Kode Etik Jurnalistik
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada era
hukum pers yang mengacu pada UU no 40 tahun 1999 ini, sejumlah kasus hokum
terjadi di Indonesia. Beberapa kasus hokum itu dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu, termasuk mantan Presiden Soeharto yang menggugat majalah Time dari
Amerika Serikat. Pun kasus-kasus lain yang menimpa sejumlah media massa, baik
nasional, regional maupun lokal. Hingga saat ini, hampir semua keputusan hakim
mengacu pada UU No 40 tahun 1999 terkait gugatan yang diajukan kepada media massa.
Di mana sebagian besar media massa yang telah menjalankan kode etik jurnalistik
dan mematuhi UU No 40 tahun 1999 ini memenangkan gugatan.
Kode
(Inggris: code, dan Latin: codex) adalah buku undang-undang kumpulan sandi dan kata yang disepakati dalam lalu
lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat. Etik atau etika
merupakan moral filosofi filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI
etika mengandung arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban. Moral adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak; dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Ketika
Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi
wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun
hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian,
organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode
Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan
berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia
(KEWI).
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana hukum pers di indonesia ?
2.
Bagaimana masa depan hukum pers di
indonesia ?
3.
Apa pengertian kode etik jurnalistik?
4.
Mengapa diperlukan kode etik jurnalistik bagi para jurnalis. ?
5.
Apa saja ciri-ciri kode etik jurnalistik ?
6. Manfaat apa
saja yg ada pada kode etik jurnalistik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM PERS DI INDONESIA
Dasar hukum penerbitan pers di
Indonesia saat ini adalah Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Undang-undang yang ditandatangani presiden BJ Habibie pada 23 September 1999
ini berisi 10 bab dan 21 pasal. UU No 40 tahun 1999 ini merupakan pengganti
dari UU No 21 tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun
1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1967. UU No 21 tahun 1982 ini ditandatangani oleh
Presiden Soeharto pada 20 September 1982. Sedangkan UU No 11 tahun 1966, yang
berisi 21 pasal ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12
Desember 1966.
Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar
1945, pada pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang” ini menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan kemerdekaan pers.
Seperti tercatat dalam dictum menimbang UU No 40 tahun 1999, bahwa kemerdekaan
pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat
penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana
tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Dalam persfektif sejarah, pengakuan dan
perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah
dimulai sejak deklarasi Magna Charta (1215). Terkait bidang pers, secara
eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia Bill of Right, 15 Mei 1776
tentang Kemerdekaan Persuratkabaran, yang kemudian dimasukkan ke dalam
konstitusi Amereka Serikat (1787). Pada tahun 1789, Piagam Virginia itu
diadopsi pula oleh Perancis menjadi Declaration de droits de l’homme et du
citoyen.
Perjalanan pers di Indonesia sendiri
tidak hanya terpaku pada undang-undang yang mengatur tentang pers saja. Artinya
tidak tergantung pada keberadaan undang-undang yang menjadi dasar penerbitan
pers. Tetapi keberadaan pers telah berjalan seiring perjalanan sejarah itu
sendiri. Awal-awal kemunculan media massa atau surat kabar di Eropa pun mungkin
belum diatur secara khusus oleh undang-undang tentang pers. Namun dalam
perjalanannya sampai sekarang, masing-masing negara telah memiliki udang-undang
atau peraturan yang mengatur tentang pers, termasuk di Indonesia.
Pada awal-awal perjalanan pers di
Indonesia, yakni pada massa penjajahan Belanda, maka hukum yang dipakai adalah
Wetboek van Straftrecht atau Buku Hukum Siksa Hindia. Hal ini dibuktikan dengan
adanya hukuman bagi para pejuang pers saat itu. Seperti yang dialami Mas Arga
pemimpin redaksi, Hoofdredacteur Pertja Selatan di Palembang pada tahun 1927.
Mas Arga terjerat dua delik pers karena mengkritik keras pemerintah colonial
Belanda. Ia menurunkan artikel-artikel tentang pemberontakan komunis tahun
1926-1927.
