MAKALAH KODE ETIK JURNALISTIK


Kode Etik Jurnalistik

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Pada era hukum pers yang mengacu pada UU no 40 tahun 1999 ini, sejumlah kasus hokum terjadi di Indonesia. Beberapa kasus hokum itu dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk mantan Presiden Soeharto yang menggugat majalah Time dari Amerika Serikat. Pun kasus-kasus lain yang menimpa sejumlah media massa, baik nasional, regional maupun lokal. Hingga saat ini, hampir semua keputusan hakim mengacu pada UU No 40 tahun 1999 terkait gugatan yang diajukan kepada media massa. Di mana sebagian besar media massa yang telah menjalankan kode etik jurnalistik dan mematuhi UU No 40 tahun 1999 ini memenangkan gugatan.
Kode (Inggris: code, dan Latin: codex) adalah buku undang-undang kumpulan  sandi dan kata yang disepakati dalam lalu lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat. Etik atau etika merupakan moral filosofi filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI etika mengandung arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Moral adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani  Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hukum pers di indonesia ?
2.      Bagaimana masa depan hukum pers di indonesia ?
3.      Apa pengertian kode etik jurnalistik?
4.      Mengapa diperlukan kode etik jurnalistik bagi para jurnalis. ?
5.      Apa saja ciri-ciri kode etik jurnalistik  ?
6.      Manfaat apa saja yg ada pada kode etik jurnalistik?

BAB II
PEMBAHASAN
A.     HUKUM PERS DI INDONESIA
Dasar hukum penerbitan pers di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang yang ditandatangani presiden BJ Habibie pada 23 September 1999 ini berisi 10 bab dan 21 pasal. UU No 40 tahun 1999 ini merupakan pengganti dari UU No 21 tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1967. UU No 21 tahun 1982 ini ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 20 September 1982. Sedangkan UU No 11 tahun 1966, yang berisi 21 pasal ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Desember 1966.
Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” ini menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan kemerdekaan pers. Seperti tercatat dalam dictum menimbang UU No 40 tahun 1999, bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Dalam persfektif sejarah, pengakuan dan perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah dimulai sejak deklarasi Magna Charta (1215). Terkait bidang pers, secara eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia Bill of Right, 15 Mei 1776 tentang Kemerdekaan Persuratkabaran, yang kemudian dimasukkan ke dalam konstitusi Amereka Serikat (1787). Pada tahun 1789, Piagam Virginia itu diadopsi pula oleh Perancis menjadi Declaration de droits de l’homme et du citoyen.
Perjalanan pers di Indonesia sendiri tidak hanya terpaku pada undang-undang yang mengatur tentang pers saja. Artinya tidak tergantung pada keberadaan undang-undang yang menjadi dasar penerbitan pers. Tetapi keberadaan pers telah berjalan seiring perjalanan sejarah itu sendiri. Awal-awal kemunculan media massa atau surat kabar di Eropa pun mungkin belum diatur secara khusus oleh undang-undang tentang pers. Namun dalam perjalanannya sampai sekarang, masing-masing negara telah memiliki udang-undang atau peraturan yang mengatur tentang pers, termasuk di Indonesia.
Pada awal-awal perjalanan pers di Indonesia, yakni pada massa penjajahan Belanda, maka hukum yang dipakai adalah Wetboek van Straftrecht atau Buku Hukum Siksa Hindia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hukuman bagi para pejuang pers saat itu. Seperti yang dialami Mas Arga pemimpin redaksi, Hoofdredacteur Pertja Selatan di Palembang pada tahun 1927. Mas Arga terjerat dua delik pers karena mengkritik keras pemerintah colonial Belanda. Ia menurunkan artikel-artikel tentang pemberontakan komunis tahun 1926-1927. 
Selain itu, koresponden daerah Uluan untuk Pertja Selatan, M. Noer juga dijerat pasal 153 bis dan ter dalam Buku Hukum Siksa Hindia atau Wetboek van Straftrecht. Sebuah artikel yang berjudul “B.B. Matjan” yang terbit pada tanggal 20 Juli 1932 dianggap telah menyinggung tindakan sewenang-wenang anggota Binnelandsch Bestuur (BB) daerah Muara Dua Palembang. Ia diajukan ke muka siding Landraad dan dihukum dua bulan penjara.
