Maka ilmu ini dinamakan ilmu batin kerana ia membahaskan tentang
hati dan sifat-sifatnya yang memang tidak dapat dilihat dengan mata lahir tapi
dapat dilihat oleh mata batin. Mengikut pandangan umum masyarakat sekarang,
bila disebut ilmu batin, mereka menganggap itu adalah ilmu pengasih atau ilmu
kebal. Orang yang belajar ilmu batin bermakna dia belajar ilmu kebal atau
belajar ilmu pengasih. Sebenarnya orang itu belajar ilmu kebudayaan Melayu,
yang mana ilmu itu ada dicampur dengan ayat-ayat Al Quran. Kebal juga adalah
satu juzuk daripada kebudayaan orang Melayu yang sudah disandarkan dengan
Islam. Kalau kita hendak mempelajarinya tidak salah jika tidak ada unsur-unsur
syirik. Tetapi itu bukan ilmu tasawuf atau ilmu kerohanian seperti apa yang
kita bahaskan di sini.Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan
dalam Majmu' Fatawa-nya :"Adapun kata sufi tidak dikenal di 3 masa yang
utama ) shahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in) dan hanya dikenal setelah masa itu.
Hal ini banyak dinukil oleh para imam , seperti imam Ahmad bin Hambal , Abu
Sulaiman Ad-darani dll. Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats-Tsuari berbicara tentang
masalah ini (sufi) , tapi sebagian mereka mengatakan riwayat tsb dari Al Hasan
Al Bashri. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah
sebagian dari sahabat Abdul Wahid bin Zaid , ia adalah seorang sahabat Al Hasan
Al Basri. Ia (Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan
dalam zuhud , ibadah , rasa takut dll. tidak ada penduduk kota itu yang seperti
dia. Abu Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin
Sirin bahwa telah sampai berita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih
mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia berkata :"
Sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu domba.
Mereka mengatakan ingin meniru pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari
nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga memakai pakaian dari katun dll , atau
komentar yang senada dengan itu.
Kemudian beliau (Ibn
Taimiyah) melanjutkan :" Mereka menisbatkan kepada pakaian yang dhahir,
yaitu pakaian dari bulu domba, maka mereka disebut shuffi.... Akhirnya beliau
(ibn Taimiyah) berkata :" Maka inilah asal tasawwuf, kemudian berkembang
menjadi beraneka ragam dan bercabang-cabang” [Majmu Fatawa : XI: 5-7 , 16, 17]
Disini diterangkan bahwa
tasawuf tumbuh dinegeri-negeri Islam melalui para ahli ibadah dari Basrah sbg
hasil dari sikap keterlaluan mereka dalam zuhud dan ibadah. kemudian hal itu
terus berkembang melalui kitab-kitab orang belakangan dan ditanamkan
dinegeri-negeri kaum muslimin melalui ideologi-ideologi llain seperti Hindu,
Budah dan kepasturan Nashrani. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
Muhammad bin Sirrin yang berkata :"Sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih
mengutamakan memakai pakaian bulu domba. Mereka mengatakan ingin meniru pakaian
Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cinta."
Jelaslah bahwa tassawuf memiliki ikatan dengan agama Nashrani !!!
Dr. Shobir Tho'imah memberi
komentar dalam kitab As Shufiyah Mu'taqadan wa maslakan :"Jelas bahwa
tasawuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nashrani , mereka suka
memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. dan ini banyak
sekali . Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan negeri dengan
tauhid. Islam memberikan bekas dengan jelas thd kehidupan peribadatan
orang-orang dahulu [hal 17]
Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir
rahimahullah berkata dalam bukunya At Tashawwuf al Mansya' wal Mashadir :"
Ketika kita memperhatikan dengan telitiI tentang ajaran sufi yang pertama dan
terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh
mereka di dalam kitab-kitab sufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita
akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Sufi dengan al Qur'an dan
As Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam
perjalanan hidup Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan para shahabat
beliau , yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan mahlukNya
(setelah para Nabi dan Rasul ,ed)
Yang dimaksud dengan
kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi
kebohongan. adapun yang terdahulu (dinisbatkan) , mereka masih netral seperti
Al Fudhail bin Iyadh , Al Junaid , Ibrahim bin Adham dll.
Jadi hakikat tasawuf
adalah berprihidup sebagaimana yang di ajarkan oleh rasul dan diikuti amalannya
oleh pada sahabat, tabi'in dst.
[Disalin dari kitab: Haqiqatuth Tashawwuf wa Mauqifush Shufiyyah min Ushulil Ibadah wad Diin, Edisi Indonesia : Hakikat Tasawwuf, Penulis : Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan, Alih Bahasa, Muhammad 'Ali Ismah, Penerbit : Pustaka As-Salaf , Gumpang RT 02/03 N0. 559 Kertasura Solo 57169 Cetakan I : Rabi'ul Tsani 1419 H / Agustus 1998M]
[Disalin dari kitab: Haqiqatuth Tashawwuf wa Mauqifush Shufiyyah min Ushulil Ibadah wad Diin, Edisi Indonesia : Hakikat Tasawwuf, Penulis : Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan, Alih Bahasa, Muhammad 'Ali Ismah, Penerbit : Pustaka As-Salaf , Gumpang RT 02/03 N0. 559 Kertasura Solo 57169 Cetakan I : Rabi'ul Tsani 1419 H / Agustus 1998M]
b. Sasaran
Ajaran Tasawuf
Ilmu Tasawuf bertugas membahas persoalan yang
bertalian dengan akhlak dan budi pekerti , bertalian dengan hati, yaitu
persoaln ikhlas, khusyuk, tawadhu', muqarabah, musyahadah, sabar dan ridha
serta tawakkal dan semua sifat yang yang terpuji yang berjalan atas dasar
agama. Tujuan atau sasaran ajaran dan amal tasawuf, yaitu melaksanakan hakikat
ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yakin, makrifatullah yang tahqik,
yang menjadi kunci makbulnya adalah adab beribadat itu sendiri. Ibadat yang
berbentuk syariah itu harus digerakkan oleh hati yang khusuk, tawaduk dan
lillahi ta'ala. Situasi dan kondisi hati yang demikian ini, inilah yang
dinamakan adab beribadat.
c. Pembagian
Tasawuf
A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi
pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan
akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini
berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan
akhlaq mahmudah.Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama
sufi
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah
tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau
yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf
ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti
ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena
teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat
dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya
juga didasarkan pada rasa.
C.
Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf
syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam
tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki
perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal
dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan
esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani
melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki
pandanganhulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua
kelompok itu mempunyai dua kesamaan. Ada lagi pendapat membagi tasawuf kepada
dua ;
Pertama, tasawuf yang
berhubungan dengan pendidikan dan latihan ruhaniah, mempertinggi akhlak,
melatih diri mengamalkan sifat-sifat keutamaan dalam muamalat.
Kedua, tasawuf
yang berhubungan dengan pengaturan ibadah, membicarakan tentang
limpahan rahmat, persoalan mahabbah, dan masalah nur Ilahiyah ( Mustafa Zahri :
136.
VII. Sejarah dan
Perkembangan Tasawuf
Sejarah tasawuf dimulai dengan Imam Ja’far Al
Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi
Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah
yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal.
Ucapan – ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan
oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibn Hayyan
dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki
yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far. Kaitan Imam Ja’far
dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, seperti Naqsyabandiyah yang
berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali
selalu melewati Imam Ja’far. Kakek buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat
dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit untuk dibenarkan) beberapa ahli
menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid Imam Ali.
Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan
cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al
Sajadiyyah”.
Tasawuf lahir dan
berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al
Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami.
Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis
dll). Praktik – praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran
agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh
perintis yang disebutkan di atas.
Pertumbuhan dan
perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap
Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan
tasawuf dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H. Gerakan
zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke
Khurasan dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya hidup mewah para
pembesar negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami
perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia
Tokoh-tokohnya
menurut tempat perkembangannya :
1.Madinah
Dari kalangan sahabat Nabi
Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H);
Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari
kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn
Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
2. Basrah
Hasan Al Bashri (w. 110
H); Malik ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais
(w. 149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)
3. Kufah
Al Rabi ibn Khasim (w. 96
H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106 H); Sufyan Al Tsauri
(w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H).
4. Mesir
Salim ibn Attar Al Tajibi
(W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn
Umar (w. 171 H). Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang
dikenal sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail
ibn Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah.
Tahap Tasawuf (abad
ke 3 dan 4 H )
Paruh pertama pada abad
ke-3 H, wacana tentang Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak
lagi terbatas pada amaliyah (aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi
sudah masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan
terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah,
tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain.
Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al
Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w.
254 H) dan Junaid Al Baghdadi. Muncul pula karya-karya tulis yang membahas
tasawuf secara teoritis, termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243
H); Abu Said Al Kharraz (w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid
Al Baghdadi (w. 294 H)
Pada masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang mempromosikan tasawuf yang
berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al Hallaj
dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapam ganjil yang
sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum
muslim, seperti“Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak
ada apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ
fill jubbah illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar
dengan ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”.
