Mencintai dan
memuliakan Rasulullah shallallahu
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sebagai
seorang muslim kita harus berakhlak kepada Rasulullah SAW, meskipun beliau
sudah wafat dan kita tidak berjumpa dengannya, namun keimanan kita kepadanya
membuat kita harus berakhlak baik kepadanya, sebagaimana keimanan kita kepada
Allah, membuat kita harus berakhlak baik kepada-Nya. Pada dasarnya Rasulullah
SAW adalah manusia yang tidak berbeda dengan manusia pada umumnya. Namun,
terkait dengan status “Rasul” yang disandangkan Allah atas dirinya, maka
terdapat pula ketentuan khusus dalam bersikap terhadap utusan yang tidak bisa
disamakan dengan sikap kita terhadap orang lain pada umumnya.
Rumusan
Masalah
1.
Mengapa kita wajib mencintai dan taat
kepada Rasulullah Saw ?, dan
2.
Bagaimana cara berakhlak kepada
Rasulullah Saw ?
Tujuan
1.
Menjelaskan mengapa kita wajib mencintai
dan taat kepada Rasulullah Saw.
2.
Menjelaskan bagaimana cara berakhlak
kepada rasulullah.
BAB II
PEMBAHASAN
Mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah
syarat sahnya iman. Barangsiapa dalam hatinya tidak ada rasa cinta dan
penghormatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, niscaya dalam
hatinya tiada keimanan sedikit pun.
Semakin kuat rasa cinta seorang muslim kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam, niscaya keimanannya semakin kuat pula. Dan keimanan tersebut
akan mencapai puncaknya ketika seorang muslim lebih mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam daripada rasa cintanya kepada ayah, ibu, anak,
istri, saudara dan manusia siapapun juga.
Sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits shahih:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda: “Demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya. Salah
seorang di antara kalian tidak beriman sehingga aku lebih ia cintai daripada
bapaknya dan anaknya sendiri.” (HR. Bukhari no. 14)
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi
wa salam bersabda: “Salah seorang di antara kalian tidak beriman sehingga aku
lebih ia cintai daripada bapaknya sendiri, anaknya sendiri dan seluruh
manusia.” (HR. Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ
الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam bersabda: “Tiga perkara yang barangsiapa pada dirinya terdapat ketiga
perkara tersebut niscaya ia akan bisa meraih lezatnya keimanan: (1) Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai dari manusia siapapun juga, (2) mencintai seseorang
semata-mata karena (orang tersebut taat kepada) Allah dan (3) benci kembali
kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran, sebagaimana
rasa bencinya jika dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim
no. 43)
Seorang muslim senantiasa mencintai dan mengagungkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam. Di antara wujud mencintai dan mengagungkan beliau
adalah:
1.
Membenarkan wahyu Al-Qur’an
dan as-sunnah (hadits nabawi) yang beliau terima dari Allah ta’ala.
2.
Melaksanakan
perintah-perintah beliau, baik hal yang wajib maupun yang sunah.
3.
Menjauhi larangan-larangan
beliau, baik hal yang haram maupun yang makruh.
4.
Mempelajari, mengajarkan,
mendakwahkan dan memperjuangkan ajaran agama Islam yang beliau bawa.
5.
Menjadikan syariat beliau,
Al-Qur’an dan as-sunnah, sebagai satu-satunya pedoman hidup dalam kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
6.
Mengorbankan jiwa raga,
harta, tenaga, pikiran dan waktunya untuk memperjuangkan tegaknya syariat
beliau.
7.
Memanjatkan shalawat kepada
beliau dan memohon kepada Allah agar kelak di hari kiamat diperkenankan
menerima syafaat beliau.
8.
Memusuhi dan membenci
orang-orang yang membenci, memusuhi, mencaci maki dan melecehkan beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam adalah pribadi agung dan manusia pilihan yang paling dicintai dan
diagungkan oleh Allah Ta’ala. Oleh karenanya, mengagungkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam adalah
bagian dari mengagungkan syiar-syiar agama Allah Ta’ala. Sebagaimana
difirmankan oleh Allah Ta’ala,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى
الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar
Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj [22]:
32)
Tuntunan Islam dalam menyikapi pelecehan terhadap Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam. Islam memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sama artinya dengan penghinaan,
pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala dan agama Islam. Sebab, Allah
Ta’ala-lah Yang telah mengutus beliau sebagai penutup seluruh nabi dan rasul
dengan membawa agama Islam.
Demikian pula penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada agama Islam
sama artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Tentu saja, penghinaan, pelecehan
dan caci makian kepada Allah Ta’ala juga merupakan penghinaan, pelecehan dan
caci makian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan agama Islam.
Allah Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan agama Islam
adalah tiga hal yang saling berkait erat dan tidak bisa dipisahkan. Ketiganya
wajib diagungkan oleh seorang muslim. Penghinaan, pelecehan dan caci makian
kepada salah satunya berarti penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada dua
perkara lainnya.
Seorang muslim akan mengikuti tuntunan Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’
ulama dalam menyikapi tindakan dan orang yang melakukan penghinaan, pelecehan
dan caci makian kepada Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam atau agama Islam. Lantas bagaimana Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama
memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala, atau
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam?
Dalil-dalil
Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas telah menerangkan bahwa orang yang
menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam atau agama Islam adalah orang yang kafir murtad jika
sebelumnya ia adalah seorang muslim. Kekafiran orang tersebut adalah kekafiran
yang berat, bahkan lebih berat dari kekafiran orang kafir asli seperti Yahudi,
Nasrani dan orang-orang musyrik.