Selain itu, salah seorang redaktur Pertja Selatan, Paman Lengser, nama samaran Nungtjik, juga berkali-kali diperiksa Dinas Intelijen Belanda (PID). Dia dianggap membangkitkan perlawanan rakyat karena membuat resensi buku tentang perang, yang dianggap bacaan liar, terlarang. Pada tahun 1938, Nungtjik juga diperiksa polisi kolonial Belanda, karena dianggap mencemarkan nama baik Tan Sio Sak, seorang reserse staatpolitie Palembang. Dia dihadapkan ke Landraad dan diajtuhi hukuman denda sebesar Rp 25.
Selain kasus-kasus tersebut, juga banyak terjadi pada surat kabar-surat kabar lainnya. Banyak di antara para pejuang pers itu yang masuk penjara dan akhirnya surat kabarnya tutup dan tidak terbit lagi. Di mana sebagian besar surat kabar yang diterbitkan pribumi itu adalah surat kabar perjuangan untuk menuju kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1945 misalnya, terbit Koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Merdeka di Jakarta. Koran-koran tersebut menyampaikan berita seputar perjuangan merebut kemerdekaan hingga berita proklamasi kemerdekaan.
Pemerintah kolonial Belanda sangat mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Karena itu mereka memandang perlu membuat undang-undang untuk membendung pengaruh pers Indonesia, karena merupakan momok yang harus diperangi.  Menurut Suruhum, pemerintah kolonial Belanda selain mengeluarkan Wetboek van Straftrecht (KUHP), juga mengeluarkan  aturan yang bernama Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar atau majalah Indonesia yang dianggap berbahaya. Pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan peraturan yang bernama Haatzai Artekelen, yaitu berisi pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Netherland dan Hindia Belanda, serta terhadap sejumlah kelompok penduduk Hindia Belanda.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, selain Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Merdeka di Jakarta, juga muncul media lainnya seperti Waspada di medan pada 1947, Pedoman di Jakarta pada 1948, Indonesia Raya di Jakarta pada 1949, Suara Merdeka di Semarang pada 1950. Pada tahun antara 1950-1959 banyak muncul media partisan, yang didirikan partai-partai politik yang ada. Pada tahun 1958 Indonesia Raya diberedel dan Pemimpin Redaksinya masuk-keluar tahanan sejak 1956. Pada tahun 1965, Harian Rakyat dan 46 koran yang berhaluan kiri diberedel Angkatan Darat.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang sudah bebas dari koran yang berideologi kiri, masih saja, bahkan semakin banyak koran yang diberedel, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1967, yang kemudian diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982. Pada tahun 1974 Soeharto mencabut Surat Izin Terbit (SIT) 11 penerbitan Koran, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Nusantara, Harian Kami, The Jakarta Times. Kemudian pada 1978 Presiden Soeharto juga menutup sementara 7 koran, termasuk Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita. Pada 1994 Soeharto mencabut SIUPP majalah Tempo.
Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, kebebasan pers kembali diberikan. Yakni dengan diterbitkannya UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Adanya sensor oleh pemerintah dihabpus, dan perizinan ditiadakan bagi pers cetak.
Pada era hukum pers yang mengacu pada UU no 40 tahun 1999 ini, sejumlah kasus hokum terjadi di Indonesia. Beberapa kasus hokum itu dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk mantan Presiden Soeharto yang menggugat majalah Time dari Amerika Serikat. Pun kasus-kasus lain yang menimpa sejumlah media massa, baik nasional, regional maupun lokal. Hingga saat ini, hampir semua keputusan hakim mengacu pada UU No 40 tahun 1999 terkait gugatan yang diajukan kepada media massa. Di mana sebagian besar media massa yang telah menjalankan kode etik jurnalistik dan mematuhi UU No 40 tahun 1999 ini memenangkan gugatan.
Sebelum gugatan di pengadilan dilakukan pihak-pihak tertentu, gugatan atau pun pengaduan dapat disampaikan kepada Dewan Pers, seperti yang tertuang dalam pasal 15 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Di mana Dewan Pers dalam pasal tersebut memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Kemudian mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan dan mendata perusahaan pers.
Selain itu Dewan Pers juga membuat Peraturan-Peraturan Dewan Pers, yang berkaitan dengan sejumlah standar pengelolaan pers. Di antaranya adalah Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Profesi Wartawan, Standar Organisasi Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan.