Tahap Tasawuf Falsafi
(Abad ke 6 H)
Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian
pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi
merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagian
ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena
orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan
hakikat segala sesuatu.
IX. Isyarat Al Quran
Tentang Tasawuf
Formalisme dalam ritual Islam dipandang amat merugikan, maka Allah
mengingatkan kita terhadap adanya bahaya formalisme, sebagaimana firman Allah:
وَإِنَّ رَبَّكَ
لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ
Artinya: "Dan
sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka
dan apa yang mereka nyatakan." (Q. S. 27. An-Naml, A. 74).
Ayat yang ditulis di atas
menunjukkan pada kita bahwa formalitas belum tentu sesuai dengan kegaiban dalam
fikiran (jalan fikiran) dan kegaiban dalam hati (niat dan hajat dalam hati).
Tidak sedikit orang sholat secara jasadi, namun hati dan fikirannya
sesungguhnya bukan sedang sholat. Banyak orang jasadnya berwudhu' (bersuci,
thoharoh jasadi), tetapi hati dan fikirannya masih dipenuhi virus-virus goibis
sayithon, seperti iri, dengki, hasad, hasud, hasumat, dendam, riya dan lain
sebagainya, dan masih banyak sederetan contoh lainnya yang dapat kita tuliskan
dari hasil pengamatan kita terhadap laku orang perorangan di sekitar kita yang
dapat kit ambil pelajaran darinya bahwa formalisme pada hakikatnya lebih
cendrung merugikan nilai-nilai spiritual kita, itu sebabnya Allah menyatakan
bahwa Dia (Allah) benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati dan apa
yang mereka nyatakan. Penekanan pada formalisme seperti dalam ilmu syari'at
ibadah yang lebih cenderung menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah dan
batal dalam ritual ajaran Islam dengan tanpa diiringi penghayatan di dalamnya,
tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan akhlaqul karimah untuk menjadi
insanul kamil, insanul muttaqin dan insanul muhsinin. Hal ini disebabkan karena
pengutamaan terhadap formalitas saja dapat berakibat ruh ritual ibadah tidak
dapat dirasakan, yang dirasakan hanyalah kesibukan ritual jasad yang kering,
kurang bermakna pada penjiwaan ritual pelakunya. Padahal pengamalan ritual
ajaran Islam senantiasa menuntut laku ritual secara sadar dengan menghadirkan
hati dan fikiran serta segenap jiwa dan penjiwaan terhadap nilai-nilai ajaran
Islam yang sedang diamalkan. Karena itulah sangat diperlukan pengajaran ilmu
penghayatan nilai-nilai spiritual ajaran Islam. Tentu saja hal ini bukanlah
merupakan pekerjaan semudah membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan
riyadhoh istiqomah yang dilakukan dengan terus menerus secara bertahap dan
berkesinambungan. Karena pada hakikatnya Islam menginginkan keterkaitan nilai-nilai
aspek ritual jasadi dengan ritual batini.
Karena ritual dualistis
(jasadi dan batini) itulah maka tidak heran jika diri kita senantiasa
menginginkan adanya kekuatan kontak antara ritual akhlaq jasadiyah yang lebih
cenderung medium formal dengan ritual akhlaq batini yang lebih cenderung non
medium formal, sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian
berbagai ritual syari'at ibadah jasadi (wudhu, puasa, infaq, shodaqoh, zakat,
haji dan akhlaq fositif lainnya) kontak dengan ritual ibadah batini terfokus
dan terkonsentrasi pada satu arah tujuan yang pasti hanya kepada Allah dan
ikhlas karena Allah yang realita ZatNya berwujud goibi, imani, hayati, maknawi,
ruhani dan nurani, bukan jasadi. Namun ritual akhlaq Islami tidaklah dilakukan
secara batini semata, tetapi juga harus diiringi dengan ritual ibadah jasadi,
kecuali dalam keadaan darurat jasadi seperti sakit dan sebagainya yang tidak
memungkinkan ritual ibadah jasadi dilakukan, maka ritual ibadah batini sah
dilaksanakan. Ritual ibadah jasadi dalam bentuk ucapan dan ritual perbuatan
nyata, di dalamnya mengandung maksud tujuan untuk mempengaruhi batini dan
menuntun aqal fikiran dan qolbi dalam rangka upaya penghayatan terhadap ibadah
yang akan, sedang dan telah dilakukan. Dengan demikian ritual ibadah yang
dilakukan itu, selain mengandung hikmah untuk penghayatan pengabdian diri
kepada Allah Zat Yang Maha Goib, juga ritual tersebut mengandung efek kesucian
jasadi wal batini dan menjadikan pelakunya jauh dari virus-virus kemungkaran.
Dengan penghayatan spiritual seperti ini, sistem nilai yang berkaitan dengan
keimanan dan keakhlaqan berpadu utuh dengan sistem norma dalam syari'at Islam.
Sejalan dengan itu,
Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai pedoman dan tuntunan abadi kita sepanjang masa,
pastilah di dalamnya terkandung nilai-nilai spiritual di samping nilai-nilai
lainnya. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an dan sabda Rasul dalam kitab Al-Hadits
menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa nilai-nilai spiritual itu memang
ada, diantaranya sebagai berikut:
وَلِلّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ
اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi
Maha Mengetahui." (Q. S. 2. Al-Baqoroh, A. 115).
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْيَرْشُدُونَ
Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q. S. 2.
Al-Baqarah, A. 186).
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا
تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Q. S. 50. Qof, A. 16).
فَوَجَدَا
عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن
لَّدُنَّا عِلْماً
Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).
Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).
Demikian juga halnya dengan
Al-Hadits, diantara sekian banyak Hadits Rasul yang menjelaskan tentang
nilai-nilai spiritual, yang sering kita dengan dan kita ucapkan
adalah:"Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah saw.
muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya:
Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya,
rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai
Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau
beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan
salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu
kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab:
Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau
tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya
lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab:
Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang
bertanya. Tetapi akan aku ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan
melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang
yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara
tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung.
Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah.
Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya
pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang
pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan
tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Kemudian orang itu berlalu, maka
Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak
memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw.
bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama
mereka." (Shahih Muslim
No.10).
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ
لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا(16)لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ
ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَا صَعَدًا(17)وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا
تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu
(agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar
(rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. Dan
barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan
dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat berat. Dan sesungguhnya mesjid-mesjid
itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di
dalamnya di samping (menyembah) Allah. ( Al Jin : 16-18 )
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ
ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara
kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang
berbeda-beda. ( Al Jin : 11 )
ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي
سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ
فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)
buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya
terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.
Mustafa Zahri : 160 )
Nilai-nilai spiritual yang
tersurat dan tersirat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits itulah yang menjadi dalil
utama keberadaan ilmu tasawuf di jagat Allah ini.
X. Tentang Ma'rifat
Kita harus terus
meningkatkan mutu keyakinan kepada Allah, agar Allah juga selalu yakin untuk
memberikan apa pun yang kita minta dan yang tidak kita minta. Lalu bagaimana
cara meningkatkan keyakinan diri?
"Ilmul yaqin"
Ilmul yaqin adalah orang
yang menyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu. Misalnya, di Mekkah ada Kakbah.
Kita percaya, karena menurut teorinya begitu, ilmunya begitu. Apa pun yang
terjadi pada Kakbah kita percaya, karena belum tahu yang sebenarnya bagaimana.
"Ainul yaqin"
Ainul yaqin adalah orang
yakin karena telah melihat dengan mata kepala sendiri. Orang yang telah pergi
ke Mekkah, bisa melihat sendiri Kakbah. Keyakinannya akan berbeda dengan orang
yang yakin berdasarkan teori atau ilmu. Orang yang mengatakan Kakbah itu
ujungnya bulat, kalau hanya dengan ilmu bisa jadi kita percaya. Tapi bagi orang
yang telah melihatnya akan berkata sesuai dengan yang telah dia lihat
."Haqqul
yaqin"
Haqqul yaqin adalah orang
yakin dan terbukti kebenarannya. Orang yang telah merasakan lezatnya tawaf,
berdoa di Multazam, merasakan di ijabahnya doa, dan mengatakan Kakbah itu luar
biasa sekali. Setelah pulang, doa kita diijabah dan susah didustakan. Akan
semakin berbeda keyakinannya dengan orang yang hanya yakin berdasarkan ilmu
saja tanpa merasakan bukti kebenarannya.