Adapun jika sejak awal ia adalah orang kafir asli, maka tindakannya
menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam atau agama Islam tersebut telah menempatkan dirinya sebagai
gembong kekafiran dan pemimpin orang kafir. Di antara dalil dari Al-Qur’an yang
menegaskan hal ini adalah:
[1] Firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي
دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ
لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
“Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji
dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang
kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (QS. At-Taubah [9]: 12)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebut orang kafir yang mencerca dan
melecehkan agama Islam sebagai aimmatul kufri, yaitu pemimpin-pemimpin
orang-orang kafir. Jadi ia bukan sekedar kafir biasa, namun gembong orang-orang
kafir. Tentang hal ini, imam Al-Qurthubi berkata, “Barangsiapa membatalkan
perjanjian damai dan mencerca agama Islam niscaya ia menjadi pokok dan pemimpin
dalam kekafiran, sehingga berdasar ayat ini ia termasuk jajaran pemimpin
orang-orang kafir.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/84)
Imam Al-Qurthubi berkata, “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas
wajibnya membunuh setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir.
Mencerca (ath-tha’nu) adalah menyatakan sesuatu yang tidak layak tentang Islam
atau menentang dengan meremehkan sesuatu yang termasuk ajaran Islam, karena
telah terbukti dengan dalil yang qath’i atas kebenaran pokok-pokok ajaran Islam
dan kelurusan cabang-cabang ajaran Islam.
Imam Ibnu Al-Mundzir berkata, “Para ulama telah berijma’ (bersepakat)
bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam harus dibunuh.
Di antara yang berpendapat demikian adalah imam Malik (bin Anas), Laits (bin
Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi
pendapat imam Syafi’i.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/82)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna firman Allah mereka mencerca agama
kalian adalah mereka mencela dan melecehkan agama kalian. Berdasar firman Allah
ini ditetapkan hukuman mati atas setiap orang yang mencaci maki Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam atau mencerca agama Islam atau menyebutkan Islam
dengan nada melecehkan. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka
itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka
berhenti, maksudnya mereka kembali dari kekafiran, penentangan dan kesesatan
mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/116)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Allah Ta’ala menamakan mereka
pemimpin-pemimpin orang-orang kafir karena mereka mencerca agama Islam…Maka
telah tetaplah bahwa setiap orang yang mencerca agama Islam adalah pemimpin
orang-orang kafir. Jika seorang kafir dzimmi mencerca agama Islam maka ia telah
menjadi seorang pemimpin bagi orang-orang kafir, ia wajib dibunuh berdasar
firman Allah Ta’ala “maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu“.
(Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 17)
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya mencaci maki Allah atau mencaci
maki Rasul-Nya adalah kekafiran secara lahir dan batin. Sama saja apakah orang
yang mencaci maki itu meyakini caci makian itu sebenarnya haram diucapkan, atau
ia meyakini caci makian itu boleh diucapkan, maupun caci makian itu keluar
sebagai kecerobohan bukan karena keyakinan. Inilah pendapat para ulama fiqih
dan seluruh ahlus sunnah yang menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan
perbuatan.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 512)
Beliau juga mengatakan: “Jika orang yang mencaci maki (Allah Ta’ala)
tersebut adalah seorang muslim maka ia wajib dihukum bunuh berdasar ijma’
(kesepakatan ulama) karena ia telah menjadi orang kafir murtad dan ia lebih
buruk dari orang kafir asli. Seorang kafir asli sekalipun akan mengagungkan
Rabb dan meyakini agama batil yang ia anut tersebut bukanlah sebuah olok-olokan
dan caci makian kepada Allah Ta’ala.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim
Ar-Rasul, hlm. 546)
[2]. Firman Allah Ta’ala:
) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ
مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?”
Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian
beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka
tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka
adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
Tentang sebab turunnya ayat ini, para ulama tafsir seperti imam Muhammad
bin Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir dan Jalaluddin As-Suyuthi
telah meriwayatkan hadits dari lbnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam
dan Qatadah bahwa dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, “Kita belum pernah
melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang
yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam
peperangan.” Para ahli baca Al-Qur’an yang mereka olok-olok tersebut adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca
Al-Qur`an.
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kau. Justru kamu
adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Auf bin Malik segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk melaporkan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, wahyu
Allah (QS. At-Taubah [9]: 65-66) telah turun kepada beliau.
Ketika orang yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki
untanya. Maka orang itu berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah!
Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau dan mengobrol sebagaimana obrolan
orang-orang yang bepergian jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan
jauh kami.”
Ibnu Umar berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kedua kakinya
tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau
dan bermain-main saja.”
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya kepadanya:
“Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang
lagi. (Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an, 14/333-335, Tafsir Ibnu Abi
Hatim, 6/1829-1830 dan Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 4/230-231)
Ayat di atas menegaskan bahwa orang tersebut menjadi orang kafir murtad,
padahal sebelumnya ia seorang muslim yang beriman, karena ia mengucapan
olok-olokan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat.
Padahal olok-olokan tersebut menurut pengakuannya sekedar gurauan dan obrolan
biasa sekedar pengusir kepenatan dalam perjalanan jauh perang Tabuk. Maka
bagaimana lagi dengan caci makian, pelecehan dan ejekan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam secara terang-terangan? Tak diragukan lagi, hal tersebut
merupakan kemurtadan dan kekafiran.
Imam Abu Bakar Al-Jashash Al-Hanafi berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa
orang yang bercanda dan orang yang serius itu hukumnya sama saat ia mengucapkan
kalimat kekufuran secara terang-terangan tanpa adanya paksaan (siksaan berat
terhadapnya untuk mengucapkannya). Karena orang-orang munafik tersebut
menyatakan bahwa ucapan yang mereka ucapkan tersebut hanyalah sendau gurau
belaka. Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa mereka telah kafir dengan
sendau gurauan mereka itu.
Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri dan Qatadah bahwa orang-orang tersebut
mengatakan dalam perang Tabuk: “Apakah orang ini (nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa salam) berharap bisa menaklukkan istana-istana dan benteng-benteng
di negeri Syam? Mustahil, mustahil.”