Dewan Pers juga membuat Peraturan Dewan Pers terkait dengan sejumlah pedoman yang harus menjadi pegangan setiap insane pers dan masyarakat. Di antaranya Pedoman Penyebaran Media Cetak Khusus Dewasa, Pedoman Hak Jawab, Keterangan Ahli Dewan Pers, Pedoman tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik, Pedoman Pemberitaan Media Siber dan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan. Dewan Pers dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers juga membuat nota kesepahaman dengan sejumlah lembaga tinggi Negara, yakni Polri dan Kejaksaan Agung.
Persoalan-persoalan hokum hingga saat ini masih terjadi dalam dunia jurnalistik, baik masalah pidana maupun perdata. Beberapa pihak yang merasa dirugikan atau dicemarkan oleh media massa masih banyak yang melakukan aduan delik pers maupun gugatan perdata di pengadilan. Hal ini dikarenakan dalam UU No 40 tahun 1999 tidak diatur masalah sanksi pidananya. Namun terkait dengan pidana, masih tetap merujuk pada KUHP. Jika pers dianggap mencemarkan nama baik seseorang selain melanggar KEJ dapat dituntut sebagai tindak pidana pencemaran nama baik secara tertulis (press libel/smaadschrift) yang diatur dalam pasal 310 ayat (2) KUHP yang berbunyi: “Jikalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum maka yang bersalah karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Dalam kasus-kasus hokum seperti ini, Dewan Pers sudah berusaha melindungi para pelaku dunia pers. Sebelum ke pengadilan, masyarakat bisa mengadukan kasus itu ke Dewan Pers dan jika tidak puas bisa melanjutkan ke pengadilan. Namun diharapkan, dengan media Dewan Pers, antara penggungat dan pers bisa ditemukan solusi yang terbaik, tanpa harus melalui pengadilan. Namun dalam prakteknya, masih banyak insan pers yang dipidanakan karena beritanya. Hal-hal seperti inilah yang dianggap menjadi salah satu ancaman dari kebebasan atau kemerdekaan pers di era demokrasi.
Dan perlu diketahui pula, bahwa ketentuan tentang delik pers sebagaimana dimaksud dalam pasal 154 dan 155 KUHP dibuat sangat ketat dan karenanya banyak dikaitkan dengan ketentuan Hatzaai Artikelen (HA) atau pasal-pasal penyebar kebencian dalam KUHP, kini sudah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007. Sementara itu, sesuai pasal 1372 KUH Perdata yang berbunyi: “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik”, dapat digugat dengan tetap mengacu pasal 310 ayat (2) KUHP. Dengan adanya kasus ini, sehingga dalam penerapan standar jurnalisme yang baik, pers harus memberitakan secara berimbang (cover both sides), obyektif, dan akurat.
1.      Masa Depan Hukum Pers Di Indonesia
Kemerdekaan dan kebebasan pers yang telah diberikan pemerintah melalui UU No 40 tahun 1999 tentang pers, ternyata masih menimbulkan tanda tanya bagi masa depan pers di Indonesia. Selain belum secara tegas dalam pengaturan informasi yang beredar di masyarakat, khususnya media online, juga masih adanya kasus pidana yang menggunakan dasar KUHP. Belum lagi media massa partisan dan kecenderungan kepemilikan media massa oleh para pemodal besar. Kondisi seperti sudah mulai terlihat secara langsung di tengah kondisi masyarakat yang semakin kritis terhadap media massa. Persaingan yang tidak tidak sehat di antara media massa yang kepemilikannya berbeda dalam ideology, sangat mempengaruhi isi dan materi berita yang ditayangkan. 
Kondisi ini dirasakan betul oleh mereka yang terlibat langsung dalam proses penerbitan berita, khususnya para wartawan. Mereka berada pada posisi yang dilematis, antara kepentingan pemilik modal dari perusahaan persnya dengan kepentingan masyarakat. Posisi dilematis ini dirasakan di hampir semua media massa, baik cetak, elektronik maupun online. Seperti diketahui, kepentingan pemilik modal adalah bagaimana media massa yang didirikan itu mampu menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga paling tidak mampu membayar gaji para wartawannya dengan layak. Tanpa keuntungan itu, maka media massa tersebut  terancam bangkrut dan para karyawan dan wartawan akan kehilangan pekerjaannya. Sementara para wartawan yang memiliki visi idealis sebagai penyambung lidah rakyat, harus terkendalan dengan kepentingan pemilik modalnya.