Inilah cara untuk meningkatkan keyakinan kita. Ini juga yang menjadi tingkat keyakinan tertinggi kita, sehingga tidak bisa digempur dari sisi mana pun. Mulailah dari ilmul yaqin, ainul yaqin, dan akhirnya dengan haqqul yaqin. Hanya itulah yang akan meningkatkan keyakinan kita kepada Allah. Berikut bentuk uraian lain ;
Inilah cara untuk meningkatkan keyakinan kita. Ini juga yang menjadi tingkat keyakinan tertinggi kita, sehingga tidak bisa digempur dari sisi mana pun. Mulailah dari ilmul yaqin, ainul yaqin, dan akhirnya dengan haqqul yaqin. Hanya itulah yang akan meningkatkan keyakinan kita kepada Allah. Berikut bentuk uraian lain ;
Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin,
Hakqqul Yaqin adalah tahapan dalam pendirian seseorang dalam pandangan
Musyahadahnya (penyaksiannya) kepada Allah Swt.
a. Ma'rifat
dengan Ilmul Yaqin
Di dalam Ilmul Yaqin segala pengetahuan ilmu
telah diliputi dengan Ilmu Allah sehingga apapun amaliah maupun ubudiyah itu
semua menunjukkan dari pada lautan Ilmu Allah Ta’ala.
b. Ma'rifat
dengan ainul Yaqin
Di dalam Ainul Yaqin, tatkala seseorang
‘arifiin’ telah melihat sesuatu amalaiah dan ubudiyah diliputi oleh Ilmu Allah
kemudian ia menyaksikan bahwa di dalam gerak dan diam (lelaku) itu adalah saksi
Hidupnya Allah Ta’ala yang menunjukkan adanya Allah Ta’ala sebagai tujuan
hidupnya. dengan Merasakan dan menyadari gerak dan diam, suara dan perkataan
itu adalah saksi hidupnya Allah Ta’ala maka sama halnya ia merasakan dan
menyadari kehadiran Allah Ta’ala dekat sekali dengan dirinya. “Bukan menghadirkan Allah” akan tetapi menyadari bahwa “Allah senantiasa
Maha Hadir atas dirinya dan sekalian Alam meliputi tiap2 sesuatu”. “Wahuwa
Ma’akum Ainama kuntum” (Dia Allah serta kamu di mana kamu berada).
c. Ma'rifat
dengan Haqqul Yaqin
Haqqul Yaqin, adalah kemantapan dalam pendirian
yang kokoh setelah ia mengetahui kemudian ia melihat dengan penyaksian lalu
kemudian tertanam sedalam2nya pada dirinya bahwa : “SEGALA SESUATU
APAPUN YANG TERLIHAT, TIDAK ADA YANG ADA MELAINKAN ILMU ALLAH TA’ALA, SEGALA
SESUATU APAPUN YANG TERDENGAR TIDAK ADA YANG ADA MELAINKAN KALAM ALLAH TA’ALA,
DAN TIDAK ADA YANG TERASA MAUPUN DIRASAKAN MELAINKAN SIRRULLAH (ZATULLAH)”.
Setelah semua perjalanan dan tahapan itu
misra/meresap pada diri, maka Allah akan JAZBAH dirinya sehingga sampailah ia pada
maqom “KAMALUL YAQIN”
XI. Tentang Melihat Tuhan
Apakah Allah bisa dilihat?, bisakah itu
terjadi? dan di manakah Ia bisa dilihat? Semua ini merupakan perbincangan
antara Ahlussunnah dan Mu’tazilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam masalah
ini .
PENDAPAT PERTAMA
Mu’tazilah dan berbagai kelompok yang sepaham dengannya, seperti Jahamiyah,
Khawarij, Syiah Imamiyah, dan sebagian Murjiah mengatakan bahwa Allah tidak
bisa dilihat dengan mata kepala, dan itu mustahil dan mumtani’ (tidak boleh
terjadi) pada Allah. Di antara argumentasinya adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah ;
1. Firman Allah ;
لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
[Al An’aam:103]
Wajhuddilalah (pengambilan dalil) dari ayat ini Qadhi Abdul
Jabbar berkata dalam kitabnya Syarah Ushul al-Khamsah hal.232: “Allah menafikan
al-idrak (pencapaian) dengan penglihatan mata, ini menunjukkan bahwa Allah
tidak bisa dilihat oleh pandangan mata kapanpun dan di manapun juga. Juga
ayat ini dalam kontek al-madh (pujian) kepada Allah, bahwa Dia tidak bisa
dilihat mata. Kalau dikatakan bahwa Dia bisa dilihat, maka akan berlawanan
dengan kontek ayat itu sehingga tidak ada makna dari pujian itu.
3.
Firman Allah.
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan, dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah
Musa:"Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, agar aku dapat
melihat kepada Engkau". Rabb berfirman:"Kamu sekali-kali tak sanggup
untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabbnya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:"Maha
Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama
beriman". [Al A’raf :143]
Wajhuddilalah (pengambilan
dalil) dari ayat ini. Allah Azza wa Jalla memakai kata-kata “lan tarani” (Kamu
sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku) yang berfungsi sebagai ‘nafy ta’bid”
(peniadaan untuk selamanya), kalau tidak dapat dilihat oleh Musa, juga
selamanya tidak bisa dilihat oleh orang lain. Firman Allah Azza wa Jalla,
"Dan Musapun jatuh pingsan", seandainya ru’yatullah boleh terjadi,
kenapa Musa lansung pingsan sebelum melihat Allah?.
Firman Allah Azza wa Jalla, Maka setelah sadar kembali, dia berkata: ”Maha Suci Engkau”. Ar-Razi berkata: ”Musa bertasbih untuh mentanzihkan (menyucikan) Allah Azza wa Jalla dari perbuatan sebelumnya, yaitu permintaan melihat Allah Azza wa Jalla, dan tanzih tidak terjadi kecuali dari kekurangan, dengan demikian maka melihat Allah Azza wa Jalla menunjukkan kekurangan dan hal itu mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada hak Allah Azza wa Jalla.” Perkataan Musa dalam ayat di atas: ”Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman” menunjukkan bahwa permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap dosa oleh Musa sehingga harus bertobat kepada-Nya, dan tobat tidak dilakukan kecuali dari perbuatan dosa.
Firman Allah Azza wa Jalla, Maka setelah sadar kembali, dia berkata: ”Maha Suci Engkau”. Ar-Razi berkata: ”Musa bertasbih untuh mentanzihkan (menyucikan) Allah Azza wa Jalla dari perbuatan sebelumnya, yaitu permintaan melihat Allah Azza wa Jalla, dan tanzih tidak terjadi kecuali dari kekurangan, dengan demikian maka melihat Allah Azza wa Jalla menunjukkan kekurangan dan hal itu mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada hak Allah Azza wa Jalla.” Perkataan Musa dalam ayat di atas: ”Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman” menunjukkan bahwa permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap dosa oleh Musa sehingga harus bertobat kepada-Nya, dan tobat tidak dilakukan kecuali dari perbuatan dosa.
3. Permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap sebuah kezaliman.
Seperti yang dialami oleh Bani Israil sebagaimana firman Allah Azza wa
Jalla.
فَقَالُوا أَرِنَا اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ
فَقَالُوا أَرِنَا اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ
“…..mereka berkata: ”Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”. Maka
mereka disambar petir karena kezalimannya…” [An Nisa:153.]
Di sini Allah Azza wa Jalla mengadzab orang yang meminta melihat_Nya, bila
hal itu diperbolehkan niscaya Dia tidak akan mengazabnya. Ayat senada juga ada
pada surat Al Baqarah ayat 55.
4. Firman Allah Azza wa
Jalla dalam Al-Quran surat Assyura ayat : 51
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ
إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ
بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa
Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di
belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana. [Assyura:51]
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla berbicara
dengan manusia hanya lewat wahyu, atau di balik tabir [hijab], atau lewat
utusan-Nya. Kalau Allah Azza wa Jalla boleh dilihat, niscaya Dia tampakkan
diriNya lansung dan tidak perlu lewat perantara atau di balik tabir.
5. Secara akal bahwa semua yang dilihat mesti
akan berbekas di penglihatan dalam bentuk atau rupa, sedangkan yang demikian
mustahil bagi Allah Azza wa Jalla dan Maha Suci Allah Azza wa Jalla dari yang
demikian.
PENDAPAT KEDUA
PENDAPAT KEDUA
Menurut Ahlussunnah bahwa Allah boleh dilihat dan bisa dilihat dengan mata
kepala di akherat kelak. Diantara dalil-dalil yang menguatkan tentang yang
demikaian adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah dalam surat Al A’raf ayat 143 yang telah lewat.
Wajhuddilalah (pengambilan
dalil)dari ayat ini, adalah:
• Di sini Musa meminta
untuk melihat Allah, kalau yang demikian itu tidak diperbolehkan, apalagi
sesuatu yang mustahil, maka tidak mungkin dilakukan oleh seorang Nabi. [Lihat kitab
Haadul Arwah oleh Ibnu Al Qayyim hal.223]
• Dalam ayat ini tidak ada
yang menunjukkan larangan meminta melihat Allah,karena kalau itu sesuatu yang
tidak boleh niscaya Allah akan melarang Musa untuk melakukannya,sebagaimana
Allah melarang Nabi Nuh yang meminta supaya anaknya diselamatkan dari banjir.