Maka Allah memberitahukan bahwa ucapan tersebut adalah sebuah kekafiran
mereka, baik mereka mengucapkannya dengan bercanda maupun serius. Maka ayat ini
menunjukkan kesamaan hukum (kekafiran) atas orang yang mengucapkan kalimat
kekufuran secara terang-terangan, baik ia bercanda maupun serius. Ayat ini juga
menunjukkan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah atau sebagian dari syariat (ajaran)
agama-Nya menyebabkan pelakunya kafir.” (Ahkamul Qur’an, 4/348-349)
Dari ayat di atas dan uraian sebab turunnya ayat tersebut, bisa diketahui
bahwa Allah Ta’ala menganggap olok-olokan terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam atau olok-olokan terhadap generasi sahabat sebagai olok-olokan
terhadap Allah Ta’ala dan ayat-ayat Allah Ta’ala. Hal itu karena Allah Ta’ala
dalam banyak ayat Al-Qur’an telah memuji dan meridhai generasi sahabat (lihat
misalnya QS. Al-Fath [48]: 18 dan 29, At-Taubah [9]: 110 dan Al-Hasyr [59]: 8-10). Mengolok-olok
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam atau generasi sahabat berarti melecehkan,
meremehkan dan mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut; sekaligus melecehkan,
meremehkan dan mendustakan Allah Ta’ala yang telah menurunkan ayat-ayat
tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ayat ini merupakan dalil yang
tegas bahwa mengolok-olok Allah atau ayat-ayat-Nya atau rasul-Nya adalah
perbuatan kekafiran. Sehingga mencaci maki lebih layak untuk menjadi perbuatan
kekafiran. Ayat ini telah menunjukkan bahwa setiap orang yang melecehkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,secara serius maupun bercanda, adalah
orang yang telah kafir.” (Majmu’ Fatawa, 7/272)
[3] Firman Allah Ta’ala:
) يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ
وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ (
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan nama Allah bahwa
mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah
mengucapkan perkataan kekafiran, dan mereka telah menjadi kafir sesudah Islam.”
(QS. At-Taubah [9]: 74)
Para ulama tafsir menyebutkan sejumlah riwayat tentang sebab turunnya
ayat ini. Di antaranya riwayat yang menyebutkan bahwa ketika pada perang Tabuk
banyak ayat Al-Qur’an yang turun membongkar kebusukan orang-orang munafik dan
mencela mereka, maka Julas bin Suwaid bin Shamit dan Wadi’ah bin Tsabit
berkata: “Jika memang Muhammad benar atas (ayat-ayat Al-Qur’an yang turun
mencela) saudara-saudara kita, sementara saudara-saudara kita adalah para
pemimpin dan orang-orang terbak di antara kita, tentulah kita ini lebih buruk
dari seekor keledai.”
Mendengar ucapan kedua orang itu, sahabat Amir bin Qais berkata, “Tentu
saja, demi Allah, Muhammad itu orang yang berkata benar dan ucapannya
dibenarkan, dan sungguh engkau ini lebih buruk dari seekor keledai.”
Amir bin Qais lalu melaporkan ucapan kedua orang itu kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam. Julas bin Suwaid segera mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam dan bersumpah dengan nama Allah bahwa Amir telah
berbohong. Amir pun balas bersumpah bahwa Julas telah benar-benar telah
mengucapkan ucapan yang dilaporkan tersebut. Amir berdoa, “Ya Allah,
turunkanlah sebuah wahyu kepada nabi-Mu.” Ternyata Allah kemudian menurunkan
ayat tersebut.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah
bin Ubay bin Salul yang mengatakan, “Perumpamaan kita dengan Muhammad tidak
lain seperti perkataan “Gemukkanlah anjingmu, niscaya ia akan memakanmu!” Jika
kita telah kembali ke Madinah, niscaya orang yang mulia di antara kita (yaitu
kelompok kita) akan mengusir orang yang hina (Muhammad dan para sahabatnya).”
Perkataan ini didengar oleh sebagian sahabat dan dilaporkan kepada kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka Abdullah bin Ubay bin Salul tergopoh-gopoh
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan bersumpah tidak mengucapkan
ucapan tersebut. Maka turunlah ayat tersebut. (Fathul Qadir, 2/436 dan Al-Jami’
li-Ahkamil Qur’an, 8/206)
Riwayat manapun yang lebih kuat, semuanya menunjukkan bahwa orang-orang
tersebut divonis kafir murtad setelah beriman, disebabkan ucapan mereka yang
bernada olok-olokan dan merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Hal ini
menunjukkan bahwa caci makian dan pelecehan secara terang-terangan terhadap
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam lebih berat kekafirannya, sehingga menjadikan
pelakunya kafir murtad setelah beriman.
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani berkata, “Maksud dari firman Allah
Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran” adalah
perkataan-perkataan (olok-olokan) yang disebutkan dalam beragam riwayat tadi.
Adapun maksud dari firman Allah “dan mereka telah menjadi kafir sesudah Islam”
adalah mereka menjadi kafir dengan ucapan tersebut setelah sebelumnya mereka
menampakkan keislaman, jika sebelumnya dalam hati mereka kafir. Maknanya,
mereka melakukan perkara yang menyebabkan kekafiran mereka, jika keislaman
mereka dianggap sah.” (Fathul Qadir, 2/436).