Selain itu, koresponden daerah Uluan
untuk Pertja Selatan, M. Noer juga dijerat pasal 153 bis dan ter dalam Buku
Hukum Siksa Hindia atau Wetboek van Straftrecht. Sebuah artikel yang berjudul
“B.B. Matjan” yang terbit pada tanggal 20 Juli 1932 dianggap telah menyinggung
tindakan sewenang-wenang anggota Binnelandsch Bestuur (BB) daerah Muara Dua
Palembang. Ia diajukan ke muka siding Landraad dan dihukum dua bulan penjara.
Selain itu, salah seorang redaktur
Pertja Selatan, Paman Lengser, nama samaran Nungtjik, juga berkali-kali
diperiksa Dinas Intelijen Belanda (PID). Dia dianggap membangkitkan perlawanan
rakyat karena membuat resensi buku tentang perang, yang dianggap bacaan liar,
terlarang. Pada tahun 1938, Nungtjik juga diperiksa polisi kolonial Belanda, karena
dianggap mencemarkan nama baik Tan Sio Sak, seorang reserse staatpolitie
Palembang. Dia dihadapkan ke Landraad dan diajtuhi hukuman denda sebesar Rp 25.
Selain kasus-kasus tersebut, juga
banyak terjadi pada surat kabar-surat kabar lainnya. Banyak di antara para
pejuang pers itu yang masuk penjara dan akhirnya surat kabarnya tutup dan tidak
terbit lagi. Di mana sebagian besar surat kabar yang diterbitkan pribumi itu
adalah surat kabar perjuangan untuk menuju kemerdekaan Indonesia. Pada tahun
1945 misalnya, terbit Koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Merdeka di
Jakarta. Koran-koran tersebut menyampaikan berita seputar perjuangan merebut
kemerdekaan hingga berita proklamasi kemerdekaan.
Pemerintah kolonial Belanda sangat
mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Karena itu
mereka memandang perlu membuat undang-undang untuk membendung pengaruh pers
Indonesia, karena merupakan momok yang harus diperangi. Menurut Suruhum, pemerintah kolonial Belanda
selain mengeluarkan Wetboek van Straftrecht (KUHP), juga mengeluarkan aturan yang bernama Persbreidel Ordonantie,
yang memberikan hak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menghentikan
penerbitan surat kabar atau majalah Indonesia yang dianggap berbahaya.
Pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan peraturan yang bernama Haatzai
Artekelen, yaitu berisi pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap siapa pun
yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap
pemerintah Netherland dan Hindia Belanda, serta terhadap sejumlah kelompok
penduduk Hindia Belanda.
Pada masa-masa awal kemerdekaan,
selain Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Merdeka di Jakarta, juga muncul
media lainnya seperti Waspada di medan pada 1947, Pedoman di Jakarta pada 1948,
Indonesia Raya di Jakarta pada 1949, Suara Merdeka di Semarang pada 1950. Pada
tahun antara 1950-1959 banyak muncul media partisan, yang didirikan
partai-partai politik yang ada. Pada tahun 1958 Indonesia Raya diberedel dan
Pemimpin Redaksinya masuk-keluar tahanan sejak 1956. Pada tahun 1965, Harian
Rakyat dan 46 koran yang berhaluan kiri diberedel Angkatan Darat.
Pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto, yang sudah bebas dari koran yang berideologi kiri, masih saja, bahkan
semakin banyak koran yang diberedel, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4
tahun 1967, yang kemudian diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 21 tahun
1982. Pada tahun 1974 Soeharto mencabut Surat Izin Terbit (SIT) 11 penerbitan
Koran, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Nusantara, Harian Kami, The
Jakarta Times. Kemudian pada 1978 Presiden Soeharto juga menutup sementara 7
koran, termasuk Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita. Pada 1994 Soeharto
mencabut SIUPP majalah Tempo.
Pasca lengsernya Presiden Soeharto
pada tanggal 21 Mei 1998, kebebasan pers kembali diberikan. Yakni dengan
diterbitkannya UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Adanya sensor oleh pemerintah
dihabpus, dan perizinan ditiadakan bagi pers cetak.
Pada era hukum pers yang mengacu
pada UU no 40 tahun 1999 ini, sejumlah kasus hokum terjadi di Indonesia.