[Baca QS.Hud;46-47]
• Allah mengatakan, ”lan
tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku), bukan menunjukkan
Allah tidak bisa dilihat, justru sebaliknya. Sebab kalau ru’yatullah suatu yang
tidak mungkin, terjadi niscaya Allah akan memakai lafaz nafi yaitu,”La tarani”
(Kamu sekali-kali tidak akan melihat-Ku).
• Abu Said Ad Darimi dalam
kitab bantahannya terhadap Jahmiyah mengatakan: ”Tidak bisa dilihat”, yaitu di
dunia, karena mata kepala manusia yang tercipta dari sesuatu yang akan binasa
tidak sanggup memandang sesuatu yang baqa’[kekal], tetapi pada hari kiyamat
Allah akan memberikan penglihatan yang abadi, agar mampu melihat yang Maha
Abadi (Allah) di tempat yang abadi (SurgaNya)”.
• Sesungguhnya dalam ayat
ini Allah mengaitkan ru’yatullah dengan sesuatu yang mubah [boleh], atau
mungkin terjadi, yaitu tetapnya gunung. Mengaitkan sesuatu yang boleh atau
mungkin, menunjukkan sesuatu yang dikaitkan (Ru’yatullah) boleh atau mungkin.
• Allah Azza wa Jalla
mengatakan ,”Tajalla” yang berarti menampakkan diri, Al Qurthubiy dalam
tafsirnya Juz IV/ 278 mengatakan: ”Maksudnya Allah Azza wa Jalla ingin
memberikan pelajaran kepada Musa, bahwa dia tidak mampu untuk melihat Allah,
karena gunung yang begitu kokoh saja bergetar akibat Allah menampakkan diriNya.
Kalau kepada gunung yang benda mati saja Allah bisa menampakkan diriNya maka
kenapa kepada hambaNya yang shalih tidak bisa? apalagi tidak mungkin
dilakukanNya?.
2. Firman Allah Azza wa Jalla.
قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِي وَبِكَلاَمِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
Allah berfirman: “Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari
manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara
lansung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan
kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang yang-orang yang bersyukur [Al-A’raf
: 144
Imam Ismail Al Barusuni dalam tafsirnya Ruhul Bayan Juz III halaman 239
mengatakan: “Allah memerintahkan Musa untuk menjadi orang-orang yang bersyukur,
seperti firman-Nya: “Hendaklah kamu termasuk orang yang-orang yang bersyukur”,
karena bersyukur akan memberikan tambahan, sebagaimana firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ .
Sesungguhnya
jika kamu bersyukur,pasti Kami menambah (nikmatKu) dan jika kamu mengingkari
(nikmatKu) maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.Ibrahim : 7]
Dan tambahan yang akan diberikan Allah adalah bisa melihat Allah,
sebagaimana firman-Nya.
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ .
Bagi mereka yang berbuat kebaikan surga dan
tambahan. [Yunus : 26]
Dan tambahan yang dimaksud
dalam ayat ini adalah melihat Allah.
3. Firman Allah dalam surat Al An’am ayat 103 (telah disebutkan di atas).
Al Alusiy dalam tafsirnya Ruhul Maani Juz IV halaman 244 mengatakan: “Kalimat ”Al-Abshar” dalam ayat ini adalah jamak dari “Bashar” yang berarti penglihatan, dapat dipakai untuk penglihatan mata atau penglihatan hati. Sedangkan kata ”Al idrak” artinya pencapaian terhadap sesuatu, dan kata ”Al idrak” mengandung makna lebih dalam dari kata melihat dan inilah yang dinafikan oleh Allah.
3. Firman Allah dalam surat Al An’am ayat 103 (telah disebutkan di atas).
Al Alusiy dalam tafsirnya Ruhul Maani Juz IV halaman 244 mengatakan: “Kalimat ”Al-Abshar” dalam ayat ini adalah jamak dari “Bashar” yang berarti penglihatan, dapat dipakai untuk penglihatan mata atau penglihatan hati. Sedangkan kata ”Al idrak” artinya pencapaian terhadap sesuatu, dan kata ”Al idrak” mengandung makna lebih dalam dari kata melihat dan inilah yang dinafikan oleh Allah.
Ayat ini juga dalam kontek pujian yang menunjukkan bahwa melihat Allah
boleh dan mungkin, sebab kalau sesuatu itu tidak mungkin, untuk apa dipuji. Di
sini Allah bisa dilihat, tetapi mampu menghijab pandangan untuk mencapainya
merupakan sebuah kekuasaan yang patut dipuji. Sebab sesuatu yang dari asalnya
tidak bisa dilihat, maka ketika tidak dapat dilihat tidak menjadi sesuatu yang
istimewa yang perlu di puji.
Ibnu Qayyim menambahkan: “Memakai ayat ini sebagai dalil bahwa Allah bisa
dilihat lebih tepat dan benar, bahkan ayat ini menjadi bantahan bagi mereka
yang mengatakan Allah tidak bisa dilihat. Karena ayat ini dalam kontek pujian,
dan itu diberikan kepada sesuatu yang ada (maujud), karena sesuatu yang tidak
ada sama sekali (ma’dum mahdah) tidak layak untuk diberikan pujian, karena itu
bukan termasuk kesempurnaan (al-kamal) bagi Allah.”
Dan al idrak (pencapaian) maksudnya adalah al ihathah (mengetahui semuanya
dari segala aspek), dengan demikian al idrak adalah sesuatu yang mempunyai arti
lebih dari ru’yah.
Sebagaimana firman Allah.
فَلَمَّا تَرَاءى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ .
Maka setelah dua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut
Musa; ”Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. [Asyuaraa : 61]
4. Firman Allah
4. Firman Allah
لَهُم مَّايَشَآءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi Kami
ada tambahan. [Qaaf : 35]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya Juz VIII/330 mengatakan: “Sesungguhnya “Al
mazid” (tambahan) yang Allah berikan kepada hambaNya di atas segala yang
dikehendakinya seperti yang dimaksud dalam ayat di atas adalah nampaknya Allah
bagi mereka.”
1. Firman Allah.
وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) waktu itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat. [Al-Qiyamah : 22-23]
Abu Hasan Al Asyari dalam kitabnya Al-Ibanah hal.12 mengatakan: “Kata
“Nazhirah” yaitu ‘Raiyah” yang berarti melihat. Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar ,bahwa Rasulullah dalam menafsirkan ayat “Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) waktu itu “Nadhirah”, yaitu berseri-seri, “Kepada
Tuhannyalah Nazhirah (melihat), Yaitu melihat wajah Allah.
6. Ayat-ayat yang memakai kata –kata “Liqa’” (pertemuan).
Seperti firman Allah.
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدً
Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah
mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mepersekutukan seorangpun dalam
beribadah kepada Tuhannya. [Al-Kahfi:110]
Ayat-ayat yang menyatakan “Liqa’” (pertemuan) juga ada pada surat Al
Baqarah : 223, 249, dan Al Ahzab : 44.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ
أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ ْ
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman.( Al Baqarah : 223)
قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو
اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ
وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar." ( Al Baqarah 249 )
Liqa (pertemuan) yaitu bertemu dengan Allah, dengan cara mereka akan
melihat Allah dan Allah akan melihat dan mengucapkan salam kepada mereka, dan
Allah akan berbicara dengan mereka. [Lihat kitab As-Syari’ah oleh Imam Al
Ajurri hal.252]
Adapun Dalil-Dalil Dari Al
Hadis Adalah Sebagai Berikut.
1. Jarir bin Abdullah berkata.
1. Jarir bin Abdullah berkata.
قَالَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِالهِi كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ أَمَا إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا لاَ تُضَامُّونَ أَوْ لاَ تُضَاهُونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا ثُمَّ قَالَ فَ ( سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ) (كتاب :كتاب مواقيت الصلاة باب :باب فضل صلاة الفجر رقم الحديث :
547 الجزء :1 الصفحة 209 ,صحيح البخاري
Jarir bin Abdullah berkata: “Kami duduk bersama Rasulullah, kemudian beliau
memandang bulan yang sedang purnama, lalu beliau bersabda: ”Sesungguhnya kamu
akan melihat Tuhanmu sebagaimana engkau melihat bulan, tidak ada yang
menghalangimu untuk melihat-Nya, kalau kamu mampu tidak meninggalkan shalat
sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya maka lakukannlah. [HR.Bukhari
Muslim]
2. Sabda Nabi yang
maksudnya.
Sesungguhnya engkau akan melihat Tuhanmu dengan mata kepala
sendiri,”[HR.Bukhari Muslim]
3.Sabda Nabi yang berbunyi.
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ الهُe تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ (صحيح مسلم باب :باب إثبات رؤية المؤمنين في الآخرة ربهم سبحانه (كتاب :كتاب الإيمان )) رقم الحديث : الجزء 1: الصفحة : 163
Apabila penduduk surga telah masuk ke surga,
Allah Taala berfirman: ”Apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan Aku
tambahkan?”. Mereka berkata: “Bukankah Engkau telah memutihkan muka
kami dan memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?”.