Imam Al-Qurthubi berkata: “Imam Al-Qusyairi menyatakan: “Makna dari
perkataan kekafiran adalah mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan
mencerca agama Islam. Adapun makna dari “dan mereka telah menjadi kafir sesudah
Islam” adalah mereka menjadi kafir setelah mereka dianggap sebagai orang-orang
Islam.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/206)
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri berkata: “Kesimpulannya barangsiapa
mengucapkan ucapan kekafiran baik secara sendau gurau maupun bermain-main,
niscaya ia telah kafir menurut semua ulama, tanpa mempertimbangkan keyakinan
dia. Hal ini seperti telah ditegaskan dalam kitab Al-Fatawa Al-Khaniyah dan
Raddul Mukhtar.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 59)
[4]. Firman Allah Ta’ala:
) وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ
اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ
الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً (
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu wahyu di dalam Al-Qur’an
bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan
(oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga
mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya kalau kamu tetap
duduk bersama mereka, tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah
akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam neraka Jahanam.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 140)
Ayat ini menunjukkan kekafiran orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah
Ta’ala dan juga menunjukkan kekafiran orang yang duduk-duduk bersama
orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, mendengarkan dan mendiamkan
saja olok-olokan mereka tersebut. Ayat ini memvonis orang yang duduk bersama
dan mendengarkan olok-olokan tersebut sebagai orang kafir, meskipun ia tidak
ikut mengolok-olok. Tentu saja orang yang mencaci maki dan melecehkan Allah,
ayat-ayat-Nya, rasul-Nya atau ajaran agama-Nya lebih jelas lagi kekafirannya.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh berkata, “Makna ayat ini adalah
sesuai zhahirnya. Yaitu, jika seseorang mendengarkan ayat-ayat Allah dikufuri
dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), lalu ia duduk-duduk bersama
orang-orang kafir yang mengolok-olok tersebut padahal ia tidak dipaksa untuk
duduk mendengarkan (melalui siksaan yang berat) dan ia pun tidak melakukan
pengingkaran serta tidak beranjak meninggalkan mereka sampai mereka
membicarakan urusan lainnya; niscaya ia telah kafir seperti orang-orang kafir
tersebut. Meskipun ia tidak melakukan seperti perbuatan mereka, karena sikapnya
(duduk, diam dan mendengarkan) tersebut mengandung makna ridha dengan
kekafiran, sementara ridha dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran.
Jika ia mengklaim bahwa ia membencinya dengan hatinya, niscaya klaim
tersebut tidak bisa diterima, karena penilaian didasarkan kepada aspek lahiriah
dirinya. Sementara ia telah menampakkan kekafiran, sehingga ia pun menjadi
orang kafir.” (Majmu’atut Tauhid, hlm. 48)
Imam Al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa tidak menjauhi mereka, berarti ia
rela dengan perbuatan mereka. Sementara rela dengan kekafiran merupakan sebuah
kekafiran. Maka barangsiapa duduk dalams ebuah majlis kemaksiatan dan ia tidak
mengingkari perbuatan mereka, niscaya dosanya sama dengan dosa mereka. Jika ia
tidak mampu mengingkari mereka, maka ia selayaknya beranjak pergi agar tidak
termasuk dalam golongan yang terkena ayat ini.” (Al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an,
5/418)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i dalam kitabnya, Al-I’lam
bi-Qawathi’il Islam pada bahasan kekufuran yang disepakati oleh para ulama,
mengutip dari kitab para ulama madzhab Hanafi yang menyebutkan: “Barangsiapa
mengucapkan ucapan kekafiran, maka ia telah kafir. Setiap orang yang menganggap
baik ucapa kekafiran tersebut atau rela dengannya juga telah kafir.”
Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i juga mengutip dari kitab Al-Bahr bahwa
seseorang yang secara sukarela mengucapkan ucapan kekafiran sementara hatinya
masih meyakini keimanan, maka status dirinya adalah ia telah kafir dan di sisi
Allah ia bukanlah orang yang beriman. Demikian pula disebutkan dalam Fatawa
Qadhi Khan, Al-Fatawa Al-Hindiyah dan Jami’ul Fushulain.” (Ikfarul Mulhidin fi
Dharuriyatid Dien, hlm. 59)
Dalil-dalil
dari as-sunnah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam diutus sebagai rahmatan lil
‘alamien. Beliau terkenal luas sebagai seorang yang sabar, santun, pemaaf, dan
penyayang. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah pelaksanaan dari wahyu
Al-Qur’an. Beliau adalah “Al-Qur’an yang berjalan”. Seluruh ucapan dan
perbuatan beliau adalah akhlak mulia yang wajib dicontoh oleh kaum muslimin.
Lantas bagaimana teladan ucapan dan perbuatan Nabi shallalalhu ‘alaihi wa
salam dalam menyikapi orang-orang yang mencaci maki, melecehkan dan
mengolok-olok Allah atau ajaran Islam atau diri beliau sendiri? Jawabannya bisa
kita dapatkan dari hadits-hadits shahih berikut ini:
[1] Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَقَعُ فِيهِ، فَيَنْهَاهَا، فَلَا
تَنْتَهِي، وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتْ ذَاتَ
لَيْلَةٍ، جَعَلَتْ تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَتَشْتُمُهُ، فَأَخَذَ الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ فِي بَطْنِهَا، وَاتَّكَأَ
عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا، فَوَقَعَ بَيْنَ رِجْلَيْهَا طِفْلٌ، فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ
بِالدَّمِ،
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang laki-laki
buta yang memiliki seorang budak perempuan yang hamil dari hubungan dengannya
(ummu walad). Budak perempuan itu biasa mencaci maki dan merendahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebagai tuan, laki-laki buta itu telah
memperingatkan budak perempuannya untuk menghentikan perbuatan buruknya itu,
namun perempuan itu tidak mau menuruti peringatannya. Laki-laki buta itu telah
memerintahkan budak perempuannya menghentikan perbuatan buruknya itu, namun
perempuan itu tidak mau berhenti.
Pada suatu malam, budak perempuan itu kembali mencaci maki Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam. Maki laki-laki buta itu mengambil belati dan
menusukkannya ke perut perempuan serta menekannya dengan kuat sampai budak
perempuan itu tewas. Tiba-tiba seorang bayi laki-laki keluar dari perut
perempuan itu di antara kedua kakinya, dan darahnya menodai ranjang.
فَلَمَّا أَصْبَحَ ذُكِرَ ذَلِكَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَمَعَ النَّاسَ فَقَالَ:
«أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ إِلَّا قَامَ»،
فَقَامَ الْأَعْمَى يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ حَتَّى قَعَدَ بَيْنَ
يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَنَا صَاحِبُهَا، كَانَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ، فَأَنْهَاهَا فَلَا
تَنْتَهِي، وَأَزْجُرُهَا، فَلَا تَنْزَجِرُ، وَلِي مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ
اللُّؤْلُؤَتَيْنِ، وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً، فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ
جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ، فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي
بَطْنِهَا، وَاتَّكَأْتُ عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ»
Keesokan paginya, berita pembunuhan terhadap budak perempuan yang hamil
itu dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka beliau
mengumpulkan para sahabat dan bersabda, “Aku bersumpah dengan nama Allah,
hendaknya orang yang melakukan pembunuhan itu berdiri sekarang juga memenuhi
panggilanku!”