Beberapa kasus hokum itu dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk mantan
Presiden Soeharto yang menggugat majalah Time dari Amerika Serikat. Pun
kasus-kasus lain yang menimpa sejumlah media massa, baik nasional, regional
maupun lokal. Hingga saat ini, hampir semua keputusan hakim mengacu pada UU No
40 tahun 1999 terkait gugatan yang diajukan kepada media massa. Di mana
sebagian besar media massa yang telah menjalankan kode etik jurnalistik dan
mematuhi UU No 40 tahun 1999 ini memenangkan gugatan.
Sebelum gugatan di pengadilan
dilakukan pihak-pihak tertentu, gugatan atau pun pengaduan dapat disampaikan
kepada Dewan Pers, seperti yang tertuang dalam pasal 15 UU No 40 tahun 1999
tentang Pers. Di mana Dewan Pers dalam pasal tersebut memiliki beberapa fungsi,
diantaranya adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain,
melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang
berhubungan dengan pemberitaan pers. Kemudian mengembangkan komunikasi antara
pers, masyarakat dan pemerintah, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam
menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
wartawan dan mendata perusahaan pers.
Selain itu Dewan Pers juga membuat
Peraturan-Peraturan Dewan Pers, yang berkaitan dengan sejumlah standar
pengelolaan pers. Di antaranya adalah Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi
Perusahaan Pers, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Profesi
Wartawan, Standar Organisasi Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan.
Dewan Pers juga membuat Peraturan
Dewan Pers terkait dengan sejumlah pedoman yang harus menjadi pegangan setiap
insane pers dan masyarakat. Di antaranya Pedoman Penyebaran Media Cetak Khusus
Dewasa, Pedoman Hak Jawab, Keterangan Ahli Dewan Pers, Pedoman tentang
Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik,
Pedoman Pemberitaan Media Siber dan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap
Wartawan. Dewan Pers dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan
pers juga membuat nota kesepahaman dengan sejumlah lembaga tinggi Negara, yakni
Polri dan Kejaksaan Agung.
Persoalan-persoalan hokum hingga
saat ini masih terjadi dalam dunia jurnalistik, baik masalah pidana maupun
perdata. Beberapa pihak yang merasa dirugikan atau dicemarkan oleh media massa
masih banyak yang melakukan aduan delik pers maupun gugatan perdata di
pengadilan. Hal ini dikarenakan dalam UU No 40 tahun 1999 tidak diatur masalah
sanksi pidananya. Namun terkait dengan pidana, masih tetap merujuk pada KUHP.
Jika pers dianggap mencemarkan nama baik seseorang selain melanggar KEJ dapat
dituntut sebagai tindak pidana pencemaran nama baik secara tertulis (press
libel/smaadschrift) yang diatur dalam pasal 310 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Jikalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum maka yang bersalah karena
pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Dalam kasus-kasus hokum seperti ini,
Dewan Pers sudah berusaha melindungi para pelaku dunia pers. Sebelum ke
pengadilan, masyarakat bisa mengadukan kasus itu ke Dewan Pers dan jika tidak
puas bisa melanjutkan ke pengadilan. Namun diharapkan, dengan media Dewan Pers,
antara penggungat dan pers bisa ditemukan solusi yang terbaik, tanpa harus
melalui pengadilan. Namun dalam prakteknya, masih banyak insan pers yang
dipidanakan karena beritanya. Hal-hal seperti inilah yang dianggap menjadi
salah satu ancaman dari kebebasan atau kemerdekaan pers di era demokrasi.
Dan perlu diketahui pula, bahwa
ketentuan tentang delik pers sebagaimana dimaksud dalam pasal 154 dan 155 KUHP
dibuat sangat ketat dan karenanya banyak dikaitkan dengan ketentuan Hatzaai
Artikelen (HA) atau pasal-pasal penyebar kebencian dalam KUHP, kini sudah
dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007. Sementara
itu, sesuai pasal 1372 KUH Perdata yang berbunyi: “Tuntutan perdata tentang hal
penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan
kehormatan dan nama baik”, dapat digugat dengan tetap mengacu pasal 310 ayat
(2) KUHP. Dengan adanya kasus ini, sehingga dalam penerapan standar jurnalisme
yang baik, pers harus memberitakan secara berimbang (cover both sides),
obyektif, dan akurat.
1.