Kemudian Allah membuka tabir, dan tidak ada sesuatu yang telah diberikan kepada
mereka yang lebih mereka cintai dari pada melihat Tuhannya Yang Maha Tinggi.
[HR.Muslim, dari Shuhaib)]
JAWABAN TERHADAP
ARGUMENTASI MU'TAZILAH DAN KELOMPOKNYA
Sebagian dalil mereka
sudah dijawab dengan dalil-dalil dari Ahlus Sunnah sebagaimana di atas. Adapun
tambahannya adalah sebagai berikut.
1. Pingsannya Nabi Musa
disebabkan karena ketidakmampuannya melihat Allah, dan ini bukan berarti Allah
tidak bisa dilihat.
2. Tasbihnya Musa setelah
sadar dari pingsannya, bukan menunjukkan penyucian dari kekurangan Allah,
justeru menunjukkan kekurangan dan kelemahan Nabi Musa yang yang tidak mampu
melihat Allah di dunia, dan tidak semua yang bisa dilihat berarti tidak baik
atau kurang.
3. Nabi Musa mengatakan:
”Saya bertobat”, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya JuzVII/27 mengatakan: “Sudah
disepakati oleh semua umat bahwa perkataan ini bukan disebabkan karena Musa
melakukan maksiat.”
4. Kaum Nabi Musa diadzab
ketika mereka meminta melihat Allah, karena permintaan mereka adalah sebuah
tantangan kepada nabinya dan itu dilakukannya dengan penuh kesombongan dan
keingkaran dan menganggap semua itu suatu yang mustahil. [Lihat Al Ibanah
hal.15]
5. Perkataan mereka yang
mengatakan bahwa setiap yang terlihat akan memberikan bekas yang berbentuk dan
berwarna adalah “Qiyas ma’al fariq” yaitu kiyas yang terdapat banyak perbedaan
karena membandingkan Al -Khaliq [pencipta] dan makhluk-Nya dan kiyas seperti
ini adalah bathil, karena Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya [As-Syuraa : 11]
BISAKAH ALLAH DILIHAT DI
DUNIA?
Jumhur ulama’ mengatakan
bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia. Berbeda dengan
kelompok Musyabbihah(orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya), juga
sebagian As’ariyah dan orang –orang Shufi, yang mengatakan bahwa Allah bisa
dilihat dengan mata kepala di dunia, bahkan bisa mushafahah (berjabatan tangan)
dan mulamasah (bersentuhan) dengan Allah, sebagaimana yang terdapat pada kitab
Sirajut Thalibin hal.133. Mereka mengatakan: ”Orang-orang yang ikhlas akan bisa
melihat, bahkan memeluk Allah di dunia dan akherat, kalau mereka menginginkan
yang demikian”. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan!!.
Orang-orang Shufi
menganggap bahwa ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) yang ada dalam
hatinya sebagai ru’yatullah dengan mata kepala. Padahal terkadang syaitan
membayang-bayanginya, dan mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.
Dalam hal ini Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya At-Tawassul Wal Washilah hal.28 berkata:
”Terkadang seorang hamba melihat Arsy yang besar yang ada gambar, juga melihat
ada orang yang naik dan turun di arsy tersebut, dan menganggapnya itu malaikat,
dan menganggap gambar itu adalah Allah, padahal itu adalah syaitan. Seperti ini
sering terjadi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani, beliau
bercerita: ”Suatu hari ketika saya selesai beribadah saya melihat arsy yang
agung, di dalamnya ada cahaya dan ada seorang yang memanggil, “Wahai Abdul
Qadir Jailani saya adalah Tuhanmu dan saya sudah menghalalkan kepadamu semua
yang Aku haramkan sebelumnya.”
Syaikh Abdul Qadir Jailani
balik bertanya, apakah Engkau Allah yang tiada Tuhan selain Engkau? Hengkanglah
Wahai musuh Allah!.Kemudian cahaya tadi terpencar dan berobah menjadi kegelapan
kemudian keluar suara yang mengatakan, “Wahai Abdul Qadir engkau telah selamat
dari tipudayaku dengan pengetahuanmu tentang agama, saya sudah berhasil memperdayakan
tujuh puluh orang dengan tipu daya ini.” Ketika beliau ditanya bagaimana anda
mengetahui bahwa itu adalah syaitan, ia menjawab karena dia mengatakan bahwa
Allah sudah menghalalkan kepadaku semua yang diharamkan sebelumnya kepada yang
lain, dan saya berpendapat bahwa syariat Muhammad tidak mungkin dirobah dan
diganti”.
Ketika Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa dirinya pernah melihat
Allah dengan mata kepala di dunia,beliau menjawab: “Barangsiapa di antara
manusia yang mengatakan bahwa para wali atau selainnya bisa melihat Allah
dengan mata kepalanya di dunia maka ia adalah seorang Mubtadi’ yang
menyesatkan,yang berlawanan dengan Kitab dan Sunnah dan ijma’ salaful ummah,
apalagi kalau menganggap dirinya lebih afdhal dari Musa, maka dia harus disuruh
taubat kalau mau,kalau dia menolak maka boleh dibunuh,wallahu A’lam. [Majmu’
fatawa VI/512]
Maka tidak boleh seseorang
cepat terkecoh dengan orang yang bergelar wali atau ahli shufi.
Imam As-Syaukani dalam
kitabnya Al-Wali mengingatkan: ”Tidak boleh seorang wali beranggapan bahwa
semua yang terjadi padanya, berupa kejadian atau mukassyafat (pembukaan tabir)
adalah semuanya karamah dari Allah, karena bisa saja semua itu datang dari
syaitan, maka wajib menilai dan mengukur semua perkataan dan perbuatannya
dengan Kitab dan Sunnah, kalau sesuai maka itu adalah kebenaran dan karamah
dari Allah,kalau itu bertentangan dengan Kitab dan Sunnah maka hendaklah
menyadari bahwa ia tertipu oleh syaitan.”
Adapun dalil jumhur yang
mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia adalah
sebagai berikut:
1. Firman Allah surat Al-A’raaf ayat 143
terdahulu. Ibnu Katsir mengatakan: ”Bahwa penafian ru’yatullah khusus di dunia,
karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat di
akhirat.”
2. Firman Allah dalam surat Al anam ayat 153 .
Imam Ahmad dalam kitab bantahannya kepada Zanadiqah dan Jahamiyah hal.13-14,
berkata: “Makna ayat ini adalah tidak ada yang bisa melihat Allah di dunia
kecuali di akherat. Ibnu Khuzimah dalam kitab tauhidnya hal.185 menambahkan:
“Bahwa Allah tidak bisa dicapai oleh penglihatan penduduk dunia sebelum mati”.
3. Firman Allah dalam
surat Asy-Syu’ara ayat 51, yang menyatakan bahwa Allah hanya berbicara dengan
para rasulNya dengan wahyu atau di balik tabir atau dengan malaikat. Kalau
melihat Allah tidak bisa terjadi pada rasul-Nya, maka apalagi pada manusia yang
lain.
4. Firman Allah dalam
surat Al Baqarah ayat 55, dan yang senada dengan ayat ini, yang menyatakan
bahwa Bani Israil meminta Musa untuk bisa melihat Allah dengan jelas diazab
oleh Allah, karena disamping mereka memintanya dengan penuh kesombongan dan
penantangan, juga mereka memintanya di waktu yang tidak mungkin terjadi.
Apabila kepada Nabi Musa saja tidak bisa terjadi maka apalagi kepada yang
lainnya.
Adapun Dalil Dari Sunnah
Hadits-hadits yang lewat
menyebutkan bahwa Allah hanya bisa dilihat pada hari kiyamat. Itulah sebabnya
pertanyaan sahabat juga memakai kata ”Apakah Allah bisa dilihat pada hari
kiyamat?” dalam pertanyaannya kepada Rasulullah, seperti hadis berikut:
Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah,para Sahabat berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ya Rasulullah! Apakah kita
akan melihat Allah pada hari Kiyamat? [HR.Bukhari dan Muslim]
Riwayat lain dari Abu
Sa’id Al Khudri, para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kita akan
melihat Allah pada hari kiyamat? [HR.Bukhari Muslim] Juga hadits Rasulullah
yang mengingatkan umatnya terhadap Dajjal, beliau bersabda:
مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ كَاتِبٍ وَغَيْرِ كَاتِبٍ
Sesungguhnya di antara dua mata Dajjal tertulis
kata “kafir” yang bisa dibaca oleh setiap orang mukmin, yang dapat menulis,
atau buta huruf.
Dan beliau berkata:
”Ketahuilah bahwasanya tidak ada seorangpun di antara kamu yang bisa melihat
Tuhannya sampai dia mati. [HR.Muslim]
Di sini Rasulullah sedang
berbicara dengan para sahabat bahwa mereka tidak bisa melihat Allah sampai mati
,kalau sahabat saja dikatakan oleh Nabi tidak bisa melihat Allah sebelum mati,
apalagi manusia yang lain.