Maka laki-laki yang buta itu berdiri, berjalan di antara orang-orang dan
maju ke depan sehingga ia bisa duduk di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam. Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, akulah yang telah membunuhnya.
Dia selalu mencaci maki dan merendahkan Anda. Aku telah memperingatkannya,
namun ia tidak mau peduli. Aku telah melarangnya, namun ia tidak mau berhenti.
Aku memiliki dua orang anak seperti intan pertama darinya. Ia adalah kawan
hidupku. Ketika tadi malam ia kembali mencaci maki dan merendahkan Anda, maka
aku pun mengambil belati, menusukkan ke perutnya dan menekannya dengan kuat
sampai ia tewas.”
Mendengar pengakuan laki-laki buta itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
bersabda: “Hendaklah kalian semua menjadi saksi, bahwa darah perempuan itu telah
sia-sia.” (HR. Abu Daud no. 4361, An-Nasai no. 4070, Al-Baihaqi no. 13375,
sanadnya dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi berkata: “Beliau bersabda “darah perempaun
itu telah sia-sia” barangkali karena berdasar wahyu, beliau telah mengetahui
kebenaran pengakuan laki-laki itu. Hadits ini menunjukkan bahwa jika orang
kafir dzimmi tidak menahan lisannya dari (mencaci maki atau melecehkan) Allah
dan rasul-Nya, niscaya ia tidak memiliki dzimmah (jaminan keamanan bagi orang
kafir dzimmi) sehingga ia halal dibunuh. Demikian dikatakan oleh imam (Muhammad
Hayat) As-Sindi
Imam Al-Mundziri berkata: Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai.
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mencaci maki Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati.
Dikatakan (oleh para ulama): Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika
orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib dihukum
mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang
kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan
dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati,
sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci
maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati,
kecuali jika ia masuk Islam. Demikian penjelasan dari imam Al-Mundziri. (‘Aunul
Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits ini merupakan dalil yang
tegas tentang bolehnya membunuh perempuan tersebut karena ia telah mencaci maki
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Tentu saja, hadits ini juga menjadi dalil
lebih bolehnya membunuh orang kafir dzimmi dan membunuh seorang muslim atau
muslimah yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” (Ash-Sharimul
Maslul ‘Ala Syatimir Rasul, hlm. 62)
[2] Hadits Jabir bin Abdullah tentang kisah pembunuhan terhadap pemimpin
Yahudi, Ka’ab bin Asyraf:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ لِكَعْبِ بْنِ
الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ»، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ
مَسْلَمَةَ: أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ»،
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu
alaihi wa salam bersabda, “Siapakah yang mau “membereskan” Ka’ab bin Asyraf?
Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah
bertanya, “Apakah Anda senang jika aku membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Ya”…” (HR. Bukhari no. 3031 dan Muslim no. 1801)
Imam Bukhari telah menyebutkan kisah pembunuhan Ka’ab bin Asyraf tersebut
dalam beberapa hadits (no. 2510, 3031, 4037). Kisah pembunuhan oleh regu suku
Aus tersebut juga disebutkan dalam semua kitab sirah nabawiyah (sejarah hidup
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam).
[3] Hadits Barra’ bin Azib tentang kisah satu regu suku Khazraj yang
diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam untuk membunuh tokoh Yahudi
Khaibar, Abu Rafi’ Salam bin Abil Huqaiq karena ia sering mencaci maki dan
melecehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
Hadits tersebut diriwayatkan beberapa kali oleh imam Bukhari dalam kitab
shahihnya dan kisahnya juga disebutkan dalam semua kitab sirah nabawiyah. Di
antara lafal hadits tersebut dalam shahih Bukhari adalah sebagai berikut:
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ،
قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي
رَافِعٍ اليَهُودِيِّ رِجَالًا مِنَ الأَنْصَارِ، فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عَتِيكٍ، وَكَانَ أَبُو رَافِعٍ يُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُعِينُ عَلَيْهِ، وَكَانَ فِي حِصْنٍ لَهُ بِأَرْضِ
الحِجَازِ
Dari Barra’ bin Azib berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk (membunuh) pemimpin Yahudi, Abu
Rafi’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengangkat Abdullah bin Atik
sebagai komandan regu untuk tugas tersebut. Abu Rabi’ adalah pemimpin Yahudi
yang sering menyakiti dan memusuhi beliau. Ia tinggal di sebuah benteng
miliknya di daerah Hijaz…” (HR. Bukhari no. 4039, Al-Baihaqi no. 18100)
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَهْطًا إِلَى أَبِي رَافِعٍ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عَتِيكٍ بَيْتَهُ لَيْلًا وَهُوَ نَائِمٌ فَقَتَلَهُ»
Dari Barra’ bin Azib berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk (membunuh) pemimpin Yahudi, Abu
Rafi’. Maka Abdullah bin Atik memasuki (benteng dan rumah) Abu rafi’ pada malam
hari saat ia tengah terlelap tidur, maka Abdullah bin Atik pun segera
membunuhnya.” (HR. Bukhari no. 4038, Al-Baihaqi no. 18100)
Imam Bukhari memasukkan hadits-hadits kisah pembunuhan Abu Rafi’
Al-Yahudi tersebut dalam bab “membunuh orang musyrik yang sedang tidur” (no.