Dalam hal ini, posisi Dewan Pers, sebagai lembaga yang berfungsi melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain menjadi tidak efektif. Karena justru pemilik modallah yang menjadi batu sandungan dari kemerdekaan per situ sendiri. Apalagi banyak pemilik modal perusahaan pers yang bergabung dengan kekuasaan atau sebaliknya, menjadi oposisi bagi kekuasaan itu sendiri. Sehingga seringkali terlihat, antara satu media dengan media yang lain berbeda pendapat dalam suatu pemberitaan. Masyarakat menjadi antipasti terhadap media, jika kondisi ini terus terjadi. Belum lagi media abal-abal, yang tidak jelas sumber dan datanya, yang sering banyak di-share di media sosial. Banyak di antara masyarakat yang terjebak pada kondisi ini. Bahkan perang opini antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sangat luar biasa, akibat mendapat informasi yang berbeda dari media yang berbeda pula.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers beberapa kali muncul wacana untuk direvisi. Ada pro dan kontra terkait revisi itu, karena ada kekuatiran dari berbagai pihak yang pro dan kontra tersebut. Mereka yang pro revisi, berharap agar undang-undang tentang pers ini lebih tegas dan mendukung penuh kebebasan pers. Namun mereka yang kontra, justru kuatir revisi undang-udang ini akan mengekang dan mengurangi kebebasan pers yang sudah dianggap cukup baik ini.
Pro dan kontra itu sebenarnya tidak perlu terjadi, jika masing-masing pihak, baik dari eksektuf, legilatif, pemilik modal media massa dan wartawan selaku praktisi di lapangan, memiliki komitmen yang sama untuk tetap menjunjung tinggi kemerdekaan pers. Namun di sisi lain, juga ada komitmen untuk menjadi media massa yang bertanggung jawab. Masing-masing harus duduk bersama, membahas bersama apa kelemahan dari undang-undang yang sudah ada ini, dana apa kelebihan yang harus dipertahankan dari undang-undang tentang pers ini.
Selain itusebenarnya ada langkah-langkah alternatif, selain melakukan revisi undang-undangan tentang pers. Yakni menguatkan lembaga Dewan Pers yang ada, dengan memberikan kewenangan yang lebih luas atas peran dan fungsi lembaga tersebut. Selama ini, peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan yang dibuat dan dikeluarkan Dewan Pers, masih belum efektif dalam menyelesaikan suatu persoalan yang muncul. Peraturan-peraturan yang dibuat Dewan Pers, belum mampu mengikat semua pihak yang berhubungan dengan dunia pers. Termasuk di kalangan Polri, Kejaksaan dan Pengadilan. Masing-masing masih mempunyai sikap yang berbeda dalam menangani kasus pers.
Penguatan lembaga Dewan Pers perlu dilakukan, agar peraturan-peraturan yang dibuatnya mampu menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan. Baik di lingkungan pers itu sendiri, masyarakat pers dan pemerintah. Seperti halnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh kementerian maupun lembaga non-kementerian, yang mampu mengikat dan menjadi dasar pelaksanaan lembaga di bawahnya. Dalam hal ini, Peraturan Dewan Pers belum diposisikan seperti itu.
Satu hal yang penting juga, sebenarnya persoalan hukum atau pun kasus tidak akan muncul ketika para wartawan telah bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik yang sudah ditetapkan Dewan Pers bersama dengan organisasi-organisasi wartawan. Kalaupun masih muncul gugatan dan ancaman pidana, jika para wartawan sudah menggunakan kode etik itu, pasti akan aman dan tidak tersandung kasus hukum.
B.     PENGERTIAN KODE ETIK JURNALISTIK
Kode (Inggris: code, dan Latin: codex) adalah buku undang-undang kumpulan  sandi dan kata yang disepakati dalam lalu lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat. Etik atau etika merupakan moral filosofi filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI etika mengandung arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Moral adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan demikian, kode etik jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan dan juga norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penertiban. Kode Etik jurnalistik ialah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawam dalam melaksanakan kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28 UUD 1945, yang merupakan landasan konstitusi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kemerdekaan mengeluarkan pikiran ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap insan wartawan, yang wajib di jungjung tingggi dan di hormati oleh semua pihak. Sekalipun kemerdekaan mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin konstitusi, mengingat negara kesatuan republik Indonesia ialah negara berdasarkan hukum, maka setiap wartawan wajib menegakan hukum, keadilan dan kebenaran dalam menggunakan haknya untuk mengaluarkan pikiran.
a.      Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan:
1)      Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2)      Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
3)      Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4)      Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut  namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5)      Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
6)      Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani  Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
  2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
  3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
  4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
  5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
  6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
  7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

Kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat.Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
b.      Mengapa Diperlukan Kode Etik Jurnalistik Bagi Para Jurnalis.