APAKAH RASULULLAH PERNAH
MELIHAT ALLAH DI DUNIA
Qadhi Iyyad dalam kitabnya
”Assyifa fi ta’rifi huququl Musthafa” juz.I/119-124, menyebutkan beberapa
perbedaan ulama’dalam masalah ini.
Pertama : Ibnu Abbas dan riwayat
dari Ka’ab bin Malik, juga dinisbahkan kepada Anas bin Malik, Ikrimah, Hasan,
Rabi’, dan juga Abu Hasan Al Asy’ari dan Qadhhi Abu Ya’la dari Hanabilah
mengatakan: “Rasulullah pernah melihat Allah (Ketika menerima perintah shalat
diwaktu mi’raj), mereka berhujah dengan hadits-hadits tentang ru’yah yang tidak
mengkhususkan dengan mata tetapi secara mutlak (umum) seperti:
1. Diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Saya melihat
Tuhanku”. [HR.Ahmad]
2. Ibnu Abbas berkata
tentang firman Allah: “Dia benar-benar dan pernah melihatnya dalam bentuk yang
lain, ia berkata: “Nabi sudah melihat Allah dua kali, di Sidharatul Muntaha,
kemudian diwahyukan kepadanya perintah shalat.. [HR Thurmudzi, hasan]
3. Hadits tentang Isra’
miraj Nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Dhamir (kata
ganti) pada kata-kata dana ( mendekat ), auha (mewahyukan ) dan raahu ( melihat
) kembali kepada Allah. Dengan demikian maka Rasulullah pernah melihat Allah.
4. Al-Haitsami dalam
Majmu’ Az-zawaid juz 1 hal 79, meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas: “Sesungguhnya
Muhammad melihat Rabb-Nya dua kali, pertama dengan mata kepalanya, dan kedua
dengan mata hatinya”.
5. Beliau juga berkata:
“Muhammad melihat Allah”, Ikrimah bertanya: “Apakah beliau bisa melakukannya?”,
ia menjawab: “Ya, Allah menjadikan Kalam (berbicara) dengan Musa, hullah
(persaudaraan) dengan Ibrahim dan An-nazhar (melihat) kepada Nabi Muhammad.
Diriwayatkan juga oleh At-Thabrani di Al-Awsath, tetapi di dalamnya isnadnya
ada perawi bernama Hafs bin Amru yang dilemahkan oleh Imam Nasai)
6. Imam Nawawi mengatakan,
inilah pendapat yang kuat, menurut kebanyakan Ulama. Yaitu Rasulullah melihat
Allah dengan mata kepalanya di malam Isra mi’raj. Sesuai dengan hadits Ibnu
Abbas terdahulu. Beliau juga menyebutkan beberapa alasan penguatannya, di
antaranya masalah ini termasuk masalah yang tidak dapat dicerna oleh akal. Maka
apabila hadits Ibnu Abbas itu shahih, ia harus dipegang. Juga Ibnu Abbas
menetapkan bisanya ru’yatullah bagi Nabi, sedangkan hadits Aisyah
menafikan(meniadakan) dalam kaidah al-mutsbat muqaddamun ala annafi (penetapan
lebih dahulukan dari peniadaan). Dan shahabat apabila menetapkan satu pendapat,
kemudian ada shahabat yang lain yang berbeda, maka perbedaan itu tidak
dijadikan hujjah.
Kedua: Rasulullah tidak
pernah melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia.
Inilah pendapat yang dipegang Aisyah dan yang masyhur dari Ibn Mas’ud, Abu Hurairah, dan Abi- Dzar juga sebagian muhadditsin, fuqaha, dan mutakalimin. [Llihat Syarah Thahawiyah oleh Abi al-izzi hal 137].
Inilah pendapat yang dipegang Aisyah dan yang masyhur dari Ibn Mas’ud, Abu Hurairah, dan Abi- Dzar juga sebagian muhadditsin, fuqaha, dan mutakalimin. [Llihat Syarah Thahawiyah oleh Abi al-izzi hal 137].
Diantara dalil- dalilnya
adalah
1. Hadits Aisyah yang
diriwayatkan Masyruq, ia berkata:
حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ مَنْ
“Barang siapa mengatakan bahwa Muhammad melihat
Tuhannya, maka ia telah berdusta besar pada Allah. [HR. Bukhari Muslim]
2. Hadits Abi Dzar -yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Syaqiq-, dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ الهِ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ
سَأَلْتُ رَسُولَ الهِ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ
Saya pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah engkau
telah melihat Allah”, beliau menjawab: “Cahaya yang menghalangi-ku untuk
melihatNya. [HR. Muslim]
Dalam riwayatkan lain dikatakan
:
رَأَيْتُ نُورًا
رَأَيْتُ نُورًا
Saya hanya melihat cahaya. [HR. Muslim]
3. Hadits Abu Musa, di dalamnya disebutkan.
حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
HijabNya adalah cahaya, jika hijab itu dibuka
niscaya terbakar-lah di antara makhlukNya oleh cahaya mukaNya sejauh pandangan.
[HR Muslim]
Sedangkan yang pernah dilihat oleh Rasulullah
adalah Jibril Aliahissallam, bukan Allah sebagaimana Hadits Abu-Hurairah dan
Aisyah.
4.
Hadits riwayat Abu Hurairah dalam firman Allah:
وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَى
وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَى
Dan ia telah melihatnya dalam bentuk yang lain
(An-Najm:13), Rasulullah mengatakan bahwa belaiu melihat Jibril. (HR. Muslim )
5. Diriwayatkan oleh Asybani, dia bertanya
kepada Dzur bin Hubaysih tentang tafsir ayat 13 surat An-Najm , dia berkata:
Ibn Masud memberitahukannya bahwa Nabi melihat Jibril mempunyai 600 sayap.
Juga hadits Aisyah, ia menyatakan, bahwa Nabi
bersabda: “Sesungguhnya dia adalah Jibril yang sebelumnya tidak pernah saya
lihat dalam bentuk aslinya kecuali dua kali. Saya melihatnya turun dari
langit yang keagungan penciptaanya memenuhi langit dan bumi.”
6. Dua hadits ini cukup
untuk menjelaskan bahwa Nabi tidak pernah melihat Allah di dunia, karena kedua
hadits tersebut shahih dan sharih. Berbeda dengan hadits yang dipakai pendapat
pertama, haditsnya mutlak. juga seperti hadits Syuraiq masih dipertanyakan
sanad maupun matan, karena Syuraiq sendiri menurut Ahlul Hadits tidak hafidz
(kuat hafalannya) (Lihat Fathul- Bari juz 13, hal 484 ).
Adapun tarjih (pendapat
yang dianggap kuat) Imam Nawawi termasuk tarjih tanpa hujjah yang kuat dan
tepat.
Ketiga : Tawaquf (tidak
mengatakan Rasulullah telah melihat Allah). Ini yang dilakukan oleh Qadhi
‘Iyadh.
Sebagian Ulama mencoba
untuk mempertemukan dua pendapat tersebut, dengan mengatakan bahwa orang yang
meniadakan ru’yatullah maksudnya Nabi tidak melihat Allah dengan mata kepalanya
sendiri. Dan yang menetapkan ru’yatullah maksudnya Nabi melihat Allah dengan
mata hatinya. Karena tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-sunnah
yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala beliau, dan
Rasulullah sendiri tidak pernah memberitahukan kepada shahabatnya, seandainya
beliau pernah melihat Allah dengan matanya niscaya akan menceritakan
shahabatnya. [Lihat Majmu’Fatawa juz 6, hal 509-510). Juga tafsir Ibn Katsir
juz 6, hal 452]
MELIHAT
ALLAH DENGAN MATA HATI
Ulama sepakat bahwa
Rasulullah n pernah melihat Allah dengan hatinya, berdasarkan hadits
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: “Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
melihatNya dengan hatinya” [HR.Muslim]
Abu Dzar meriwayatkan
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Allah dengan hatinya dan
tidak pernah melihatnya dengan mata kepalanya. Ibrahim At-Taimi meriwayatkan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihatnya dengan hatinya dan
tidak pernah melihat dengan matanya. Imam Nawawi berkata: “Melihat Allah dengan
hatinya adalah penglihatan yang benar, yaitu Allah menjadikan penglihatannya
dihatinya atau menjadikan hatinya mempunyai penglihatan sehingga dia bisa
melihat Tuhannya dengan benar, sebagaimana dia melihat dengan mata kepalanya
sendiri. [Syarah Shahih Muslim juz3, hal 6].