hadits 3022 dan 3023) dan bab “pembunuhan atas Abu Rafi’ Abdullah bin Abil
Huqaiq” (no. hadits 4038, 4039, 4040). Kisah pembunuhan atas Abu Rafi’
Al-Yahudi juga diriwayatkan oleh imam Abdur Razzaq Ash-Shan’ani, Al-Baihaqi,
Abu Ya’la Al-Maushili, Ath-Thabarani dan lain-lain dari jalur Abdullah bin
Atik, Abdullah bin Unais dan Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadits ini menunjukkan
kebolehan membunuh orang-orang mereka (kafir) yang sangat menyakiti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam. Abu Rafi’ adalah orang yang sangat memusuhi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan ia memprokovasi manusia untuk hal
itu.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 6/156)
Sikap para khulafa’ rasyidin dan generasi sahabat
[1] Imam Saif bin Umar At-Tamimi dalam kitab Ar-Riddah wal Futuh
menyebutkan bahwa ada dua orang wanita yang ditangkap dan dihadapkan kepada
Muhajir bin Abi Rabi’ah, gubernur wilayah Yamamah dan sekitarnya. Wanita
pertama menyanyikan lagu caci makian kepada Nabi shallallahu aIaihi wa salam. Wanita
kedua menyanyikan lagu caci makian kepada kaum muslimin. Maka Muhajir bin Abi
Umayyah menjatuhkan hukuman potong tangan dan pencabutan gigi seri kedua wanita
tersebut.
Ketika berita itu sampai kepada khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, maka
khalifah segera menulis surat kepada Muhajir bin Abi Rabi’ah tentang wanita
yang menyanyikan lagu cacian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam,
لولا ما سبقتني فيها لأمرتك بقتلها، لأن حد الأنبياء ليس يشبه الحدود، فمن
تعاطى ذلك من مسلم فهو مرتد أو معاهد فهو محارب غادر
“Seandainya engkau tidak mendahuluiku menjatuhkan hukuman kepada wanita
itu, tentulah aku akan memerintahkanmu untuk membunuh wanita itu. Sebab hukuman
(mencaci maki) para nabi tidak sama dengan hukuman-hukuman lainnya. Jika caci
makian kepada nabi itu diucapkan oleh seorang muslim, maka ia telah murtad. Dan
jika caci makian kepada nabi itu diucapkan oleh seorang kafir yang terlibat
perjanjian damai maka ia telah menjadi orang yang memerangi Islam dan
mencederai perjanjian damai secara sepihak.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid
Dien, hlm. 104 dan Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 200)
[2]. Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata:
“Seorang laki-laki yang mencaci maki Nabi shallallahu aIaihi wa salam dihadapkan kepada khalifah Umar bin Khathab,
maka khalifah membunuhnya. Khalifah Umar berkata:
من سب الله أو سب أحدا من الأنبياء فاقتلوه
“Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya,
maka bunuhlah dia!” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 104 dan
Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 201)
[3]. Hukuman mati untuk orang-orang yang mencaci maki Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam juga diriwayatkan dari perkataan para ulama sahabat seperti
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan para komandan perang dan gubernur di kalangan
sahabat seperti Muhammad bin Maslamah, Khalid bin Walid dan Amru bin Ash
radhiyallahu ‘anhum. (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 202-205)
[4]. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: “Ia harus dibunuh, karena
orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam telah murtad dari
Islam, dan seorang muslim tidak akan mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 5)
Pendapat
para ulama madzhab
[1] Madzhab Hanafi
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hanafi berkata: “Seluruh ulama
telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam dijatuhi hukuman mati. Imam Ath-Thabari juga mengutip pendapat dari imam
Abu Hanifah dan murid-muridnya tentang kemurtadan orang yang melecehkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam, atau berlepas diri dari beliau atau menuduh
beliau berdusta.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)
[2]. Madzhab Maliki
Imam Muhammad bin Sahnun Al-Maliki berkata: “Seluruh ulama telah
bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan
melecehkan beliau adalah orang yang kafir, dan barangsiapa meragukan
kekafirannya dan bahwa ia diadzab niscaya telah kafir pula.” (Ikfarul Mulhidin
fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)
Al-Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshibi Al-Maliki berkata: “Tidak ada
perbedaan pendapat bahwa orang yang mencaci maki Allah Ta’ala dari kalangan
kaum muslimin telah menjadi orang kafir yang halal darahnya. Demikian pula
orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sengaja berdusta
dalam menyampaikan atau mengabarkan wahyu, atau ia meragukan kejujuran beliau,
atau ia mencaci maki beliau, atau ia mengatakan bahwa beliau belum menyampaikan
wahyu, atau ia meremehkan beliau atau meremehkan salah seorang nabi lainnya,
atau ia mengejek mereka, atau ia menyakiti mereka, atau ia membunuh seorang
nabi, atau ia memerangi seorang nabi, maka ia telah kafir berdasar ijma’
ulama.” (Asy-Syifa fit Ta’rif bi-Huquqil Musthafa, hlm. 582)
[3]. Madzhab Syafi’i
Imam Abu Sulaiman Al-Khathabi Asy-Syafi’i berkata, “Saya tidak mengetahui
adanya perbedaan pendapat dari seorang muslim pun tentang kewajiban membunuhnya
(orang yang mencaci maki nabi).” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul,
hlm. 2)
Imam Abu Bakr Al-Farisi dari kalangan ulama madzhab Syafi’i telah
menyebutkan ijma’ seluruh kaum muslimin bahwa hukuman untuk orang yang mencaci
maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah hukuman mati. (Ash-Sharim
Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)
Imam Ibnu Al-Mundzir Asy-Syafi’i berkata, “Para ulama telah berijma’
(bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
harus dibunuh. Di antara yang berpendapat demikian adalah imam Malik (bin
Anas), Laits (bin Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu
juga menjadi pendapat imam Syafi’i.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/82)
Imam Al-Mundziri Asy-Syafi’i berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa
jika orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib
dihukum mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah
orang kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan
dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati,
sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci
maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati,
kecuali jika ia masuk Islam.” (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)
[4]. Madzhab Hambali
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Barangsiapa mencaci maki Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam atau melecehkan beliau, baik ia orang muslim atau orang kafir,
maka ia wajib dibunuh. Aku berpendapat ia dijatuhi hukuman mati dan tidak perlu
diberi tenggang waktu untuk bertaubat.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim
Ar-Rasul, hlm. 4)