Masa Depan
Hukum Pers Di Indonesia
Kemerdekaan dan kebebasan pers yang
telah diberikan pemerintah melalui UU No 40 tahun 1999 tentang pers, ternyata
masih menimbulkan tanda tanya bagi masa depan pers di Indonesia. Selain belum
secara tegas dalam pengaturan informasi yang beredar di masyarakat, khususnya
media online, juga masih adanya kasus pidana yang menggunakan dasar KUHP. Belum
lagi media massa partisan dan kecenderungan kepemilikan media massa oleh para
pemodal besar. Kondisi seperti sudah mulai terlihat secara langsung di tengah
kondisi masyarakat yang semakin kritis terhadap media massa. Persaingan yang
tidak tidak sehat di antara media massa yang kepemilikannya berbeda dalam
ideology, sangat mempengaruhi isi dan materi berita yang ditayangkan.
Kondisi ini dirasakan betul oleh
mereka yang terlibat langsung dalam proses penerbitan berita, khususnya para
wartawan. Mereka berada pada posisi yang dilematis, antara kepentingan pemilik
modal dari perusahaan persnya dengan kepentingan masyarakat. Posisi dilematis
ini dirasakan di hampir semua media massa, baik cetak, elektronik maupun
online. Seperti diketahui, kepentingan pemilik modal adalah bagaimana media
massa yang didirikan itu mampu menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya,
sehingga paling tidak mampu membayar gaji para wartawannya dengan layak. Tanpa
keuntungan itu, maka media massa tersebut
terancam bangkrut dan para karyawan dan wartawan akan kehilangan
pekerjaannya. Sementara para wartawan yang memiliki visi idealis sebagai
penyambung lidah rakyat, harus terkendalan dengan kepentingan pemilik modalnya.
Dalam hal ini, posisi Dewan Pers,
sebagai lembaga yang berfungsi melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan
pihak lain menjadi tidak efektif. Karena justru pemilik modallah yang menjadi
batu sandungan dari kemerdekaan per situ sendiri. Apalagi banyak pemilik modal
perusahaan pers yang bergabung dengan kekuasaan atau sebaliknya, menjadi
oposisi bagi kekuasaan itu sendiri. Sehingga seringkali terlihat, antara satu
media dengan media yang lain berbeda pendapat dalam suatu pemberitaan.
Masyarakat menjadi antipasti terhadap media, jika kondisi ini terus terjadi.
Belum lagi media abal-abal, yang tidak jelas sumber dan datanya, yang sering
banyak di-share di media sosial. Banyak di antara masyarakat yang terjebak pada
kondisi ini. Bahkan perang opini antara satu masyarakat dengan masyarakat yang
lain sangat luar biasa, akibat mendapat informasi yang berbeda dari media yang
berbeda pula.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers beberapa kali muncul wacana untuk direvisi. Ada pro dan kontra
terkait revisi itu, karena ada kekuatiran dari berbagai pihak yang pro dan
kontra tersebut. Mereka yang pro revisi, berharap agar undang-undang tentang
pers ini lebih tegas dan mendukung penuh kebebasan pers. Namun mereka yang
kontra, justru kuatir revisi undang-udang ini akan mengekang dan mengurangi
kebebasan pers yang sudah dianggap cukup baik ini.
Pro dan kontra itu sebenarnya tidak
perlu terjadi, jika masing-masing pihak, baik dari eksektuf, legilatif, pemilik
modal media massa dan wartawan selaku praktisi di lapangan, memiliki komitmen
yang sama untuk tetap menjunjung tinggi kemerdekaan pers. Namun di sisi lain,
juga ada komitmen untuk menjadi media massa yang bertanggung jawab.
Masing-masing harus duduk bersama, membahas bersama apa kelemahan dari
undang-undang yang sudah ada ini, dana apa kelebihan yang harus dipertahankan
dari undang-undang tentang pers ini.
Selain itusebenarnya ada
langkah-langkah alternatif, selain melakukan revisi undang-undangan tentang
pers. Yakni menguatkan lembaga Dewan Pers yang ada, dengan memberikan
kewenangan yang lebih luas atas peran dan fungsi lembaga tersebut. Selama ini,
peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan yang dibuat dan dikeluarkan
Dewan Pers, masih belum efektif dalam menyelesaikan suatu persoalan yang
muncul. Peraturan-peraturan yang dibuat Dewan Pers, belum mampu mengikat semua
pihak yang berhubungan dengan dunia pers. Termasuk di kalangan Polri, Kejaksaan
dan Pengadilan. Masing-masing masih mempunyai sikap yang berbeda dalam
menangani kasus pers.