Adapun selain Nabi,
seperti Shahabat dan tabi’in, maka salaf sepakat bisa terjadi bagi hati seorang
mukmin sebuah mukasyafat (membuka tabir) dan musyahadat (persaksiaan), yang
sesuai dengan keimanan dan ma’rifatullah. Karena seorang yang mencintai sesuatu
akan membekas dalam hatinya dan merasa selalu dekat dalam hatinya. Sebagaimana jawaban Rasulullah tentang ihsan:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Hendaklah engkau beribadah
kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihatNya,
maka Dia melihatmu.[HSR. Bukhari, Muslim, dan lainnya-Red]
Syaikhul Islam
meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat
Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat
Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak
dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Syaikhul Islam menambahkan
sesungguhnya Allah dilihat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, dan inilah pendapat saya, dan pendapat imam-imam kita. Berbeda
dengan pendapat orang-orang yang jahil yang ada di sekitar kita. [Majmu’Fatawa
V/79]
Seperti Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan
hati dan bukan melihat-Nya tapi mengetahui-Nya dengan hati. [Maqalaat Islamiyah
I/118]
MELIHAT ALLAH LEWAT MIMPI
Para sahabat dan tabiin dan salaf mengatakan bahwa ru’yatullah lewat mimpi
adalah hak dan bisa terjadi. Sebagaimana hadits tentang mimpi Rasulullah
melihat Allah dengan lafaz yang berbeda di antaranya:
Diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas ,Rasulullah bersabda:
رَأَيْتُ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Saya pernah melihat Tuhanku dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.[HR.Tirmidzi dan Ahmad]
Juga di dalam hadits yang lain.
أَتَانِي اللَّيْلَةَ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Semalam saya didatangi oleh Tuhanku dalam
bentuk yang sebaik-baiknya” [HR.Tirmidzi dan Ahmad]
Diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, Rasulullah
bersabda.
فَإِذَا أَنَا بِرَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Tiba-tiba aku bertemu dengan Tuhanku dalam
bentuk yang sebaik-baiknya.[HR.Tirmidzi dan Ahmad]
Syaikh Islam berkata:
”Terkadang seorang mukmin bisa melihat Allah ketika tidurnya dalam bentuk yang
berbeda, sesuai dengan kafasitas keimanan dan keyakinannya. Apabila keimanannya
kepada Allah kuat dan benar, maka ia akan melihat Allah dalam bentuk yang baik,
tapi bila imannya kurang maka ia akan melihat Allah sebatas imannya itu. Dan
penglihatan lewat mimpi berbeda dengan penglihatan ketika tidur. [Majmu’Fatawa
juz III/390]
Namun demikian bukan
berarti orang yang pernah bermimpi melihat Allah boleh melanggar syari’ah atau
dijamin masuk surga, karena tidak ada ketentuan yang demikian dari Rasulullah.
Adapun perkataan Ibnu Sirin yang diriwayatkan Ad-Darimi no 249, yang
menyatakan: ”Barang siapa yang bermimpi melihat Allah maka akan masuk surga”,
tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak adanya sanad yang bersambung kepada
Rasulullah, dan tidak seorangpun dari sahabat yang menyatakan demikian.
RUYATULLAH PADA HARI KIYAMAT
Sebelumnya telah
disebutkan bahwa Ahlussunah sepakat bahwa ru’yatullah pada hari kiyamat adalah
hak menurut Al-Quran dan Sunnah. Tetapi apakah ru’yatullah pada hari ini khusus
bagi orang mukmin saja atau yang lainnya juga?. Ada tiga pendapat ulama dalam
masalah ini.
Pertama.
Ruyatullah pada hari kiyamat untuk semua orang baik mukmin maupun kafir.Mereka berhujjah dengan keumumman ayat yang menjelaskan pertemuan dengan Allah seperti ayat:
Ruyatullah pada hari kiyamat untuk semua orang baik mukmin maupun kafir.Mereka berhujjah dengan keumumman ayat yang menjelaskan pertemuan dengan Allah seperti ayat:
يَا أَيُّهاَ اْلإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلىَ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاَقِيهِ
Hai manusia sesungguhnya kamu telah bekerja
dengan sungguh-sungguh memuja Tuhanmu,maka pasti kamu akan menemui-Nya. [Insyiqa’ : 6]
Kata”Insan” dalam ayat di
atas menunjukkan jenis yaitu anak Adam. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh
sebagian ahli tafsir seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al Qurthubi. Mereka
berdalil dengan hadis Abi Said terdahulu, yang menyatakan bahwa manusia akan
melihat Allah pertama kali, kemudian dikatakan kepadanya supaya setiap kaum
mengikuti apa yang dia sembah di dunia. Dan ini adalah ru’yah yang umum kepada
semua manusia.
Kedua;
Melihat Allah hanya bagi orang menampakan keimanannya baik dia mukmin atau orang munafik. Mereka berdalih dengan hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah akan menampakkan diriNya dalam bentuk yang diketahui oleh orang yang menyembahNya, kecuali mereka yang menyembah matahari, bulan dan salib.
Melihat Allah hanya bagi orang menampakan keimanannya baik dia mukmin atau orang munafik. Mereka berdalih dengan hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah akan menampakkan diriNya dalam bentuk yang diketahui oleh orang yang menyembahNya, kecuali mereka yang menyembah matahari, bulan dan salib.
Ketiga;
Hanya orang yang mukminlah yang akan bisa melihat Allah, karena Allah mengatakan:
Hanya orang yang mukminlah yang akan bisa melihat Allah, karena Allah mengatakan:
كَلآَّ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
Sekali-kali tidak,
sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)Tuhannya.
[Al Mutaffifin :15]
Dan pendapat inilah yang
paling kuat. Adapun pendapat pertama yang menyatakan bahwa semua manusia bisa
Ru'yatullah, yang dimaksud adalah yang pertama kali yaitu Ru'yatullah yang
umum, tetapi kemudian dihijabi/dihalangi. Ru'yatullah itu juga berbeda. Yang
paling hakiki adalah Ru'yatullah di dalam surga yang menjadi tambahan bagi
orang mu’min, inilah yang dikuatkan oleh hadits Sa’id Al Khudri: “Kemudian Al
Jabbar (Allah) mendatanginya dalam bentuk yang berbeda dengan bentuk awal
mereka melihatNya (Majmu’ Fatawa VI/503)”.
Dari pembahasan ini bisa
disimpulkan bahwa Allah tidak bisa dilihat, tetapi tidak pernah dilihat dengan
mata kepala baik, oleh nabi Musa maupun Rasulullah di dunia. Allah hanya bisa
dilihat di dunia dengan pandangan hati atau lewat mimpi sesuai dengan kapasitas
keimanan dan keyakinannya kepada Allah. Adapun pada hari kiamat Allah akan
dilihat oleh seluruh mahluk-Nya. Tetapi Ru'yatullah yang hakiki yang menjadi
tambahan kenikmatan, hanya bisa dirasakan oleh orang mukmin setelah mereka
masuk kedalam surga.
( Nurul Mukhlisin Asyaraf : http :
Almanhaj.or.id/content/3053/slas/0 )
XII. Wali dan Karamah
Siapakah wali itu? Ada dua penjelasan tentang
makna wali.
Pertama, kata al-wali merupakan bentuk
superlatif dari subyek (fa'il), seperti kata al-'alim
bermakna yang sangat alim dan kata al-qadir bermakna yang sangat berkuasa. Maka
kata al-wali bermakna orang yang sangat menjaga ketaatan kepada Allah tanpa
tercederai oleh kemaksiatan atau memberi kesempatan pada dirinya untuk berbuat
maksiat.
Kedua, kata al-wali merupakan
subjek bermakna objek, seperti kata al-qatil bermakna yang terbunuh dan
al-jarih bermakna yang terluka. Maka kata al-wali bermakna orang
yang dijaga dan dilindungi oleh Allah Swt, dijaga terus-menerus dari berbagai
macam maksiat dan selamanya mendapat pertolongan Allah untuk selalu berbuat
taat.
Perlu diketahui bahwa kata
al-wali diambil dari firman Allah Swt,:
· "Allah
adalah pelindung (wali) orang-orang yang beriman" (QS Al-Baqarah [2]:
257).
· "Dan
dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang saleh "(QS Al-A'raf [7]: 196).
· "Engkaulah
Penolong kami (maulana), maka tolonglah kami dari kaum yang kafir "(QS
Al-Baqarah [2]: 286).
· "Yang
demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung (maula) orang-orang
beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai
pelindung" (QS Muhammad [47]: 11).
· "Dan
firman-Nya, Sesungguhnya penolong kamu (waliyyukum) adalah Allah dan
Rasul-Nya" (QS Al-Maidah [5]: 55)
Menurut saya, ditinjau
dari segi etimologis, al-wali berarti yang dekat. Ketika seorang hamba dekat
kepada Allah karena ketaatan dan keikhlasannya, maka Allah akan senantiasa
dekat kepadanya, dengan limpahan rahmat, keutamaan, dan kebaikan, hingga
mencapai jenjang al-wilayah (kewalian).