Imam Ishaq bin Rahawaih berkata: “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa
barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki Rasul-Nya atau menolak sebagian
wahyu yang Allah turunkan atau membunuh salah seorang nabi yang diutus Allah,
maka ia telah kafir dengan perbuatannya itu sekalipun ia mengakui seluruh wahyu
yang Allah turunkan.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 3)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya mencaci maki Allah
atau mencaci maki Rasul-Nya adalah kekafiran secara lahir dan batin. Sama saja
apakah orang yang mencaci maki itu meyakini caci makian itu sebenarnya haram
diucapkan, atau ia meyakini caci makian itu boleh diucapkan, maupun caci makian
itu keluar sebagai kecerobohan bukan karena keyakinan. Inilah pendapat para
ulama fiqih dan seluruh ahlus sunnah yang menyatakan bahwa iman adalah ucapan
dan perbuatan.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 512)
[5] Madzhab Zhahiri
Imam Muhammad bin Hazm Azh-Zhahiri berkata: “Berdasar dalil-dalil yang
kami uraikan di atas maka benarlah bahwa setiap orang yang mencaci maki Allah
atau mengolok-olok Allah, atau mencaci maki seorang malaikat atau mengolok-oloknya,
atau atau mencaci maki seorang nabi atau mengolok-oloknya, atau mencaci maki
sebuah ayat Allah atau mengolok-oloknya, padahal semua ajaran syariat Islam dan
seluruh ayat Al-Qur’an adalah bagian dari ayat Allah, niscaya ia telah kafir
murtad, atas dirinya harus diterapkan hukuman bagi seorang murtad. Inilah
pendapat yang kami pegangi.” (Al-Muhalla, 12/438)
Logika iman dan logika kekuasaan
Inilah tuntunan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam dalam hadits shahih, tuntunan khulafaur rasyidin dan pendapat
seluruh ulama Islam dari seluruh madzhab di kalangan ahlus sunnah dalam
menyikapi orang-orang yang melecehkan, mengejek, merendahkan, mengolok-olok
atau mencaci maki Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Kita bersyukur bahwa kaum muslimin di Benghazi, Libya, telah memberikan
contoh keteladanan bagi kaum muslimin sedunia dalam membela kehormatan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam. Semoga kaum muslimin lainnya bisa
membuktikan pembelaannya kepada kehormatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
salam yang dilecehkan oleh orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir
lainnya.
Orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya pasti tidak
akan pernah berhenti melecehkan, mengejek, mengolok-olok dan mencaci maki Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam. Secara lahiriah, mulut mereka mengatas namakan
“kebebasan seni, kebebasan berekspresi, demokrasi dan HAM. Adapun seca batin,
isi hati mereka telah ditelanjangi oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ
لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ
أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ
الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil menjadi teman
kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalanganmu (yaitu orang-orang
kafir) karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudaratan bagi kalian.
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut
mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh
telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.”
(QS. Ali Imran [3]: 118)
Firman Allah di atas sangat jelas dan begitu mudah dipahami. Seorang
muslim yang mengimani Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam dan merindukan syafaatnya kelak di hari kiamat sudah tentu
akan berpikir dengan logika keimanan. Mereka akan bangkit memberikan pembelaan
dengan waktu, tenaga, pikiran, harta dan
bahkan nyawa mereka manakala kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
dilecehkan.
Adapun para politikus yang sibuk mencari kursi kekuasaan atau rakus
mempertahankan kursi kekuasaan akan berpikir dengan logika politik. Mereka rela
jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dilecehkan. Bagi mereka, pelecehan
itu masalah kecil belaka, lupakan saja, tak perlu dipikirkan, tak perlu marah.
Bagi mereka, pelecehan itu tidak ada kaitannya dengan keimanan dan keislaman
sama sekali.
Mereka tak akan melakukan pembelaan karena khawatir tuan besar AS dan
Barat marah. Mereka khawatir jika media massa internasional yang dikendalikan
Yahudi dan Nasrani melabeli mereka dengan label “muslim fundamentalis”, “muslim
ekstrimis”, atau bahkan “muslim teroris”. Mereka khawatir jika dituding “anti
HAM”, “anti demokrasi”, “anti kebebasan berkespresi”, atau “anti kebebasan
seni”. Mereka khawatir jika dikeluarkan dari kelompok elit “muslim moderat”.
Bagi mereka, tidak apa-apa kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam dilecehkan, asal bukan presiden, mentri, DPR/MPR, partai politik kita
atau organisasi massa kita yang dilecehkan. Bagi mereka, tidak apa-apa
kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dilecehkan asalkan “kursi”
kita tidak hilang, asalkan konstituen kita tidak hilang. Na’udzu billah min
dzalika!!!
BAB KEDUA
Membantu
Kesulitan Sesama Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا
وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ
سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى
الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ
كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ
السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ،
وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأَ فِي عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ
بِهِ نَسَبُهُ . [رواه مسلم]
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah ra. daripada Rasulullah saw., Baginda
bersabda: “Sesiapa yang meringankan daripada seorang mukmin satu kesusahan
daripada kesusahan-kesusahan dunia, Allah akan meringankan daripadanya satu
kesusahan daripada kesusahan-kesusahan Hari Kiamat. Sesiapa yang memudahkan
kepada orang yang kesempitan, Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan
akhirat. Sesiapa yang menutup (aurat atau keaiban) seorang muslim, Allah akan
menutup (aurat dan keaiban)nya di dunia dan akhirat. Allah sentiasa menolong
seseorang hamba selama mana hamba itu menolong saudaranya. Sesiapa yang melalui
satu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya satu jalan ke
syurga. Sesuatu kaum (kelompok manusia) tidaklah berkumpul di satu rumah
(masjid) daripada rumah-rumah Allah, sambil membaca Al-Quran, saling
memperbetulkan bacaan dan memahami kandungannya, kecuali as-Sakinah (satu
makhluk Allah Ta’ala yang padanya terdapat rahmat dan ketenangan, serta
ditemani oleh para malaikat) akan turun kepada mereka dan mereka diselubungi oleh
rahmat. Mereka juga dilinkungi oleh para malaikat, serta disebut dan dipuji
oleh Allah di kalanagan (para malaikat) yang ada di sisi-Nya. Sesiapa yang
diperlahankan oleh amalannya (kerana amalannya sedikit), dia tidak akan
dipercepatkan oleh keturunannya (keturunannya tidak akan mengangkat
darjatnya).”