Penguatan lembaga Dewan Pers perlu
dilakukan, agar peraturan-peraturan yang dibuatnya mampu menjadi dasar dalam
setiap pengambilan keputusan. Baik di lingkungan pers itu sendiri, masyarakat
pers dan pemerintah. Seperti halnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh
kementerian maupun lembaga non-kementerian, yang mampu mengikat dan menjadi
dasar pelaksanaan lembaga di bawahnya. Dalam hal ini, Peraturan Dewan Pers
belum diposisikan seperti itu.
Satu hal yang penting juga,
sebenarnya persoalan hukum atau pun kasus tidak akan muncul ketika para
wartawan telah bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik yang sudah
ditetapkan Dewan Pers bersama dengan organisasi-organisasi wartawan. Kalaupun
masih muncul gugatan dan ancaman pidana, jika para wartawan sudah menggunakan
kode etik itu, pasti akan aman dan tidak tersandung kasus hukum.
B. PENGERTIAN
KODE ETIK JURNALISTIK
Kode (Inggris: code, dan Latin:
codex) adalah buku undang-undang kumpulan
sandi dan kata yang disepakati dalam lalu lintas telegrafi serta susunan
prinsip hidup dalam masyarakat. Etik atau etika merupakan moral filosofi
filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI etika mengandung arti ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Moral
adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan demikian, kode etik
jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan dan juga norma tertulis yang
mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penertiban. Kode Etik jurnalistik ialah ikrar
yang bersumber pada hati nurani wartawam dalam melaksanakan kemerdekaan
mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28 UUD 1945, yang
merupakan landasan konstitusi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kemerdekaan mengeluarkan pikiran
ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap insan wartawan, yang wajib di
jungjung tingggi dan di hormati oleh semua pihak. Sekalipun kemerdekaan
mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin konstitusi, mengingat
negara kesatuan republik Indonesia ialah negara berdasarkan hukum, maka setiap
wartawan wajib menegakan hukum, keadilan dan kebenaran dalam menggunakan haknya
untuk mengaluarkan pikiran.
a.
Kode Etik
Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan:
1)
Berita diperoleh dengan cara yang
jujur.
2)
Meneliti kebenaran suatu berita atau
keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
3)
Sebisanya membedakan antara kejadian
(fact) dan pendapat (opinion).
4)
Menghargai dan melindungi kedudukan
sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang
wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang
memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5)
Tidak memberitakan keterangan yang
diberikan secara off the record (for your eyes only).
6) Dengan jujur
menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar
atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi
dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”,
yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan
yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul
selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus
1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan
menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal
sebagai berikut:
- Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar.
- Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis
untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas
kepada sumber informasi.
- Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak
bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu
meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
- Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi
yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan
identitas korban kejahatan susila.
- Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak
menyalahgunakan profesi.
- Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record
sesuai kesepakatan.
- Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat
kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
Kemudian ditetapkan sebagai Kode
Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan
Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan
Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna
menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat.Kode
Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman
operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.Pengawasan
dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan
kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
b.
Mengapa
Diperlukan Kode Etik Jurnalistik Bagi Para Jurnalis.
Kode Etik
Jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, dan juga normal tertulis
yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penerbitan.
Mengapa Perlu Kode Etik……?Kode etik jurnalistik diperlukan karena membantu para wartawan menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, baik atau buruk, dan bertanggung jawab atau
tidak dalam proses kerja kewartawanan. Etika ditentukan dan dilaksanakan secara
pribadi. Secara sederhana, kaidah etika dirujuk dari kode etik (code of
ethics) yang bersifat normatif dan universal sebagai kewajiban moral yang
harus dijalankan oleh institusi pers. Epitsemologi diwujudkan melalui langkah
metodologis berdasarkan pedoman prilaku (code of conduct) yang bersifat
praksis dan spesifik bagi setiap wartawan dalam lingkup lembaga persnya. Nilai
dari kode etik bertumpu pada rasa malu dan bersalah (shamefully and guilty
feeling) dari hati nurani. Karena itulah kode etik terkait dengan
perkembangan dan pergeseran nilai masyarakat.
c.
Ciri-ciri
Kode Etik Jurnalistik
Adapun ciri
dari suatu kode etik adalah sebagai berikut :
1.