Kode Etik Jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, dan juga normal tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penerbitan.
Mengapa Perlu Kode Etik……?Kode etik jurnalistik diperlukan karena membantu para wartawan menentukan apa yang benar dan apa yang salah, baik atau buruk, dan bertanggung jawab atau tidak dalam proses kerja kewartawanan. Etika ditentukan dan dilaksanakan secara pribadi. Secara sederhana, kaidah etika dirujuk dari kode etik (code of ethics) yang bersifat normatif dan universal sebagai kewajiban moral yang harus dijalankan oleh institusi pers. Epitsemologi diwujudkan melalui langkah metodologis berdasarkan pedoman prilaku (code of conduct) yang bersifat praksis dan spesifik bagi setiap wartawan dalam lingkup lembaga persnya. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa malu dan bersalah (shamefully and guilty feeling) dari hati nurani. Karena itulah kode etik terkait dengan perkembangan dan pergeseran nilai masyarakat.

c.       Ciri-ciri Kode Etik Jurnalistik
Adapun ciri dari suatu kode etik adalah sebagai berikut :
1.      Kode etik mempunyai sanksi yang bersifat moral terhadap anggota kelompok tersebut
2.      Daya jangkau suatu kode etik hanya tertuju kepada kelompok yang mempunyai kode etik tersebut
3.      Kode etik dibuat dan di susun oleh lembaga / kelompok profesi yang bersangkutan sesuai dengan aturan organisasi itu dan bukan dari pihak luar.
Seorang jurnalis tidak boleh mencelakakan sumber berita, baik itu karena keterusterangannya yang konyol dan tolol maupun karena tidak tahu situasi dan kondisi sumber berita yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, kode etik jurnalistik sesungguhnya berfungsi sebagai berikut :
a.       Alat control social, yaitu tidak hanya megatur hubungan antara sesame anggota seprofesi, tetapi juga dapat juga mengatur hubungan antara anggota organisasi profesi tersebut dengan masyarakat.
b.      Mencegah adanya control dan campur tangan pihak lain, termasuk pemeritnah atau kelompok masyarakat tertentu.
d.      Manfaat Kode Etik Jurnalistik
Manfaat kode etik jurnalistik adalah memperlihatkan kepada publik suatu karya jurnalistik. Kode etik ini pula sebagai penuntun seorang wartawan dalam melakukan tugasnya, baik dalam peliputan suatu berita atau menulis dan menyiarkan berita tersebut. Dengan memiliki kode ini, maka wartawan dapat menimbang apakah tindakan yang dilakukannya benar atau salah, baik atau jahat, bertanggungjawab atau tidak. Ketaatan terhadap kode etik jurnalistik dapat dijadikan tolok ukur keprofesionalan warawan. Dengan demikian, seorang wartawan dapat dikatakan professional jika ia menaati kode etik jurnalistik, yaitu memberitakan secara berimbang, melakukan  check and recheck, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, tidak menyuap dan disuap, tidak membuat berita bohong, menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dan menghormati kehidupan pribadi narasumber.
Dengan adanya kode etik ini, maka seharusnya wartawan dapat:
1.      Menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai, kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban terhadap orang lain.
2.      Menentukan bagi dirinya sendiri bagaimana ia akan hidup, bagaimana ia akan melaksanakan pekerjaan kewartawanannya, bagaimana ia akan berpikir tentang dirinyasendiri dan tentang orang lain, bagaimana ia akan berperilaku dan bereaksi terhadap orang-orang serta isu-isu di sekitarnya. (Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, Rosihan Anwar 1996).
Wartawan Indonesia juga bekerja berdasarkan kode etik yang disusun mengikuti perubahan dan tuntutan zaman. Kendati kode etik ini tidak langsung berkaitan dengan hukum, tetapi pelanggaran kode etik sangat berpotensi untuk berhadapan dengan hukum. Kode etik wartawan Indonesia mengenal beberapa prinsip utama yang tidak boleh dilanggar. Itu meliputi :
1.      Wartawan Indonesia harus menghormati hak masyakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.      Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber berita.