Pengertian
Karomah
Istilah karomah berasal
dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat
diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa
karena ketaqwaanya kepada Tuhan. [Dept. P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka Jakarta, halaman 483]
Ajaran Islam memaksudkan sebagai “Khariqun lil adat”, yaitu kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal. 40]
Sedangkan, Imam Qusyairi menjelaskan karomah sebagai penampakan karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak benar sikap dan kelakuannya, maka tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan Allah yang maha Qodim memberi tahu kepada kita agar membedakan orang yang benar dan mana yang batil. [Abul Qosim Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury, Risaltul Qusyairiyah, Darul Khoir, halaman 353]
Dengan demikian, istilah karomah dapat disimpulkan sebagai kejadian yang luar biasa pada seseorang yang merupakan anugerah dari Allah dikarenakan ketaqwaanya. manusia Di Indonesia khususnya sangat senang jika membaca kisah karomah para wali, buku-buku tentang karomah para wali laris manis bak kacang goreng. Bahkan sudah banyak orang yang berusaha agar mendapatkan karomah wali tersebut, ada yang belajar silat, ngalap berkah kubur wali, sampai berdo’a dan berkurban kepada sang wali tersebut. nah apa sebenarnya karomah itu, benarkah karomah bisa dipelajari ? berikut penjelasannya..
Ajaran Islam memaksudkan sebagai “Khariqun lil adat”, yaitu kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal. 40]
Sedangkan, Imam Qusyairi menjelaskan karomah sebagai penampakan karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak benar sikap dan kelakuannya, maka tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan Allah yang maha Qodim memberi tahu kepada kita agar membedakan orang yang benar dan mana yang batil. [Abul Qosim Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury, Risaltul Qusyairiyah, Darul Khoir, halaman 353]
Dengan demikian, istilah karomah dapat disimpulkan sebagai kejadian yang luar biasa pada seseorang yang merupakan anugerah dari Allah dikarenakan ketaqwaanya. manusia Di Indonesia khususnya sangat senang jika membaca kisah karomah para wali, buku-buku tentang karomah para wali laris manis bak kacang goreng. Bahkan sudah banyak orang yang berusaha agar mendapatkan karomah wali tersebut, ada yang belajar silat, ngalap berkah kubur wali, sampai berdo’a dan berkurban kepada sang wali tersebut. nah apa sebenarnya karomah itu, benarkah karomah bisa dipelajari ? berikut penjelasannya..
Anggapan keliru tentang
wali :
Wali harus punya kromah. senantiasa memiliki kesaktian yang
dapat dipergunakan
sewaktu-waktu sekehendak dia.
Banyak anggapan di masyarakat bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah
yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan
pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang
wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah
yang paling besar di sisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama,
bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah
asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh
sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah
bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari
karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan
para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu
berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam
perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang
uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan
Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk
menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap
orang tersebut dalam kesulitan.
Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik
dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila
Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena
mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka
takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah
mereka menerima waktu di dunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di
beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau
berbangga diri di hadapan orang lain.
ketahuilah, selain ada wali Alloh ada juga wali
syaithon !!
wali syaiton ini lah yang mengelabuhi manusia,
ia mendapatkan berbagai kemampuan aneh karena bekerjasama dengan syaiton,
naudzubillah. karena karomah dan sihir ada perbedaannya :
Karomah :
kejadian di luar kebiasaan yang Allah
anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai
seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun
dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui
terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba
tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil I’tiqad, 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al
Wasithiyah, 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin—rahimahullah). Karomah itu tanpa dipelajari, dan tidak bisa diulang-ulang dan dimainkan
sesuka hatinya dan tidak bisa diwariskan atau diturunkan (sebagaimana ilmu
tenaga dalam, metafisik, dkk).
Sihir :
datangnya dari syaiton dan bisa dipelajari, bisa diturunkan / diwariskan
asalkan memenuhi persyaratan syaiton tsb. Apakah Setiap yang Di Luar Kebiasaan
Disebut Karamah?
Sesuatu yang terjadi di luar kebiasaan, bisa dikelompokkan menjadi tiga:
- Mukjizat, terjadi pada para rasul dan nabi.
- Karamah, terjadi pada para wali Allah.
- Tipuan setan, terjadi pada wali-wali setan.(At Tanbihaatus Saniyyah hal.
312-313).
Lalu bagaimana membedakan antara karamah dan tipu daya setan? Tentunya,
dengan mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan masing-masing orang yang
mendapatkan hal luar biasa tersebut, maka benarlah apa yang di ucapkan oleh
Imam Syafi’i rohimahulloh.
Al Imam Asy Syafi’i—rahimahullah—berkata, “Apabila kalian melihat seseorang
berjalan di atas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan
tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (A’lamus Sunnah Al Manshurah hal.
193).
K.H. Hasyim Al Asy’ari—rahimahullah—(tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, NU)
berkata, “Barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah tanpa mengikuti sunnah,
maka pengakuannya adalah kebohongan.” (Ad Durar Al Muntasirah, hal. 4).
2. Wali mengatahui yang
ghoib ??!!
Maka keliru, pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa
wali itu identik dengan ulama atau kyai yang memiliki keajaiban dan ilmu yang
aneh-aneh. Meskipun dia adalah seorang kyai yang banyak meninggalkan kewajiban
syariat, pernyataannya sering merugikan dan menyakiti umat Islam, mengobok-obok
syariat, bahkan menjadi penolong musuh-musuh Allah, Yahudi dan Nasrani.“Di
sisi-Nya (Allah) segala kunci-kunci yang gaib, tiada yang dapat mengetahuinya
kecuali Dia (Allah)”. (QS. Al An’aam, ayat : 59). Dan firman Allah,
“Katakanlah” :tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui
hal yang gaib kecuali Allah”. (QS. An Naml, ayat: 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang gaib
kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada Mereka. Sebagaimana
firman Allah kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Katakanlah: Aku
tidak mengatakan kepada kalian bahwa di sisiku gudang-gudang rezeki Allah, dan
aku pun tidak mengetahui hal yang gaib”. (QS. Al
An’aam, ayat: 50).
An’aam, ayat: 50).
Dan firman Allah: “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan
tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang gaib
tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah
ditimpa kejelekan”. (QS. Al-A’raaf, ayat: 188).
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan,
sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah,
atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan
tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada
makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh
kaum Nuh ‘alaihis salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah.
Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan
menyampaikan doa Mereka pada Allah.
Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah
dalam firman-Nya: “Ingatlah; milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan
orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak
menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya”. (QS. Az Zumar, ayat: 3).
3. Berlebihan kepada wali
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa di kuburannya, justru
ini adalah perbuatan yang di benci wali itu sendiri karena telah
menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali
di sisi Allah dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi.
Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa.
Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan
manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau
hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong ke kuburan nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat
diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di
Madinah, Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah
kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan
Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam
dunia.
Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah
dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh
kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah
itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun
kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati
adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau
bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir
persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini
adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah
meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at? adakah petunjuk dari
Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan
meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at.
Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal
yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu
adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa
yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang
atau berjalan di atas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang
sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang
memiliki halhal yang serupa adalah bagaimana amalannya apakah amalannya
sehari-hari menurut sunnah atau tidak? Karena setan bisa membawa
seseorang untuk terbang, atau memberi tahu para walinya sesuatu yang tidak
dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang di akhir zaman
memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat
mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara
setan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang
yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas
tipuan setan.
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi palsu Mukhtar bin
Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Ia mengaku bahwa dia menerima wahyu,
lalu seseorang berkata kepadaIbnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku
diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar,
kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah: “Maukah kamu Aku
beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta
yang banyak dosa “. (Asy Syu’araa, ayat: 221-222). Dan yang lain membaca firman
Allah, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka
untuk membantahmu”. (QS. Al An’aam, ayat: 121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya
sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Karena nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya
dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat”.
(HR. A t Tirmizy no. 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang
terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali
dengan dua saksi dari kitab dan sunnah.”
Rujukan:
1. Majmu’ Fatawa,Syaikh Islam Ibnu Taimiyah,Matbaah Riyad tahun 1382 H.
2. Attawassul wal Washilah,Ibnu Taimiyah cet.Daar Arabiyah Tahun 1390H
3. Tafsir Ibnu Katsir,cet.Daar Fikr 1389H
4. Ru'yatullah ,DR.Ahmad bin Nashr Al Hamd,cet.Ummul Quram1411H
5. Sirah Ibnu Hisyam, ,cet.Daar Fikr 1389H
1. Majmu’ Fatawa,Syaikh Islam Ibnu Taimiyah,Matbaah Riyad tahun 1382 H.
2. Attawassul wal Washilah,Ibnu Taimiyah cet.Daar Arabiyah Tahun 1390H
3. Tafsir Ibnu Katsir,cet.Daar Fikr 1389H
4. Ru'yatullah ,DR.Ahmad bin Nashr Al Hamd,cet.Ummul Quram1411H
5. Sirah Ibnu Hisyam, ,cet.Daar Fikr 1389H
5. Nurul Mukhlisin Asyaraf : http : Almanhaj.or.id/content/3053/slas/0 )
No comments:
Post a Comment