Pelajaran yang terdapat dalam hadith:
1.
Sesiapa yang membantu
seorang muslim dalam menyelesaikan kesulitannya, maka akan dia mendapat
syafa’at dan kemudahan pada hari kiamat yang akan memudahkan kesulitannya di
hari yang sangat sulit tersebut.
2.
Sesungguhnya pembalasan
disisi Allah ta’ala sesuai dengan jenis perbuatannya. “Sesunggunya Allah akan
menyeksa orang-orang yang menyeksa manusia di dunia” (HR Muslim)
3.
Berbuat baik kepada makhluk
merupakan cara untuk mendapatkan kecintaan/pertolongan Allah ta’ala.
4.
Membenarkan niat dalam
rangka mencari ilmu dan ikhlas didalamnya agar tidak menggugurkan pahala
sehingga amalnya dan kesungguhannya sia-sia.
5.
Memohon pertolongan kepada
Allah ta’ala dan kemudahan dari-Nya, kerana ketaatan tidak akan terlaksana
kecuali kerana kemudahan dan kasih sayang-Nya.
6.
Selalu membaca Al-Quran,
memahaminya dan mengamalkannya.
7.
Keutamaan duduk di rumah
Allah (masjid) untuk mengkaji ilmu dan berzikir.
8.
Keturunan tidak membantu
apa-apa di sisi Allah Ta’ala jika amalan yang dilakukan adalah sedikit
Fiqh Dakwi dan Tarbawi :
Hadis ini memberikan motivasi yang sangat besar kepada para da’ie untuk
terus memberikan khidmat kepada siapa sahaja yang berada di sekelilingnya,
lebih-lebih lagi kepada mad’u dan ikhwan yang memerlukan kerana;
1.
Orang yang dibantu boleh
memberikan syafa’at dikala kita memerlukannya untuk menampung kekurangan amal
kita. Mendapat keampunan daripada Allah (cth – menangguh pembayaran hutang
kepada pemiutang atau menggugurkan hutang tersebut)
“Ada seorang peniaga yang memberi hutang kepada orang ramai. Apabila dia
melihat orang yang berada dalam kesulitan, dia berkat kepada anak-anaknya:
“Biarkanlah dia. Semoga Allah akan mengampunkan kita.” Lalu Allah
mengampunkannya.” (HR Bukhari dan Muslim
2.
Wajib bagi kita untuk
menutup keaiban yang berlaku pada saudara kita seperti mengumpat terhadap
kesalahan atau kesilapan yang dilakukan. Akhlak yang mulia ini akan memelihara
keharmonian saff harokah Islam kerana setiap daripada ahli harokah adalah tidak
ma’sum (terpelihara daripada melakukan dosa) seqowi manapun dia. Mendedahkan
keaibannya yang kecil (cth tertinggal solat subuh berjamaah) kepada ikhwan yang
lain tidak akan mendatangkan sebarang kebaikan melainkan kerosakan. Sedangkan
akh tersebut bukanlah ahli maksiat[1] yang tidak boleh kita maafkan.
3.
Kita perlu senantiasa
mencari peluang untuk memberikan khidmat kepada akh yang memerlukan kerana “Dan
sesiapa yang memenuhi hajat atau keperluan saudaranya, Allah akan memenuhi
hajat atau keperluannya”. Mentaliti ‘problem solver’ adalah slogan para da’ie
meskipun terhadap keperluan-keperluan yang kecil. Terkadang kita meremehkan
permasalahan atau hajat akh kita kerana berbeza sudut pandang walhal hajat
tersebut merupakan satu beban atau kerunsingan kepada beliau. Sedangkan Abu
Bakar ra. tetap memerah susu kepada untuk sekumpulan penduduk kampung walaupun
dia busy menguruskan sebuah negara Islam. Begitu juga Umar ra. yang sentiasa
menjaga hal ehwal para balu. Dikisahkan beliau mengambil air pada waktu malam untuk
seorang wanita tua yang buta dan lumpuh.
4.
Ilmu adalah jalan ke syurga
kerana ilmu menunjukkan hamba kepada Allah melalui jalan yang paling singkat
dan “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan
mengajarkanya”. Adalah menjadi kewajipan untuk senantiasa memperbaiki dan
meningkatkan kualiti keperibadian muslim daripada setahap ketahapan yang
seterusnya. “Dan Allah akan menambah hidayah (dengan bertambah keyakinan)
kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah” Surah Maryam: 7
5.
Seorang da’ie yang benar
semestinya adalah orang yang paling banyak zikirnya kepada Allah, ahlul masjid,
dan banyak melakukan tilawah Al-Quran. Dengan itu dia mendapatkan bekalan, dan
Allah memberikan kepadanya as-Sakinah.
6.
Seorang da’ie yang benar
tidak hidup sendirian di mana dia berusaha untuk menghidupkan liqo’ Al-Quran[2]
dan mabit di mana sahaja dia berada dan
teruja untuk menghadiri liqo’ untuk dirinya. “Sesuatu kumpulan manusia tidaklah
duduk sambil mengingati dan menyebut Allah ‘Azza wa jalla, melainkan mereka
akan dilindungi oleh para malaikat, dan diselubungi oleh rahmat. As-Sakinah
akan turun ke atas mereka. Allah akan menyebut (dan memuji) mereka di kalanagan
para malaikat yang di sisiNya.” HR Muslim
No comments:
Post a Comment