Kode etik mempunyai sanksi
yang bersifat moral terhadap anggota kelompok tersebut
3.
Kode etik dibuat dan di susun
oleh lembaga / kelompok profesi yang bersangkutan sesuai dengan aturan
organisasi itu dan bukan dari pihak luar.
Seorang
jurnalis tidak boleh mencelakakan sumber berita, baik itu karena
keterusterangannya yang konyol dan tolol maupun karena tidak tahu situasi dan
kondisi sumber berita yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan
demikian, kode etik jurnalistik sesungguhnya berfungsi sebagai berikut :
a.
Alat control social, yaitu
tidak hanya megatur hubungan antara sesame anggota seprofesi, tetapi juga dapat
juga mengatur hubungan antara anggota organisasi profesi tersebut dengan
masyarakat.
b.
Mencegah adanya control dan
campur tangan pihak lain, termasuk pemeritnah atau kelompok masyarakat
tertentu.
d. Manfaat Kode Etik Jurnalistik
Manfaat kode etik jurnalistik adalah memperlihatkan
kepada publik suatu karya jurnalistik. Kode etik ini pula sebagai penuntun
seorang wartawan dalam melakukan tugasnya, baik dalam peliputan suatu berita
atau menulis dan menyiarkan berita tersebut. Dengan memiliki kode ini, maka
wartawan dapat menimbang apakah tindakan yang dilakukannya benar atau salah,
baik atau jahat, bertanggungjawab atau tidak. Ketaatan terhadap kode etik
jurnalistik dapat dijadikan tolok ukur keprofesionalan warawan. Dengan
demikian, seorang wartawan dapat dikatakan professional jika ia menaati kode
etik jurnalistik, yaitu memberitakan secara berimbang, melakukan check
and recheck, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, tidak
menyuap dan disuap, tidak membuat berita bohong, menjunjung tinggi asas praduga
tak bersalah, dan menghormati kehidupan pribadi narasumber.
Dengan adanya kode etik ini, maka seharusnya wartawan
dapat:
1.
Menimbang prinsip-prinsip dasar,
nilai-nilai, kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban terhadap orang lain.
2.
Menentukan bagi dirinya sendiri
bagaimana ia akan hidup, bagaimana ia akan melaksanakan pekerjaan
kewartawanannya, bagaimana ia akan berpikir tentang dirinyasendiri dan tentang
orang lain, bagaimana ia akan berperilaku dan bereaksi terhadap orang-orang
serta isu-isu di sekitarnya. (Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, Rosihan Anwar
1996).
Wartawan Indonesia juga bekerja berdasarkan kode etik
yang disusun mengikuti perubahan dan tuntutan zaman. Kendati kode etik ini
tidak langsung berkaitan dengan hukum, tetapi pelanggaran kode etik sangat
berpotensi untuk berhadapan dengan hukum. Kode etik wartawan Indonesia mengenal
beberapa prinsip utama yang tidak boleh dilanggar. Itu meliputi :
1.
Wartawan Indonesia harus menghormati
hak masyakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.
Wartawan Indonesia menempuh cara
yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas
kepada sumber berita.
3.
Wartawan Indonesia menghormati asa
praduga tak bersalah, tidak mencampurkan adukkan fakta dan opini, berimbang,
serta selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4.
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan
informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak
menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5.
Wartawan Indonesia tidak menerima
suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6.
Wartawan Indonesia memiliki hak
tolak, menghargai embargo, latar belakang dan off the record sesuai
kesepakatan.
7.
Wartawan Indonesia segera mencabut
dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Prinsip mematuhi kode etik ini kini semakin penting
jika mengingat kesadaran masyarakat akan hukum makin tinggi. Di luar kode etik
yang ditetapkan oleh Dewan Pers, sebenarnya pegangan wartawan Indonesia dalam
melakukan tugas adalah “berkiblat” terhadap aturan-aturan di dalam
undang-undang yang berlaku.
Misalnya, hak seseorang atas wilayah rumah dan
pekarangannya yang diatur dalam hukum positif. Dalam kaitan ini, maka seorang
wartawan tidak bisa, atas nama tugas untuk masuk tanpa izin. Tidak hanya
melanggar etika, tetapi telah melanggar hak privat seseorang. Kasus-kasus
demikian sangat berpotensi untuk diperkarakan. Pihak yang dirugikan mempunyai
hak untuk, misalnya, melapor ke polisi.
