Sampai pada abad ke-8 H/14 M, belum ada
pengislaman penduduk pribumi nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad
ke-9 H/14 M, pendudk pribumi memeluk islam secara masal. Para pakar sejarah
berpendapat bahwa masuk islamnya penduduk nusantara secara besar-besaran pada
abad tersebut disebabkan saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik
yang berarti. Yaitu, ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak
islam, seperti kerajaan aceh darusalam, malaka, demak, Cirebon serta ternate.
Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja
pribumi pra-islam dan para pendatang arab. Pesatnya islamisasi pada abad ke-14
dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh
kerajaan-kerajaan hindu atau budha di nusantara, seperti majapahit, sriwijaya,
dan sunda. Thomas Arnold dalam the preaching of islam mengatakan bahwa,
kedatang islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa portugis dan
spanyol. Islam datang ke asia tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang,
tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke nusantara dengan cara
yang benar-benar menunjukannya sebagai rahmatalil alamin.
Dalam literatur yang beredar dan
menjadi arus besar sejarah, masuknya islam ke Indonesia selalu diidentikan
dengan penyebaran agama oleh orang arab, Persia, ataupun Gujarat. Namun ada
penemuan lain dimana yang ditulis oleh Slamet Mulyana ini berhasil memberikan
satu warna lain, yaitu bahwa islam di nusantara tidak hanya berasal dari
wilayah india dan timur tengah, akan tetapi juga cina, tepatnya di yunan.
Dipaparkan bermula dalam pergaulan dagang antara muslim yunan dengan penduduk
nusantara. Pada kesempatan itu terjadilah asimilasi budaya lokal dan agama
islam yang salah satunya berasal dari daratan cina. Diawali saat armada
tiongkok dinasti ming yang pertama kali masuk nusantara melalui Palembang tahun
1407. Saat itu mereka mengusir perompak-perompak dari hokkian cina yang telah
lama bersarang disana. Kemudian laksamana Cheng Ho membentuk kerajaan islam di
Palembang. Kendati kerajaan islam demaklah yang lebih dikenal.
Dalam menetapkan sasaran mad’u-nya
(mitra dakwah) para walisongo terlebih dahulu melakukann perencanaan dan
perhitungan yang akurat diimbangi dengan pertimbangan yang rasional dan
strategis yakni dengan mempertimbangkan faktor geostrategis yang disesuaikan
dengan kondisi mad’u yang akan dihadapinya. Sehingga hasil yang dicapainya pun
akan maksimal. Hal ini juga tidak lepas dari setrategi dan metode yang telah
mereka tetapkan. Maka itu proses islamisasi dipulau jawa berada dalam kerangka
proses akulturasi budaya.
Disamping daerah perdagangan, jawa
timur mendapat perhatian besar dari para wali, dengan ditempatkannya lima wali
dengan wilayah dakwah yang berbeda-beda, Karena jawa timur pada saat itu
merupakan pusat kekuasaan politik, yakni kerajaan Kediri dan majapahit. Maulana
Malik Ibrahim sebagai perintis mengambil peranannya didaerah gresik, setelah
beliau wafat wilayah ini dikuasai oleh sunan giri. Sunan ampel mengambil
posisinya didaerah Surabaya, sunan bonang sedikit di utara yaitu di tuban,
sementara itu sunan drajat di sedayu.
Di jawa tengah para wali lebih terlihat
sebagai penyebar islam yang berprofesi sebagai pedagang. Dengan mengambil
posisi di demak, kudus, dan muria. Di jawa tengah pusat kekuasaan politik agama
hindu dan budha dapat dikatakan sudah tidak berperan lagi, namun realitasnya
masyarakat masih terpengaruh oleh budaya yang ajarannya bersumber dari ajaran
hindu dan budha. Penempatan ketiga wali di jawa tengah juga sekaligus berfungsi
sebagai pusat pelayanan penyebaran agama islam di Indonesia tengah, karena pada
saat itu pusat kegiatan politik dan ekonomi beralih ke daerah tersebut, dengan
runtuhnya kerajaan majapahit dan munculnya kesultanan demak.
Sedangkan metode yang dikembangkan oleh
para wali dalam gerakan dakwahnya adalah lebih banyak melalui media kesenian
budaya setempat disamping melalui jalur sosial-ekonomi. Atau lebih tepatnya
pengislaman kultur atau mengkulturkan islam. Sebagai contoh adalah dengan media
kesenian wayang dan tembang-tembang jawa yang dimodifikasi dan disesuaikan oleh
para wali dengan konteks dakwah.
Pola dakwah yang di kembangkan pada masa ini
adalah konsentrasi pada peletakan ideology islam terhadap pemerintahan yang
baru dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan umat islam yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia. Dan ini akan berdampak secara luas terhadap
perkembangan dari islam itu sendiri dan kemudian menata kehidupan umat dalam
sebuah masyarakat yang berdaulat, setelah lepas dari cengkraman penjajahan.
No comments:
Post a Comment