Mengakui identitas diri sebagai wartawan adalah
keharusan. Tetapi, dalam hal-hal tertentu, untuk kegiatan investigasi
reportase, identitas ini kadang harus ditutupi. Kendati demikian, dalam proses
investigasi ini, pada saatnya wartawan harus membuka identitasnya.
Kode Etik jurnalis menjadi penuntun seorang wartawan
untuk dua hal dalam melakukan profesinya: pencarian dan penulisan berita.
Pencarian meliputi etika selama proses perencanaan hingga pencarian berita itu
(termasuk pengambilan foto, proses wawancara, pemuatan dokumen) serta penulisan
berita yang meliputi proses penulisan sampai berita tersebut selesai.
Dengan demikian, maka ketika seseorang wartawan
merencanakam untuk menulis sebuah berita dengan rencana tertentu yang tak
terpuji, maka ia sebenarnya sudah mulai melanggar kode etik.
Kode etik sebagai suatu pertanggungjawabam bermakna
pula bahwa seorang wartawan berani dan jujur untuk mengakui bahwa berita yang
dibuatnya adalah mengambil milik orang lain atau berita yang dibuatnya salah.
Dalam kaitan inilah, maka wartawan harus menyebut sumber berita untuk berita
yang dibuatnya. Penyebutan ini, di sisi lain, juga untuk mencegah jika ternyata
berita itu salah dan ada pihak yang menggugat.
Mengakui kekeliruan adalah harga mahal yang harus
dilakukan wartawan terhadap berita atau ketidakakuratan yang dibuat. Tapi,
harga mahal ini mutlak harus dilakukan dan dengan cara ini justru akan
memberikan penilaian dan citra positif pada pers. Karena itulah, bantahan atau
ralat, sepanjang itu memang benar, harus dilakukan pada kesempatan yang
pertama. Wartawan harus mengakui kekeliruannya dan meminta maaf atas kekeliruan
yang dibuat.
BAB III
PENUTUP
Ksimpulan
Perjalanan pers di Indonesia sendiri
tidak hanya terpaku pada undang-undang yang mengatur tentang pers saja. Artinya
tidak tergantung pada keberadaan undang-undang yang menjadi dasar penerbitan
pers. Tetapi keberadaan pers telah berjalan seiring perjalanan sejarah itu
sendiri. Awal-awal kemunculan media massa atau surat kabar di Eropa pun mungkin
belum diatur secara khusus oleh undang-undang tentang pers. Namun dalam
perjalanannya sampai sekarang, masing-masing negara telah memiliki udang-undang
atau peraturan yang mengatur tentang pers, termasuk di Indonesia.
Pada
awal-awal perjalanan pers di Indonesia, yakni pada massa penjajahan Belanda,
maka hukum yang dipakai adalah Wetboek van Straftrecht atau Buku Hukum Siksa
Hindia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hukuman bagi para pejuang pers saat
itu. Seperti yang dialami Mas Arga pemimpin redaksi, Hoofdredacteur Pertja
Selatan di Palembang pada tahun 1927. Mas Arga terjerat dua delik pers karena
mengkritik keras pemerintah colonial Belanda. Ia menurunkan artikel-artikel
tentang pemberontakan komunis tahun 1926-1927.
Penguatan lembaga Dewan Pers perlu
dilakukan, agar peraturan-peraturan yang dibuatnya mampu menjadi dasar dalam
setiap pengambilan keputusan. Baik di lingkungan pers itu sendiri, masyarakat
pers dan pemerintah. Seperti halnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh
kementerian maupun lembaga non-kementerian, yang mampu mengikat dan menjadi
dasar pelaksanaan lembaga di bawahnya. Dalam hal ini, Peraturan Dewan Pers
belum diposisikan seperti itu.
Satu hal
yang penting juga, sebenarnya persoalan hukum atau pun kasus tidak akan muncul
ketika para wartawan telah bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik yang
sudah ditetapkan Dewan Pers bersama dengan organisasi-organisasi wartawan.
Kalaupun masih muncul gugatan dan ancaman pidana, jika para wartawan sudah
menggunakan kode etik itu, pasti akan aman dan tidak tersandung kasus hukum.
No comments:
Post a Comment