3.      Wartawan Indonesia menghormati asa praduga tak bersalah, tidak mencampurkan adukkan fakta dan opini, berimbang, serta selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4.      Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5.      Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6.      Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai embargo, latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
7.      Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Prinsip mematuhi kode etik ini kini semakin penting jika mengingat kesadaran masyarakat akan hukum makin tinggi. Di luar kode etik yang ditetapkan oleh Dewan Pers, sebenarnya pegangan wartawan Indonesia dalam melakukan tugas adalah “berkiblat” terhadap aturan-aturan di dalam undang-undang yang berlaku.
Misalnya, hak seseorang atas wilayah rumah dan pekarangannya yang diatur dalam hukum positif. Dalam kaitan ini, maka seorang wartawan tidak bisa, atas nama tugas untuk masuk tanpa izin. Tidak hanya melanggar etika, tetapi telah melanggar hak privat seseorang. Kasus-kasus demikian sangat berpotensi untuk diperkarakan. Pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk, misalnya, melapor ke polisi.
Mengakui identitas diri sebagai wartawan adalah keharusan. Tetapi, dalam hal-hal tertentu, untuk kegiatan investigasi reportase, identitas ini kadang harus ditutupi. Kendati demikian, dalam proses investigasi ini, pada saatnya wartawan harus membuka identitasnya.
Kode Etik jurnalis menjadi penuntun seorang wartawan untuk dua hal dalam melakukan profesinya: pencarian dan penulisan berita. Pencarian meliputi etika selama proses perencanaan hingga pencarian berita itu (termasuk pengambilan foto, proses wawancara, pemuatan dokumen) serta penulisan berita yang meliputi proses penulisan sampai berita tersebut selesai.
Dengan demikian, maka ketika seseorang wartawan merencanakam untuk menulis sebuah berita dengan rencana tertentu yang tak terpuji, maka ia sebenarnya sudah mulai melanggar kode etik.
Kode etik sebagai suatu pertanggungjawabam bermakna pula bahwa seorang wartawan berani dan jujur untuk mengakui bahwa berita yang dibuatnya adalah mengambil milik orang lain atau berita yang dibuatnya salah. Dalam kaitan inilah, maka wartawan harus menyebut sumber berita untuk berita yang dibuatnya. Penyebutan ini, di sisi lain, juga untuk mencegah jika ternyata berita itu salah dan ada pihak yang menggugat.
Mengakui kekeliruan adalah harga mahal yang harus dilakukan wartawan terhadap berita atau ketidakakuratan yang dibuat. Tapi, harga mahal ini mutlak harus dilakukan dan dengan cara ini justru akan memberikan penilaian dan citra positif pada pers. Karena itulah, bantahan atau ralat, sepanjang itu memang benar, harus dilakukan pada kesempatan yang pertama. Wartawan harus mengakui kekeliruannya dan meminta maaf atas kekeliruan yang dibuat.


BAB III
PENUTUP
Ksimpulan
Perjalanan pers di Indonesia sendiri tidak hanya terpaku pada undang-undang yang mengatur tentang pers saja. Artinya tidak tergantung pada keberadaan undang-undang yang menjadi dasar penerbitan pers. Tetapi keberadaan pers telah berjalan seiring perjalanan sejarah itu sendiri. Awal-awal kemunculan media massa atau surat kabar di Eropa pun mungkin belum diatur secara khusus oleh undang-undang tentang pers. Namun dalam perjalanannya sampai sekarang, masing-masing negara telah memiliki udang-undang atau peraturan yang mengatur tentang pers, termasuk di Indonesia.
Pada awal-awal perjalanan pers di Indonesia, yakni pada massa penjajahan Belanda, maka hukum yang dipakai adalah Wetboek van Straftrecht atau Buku Hukum Siksa Hindia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hukuman bagi para pejuang pers saat itu. Seperti yang dialami Mas Arga pemimpin redaksi, Hoofdredacteur Pertja Selatan di Palembang pada tahun 1927. Mas Arga terjerat dua delik pers karena mengkritik keras pemerintah colonial Belanda. Ia menurunkan artikel-artikel tentang pemberontakan komunis tahun 1926-1927.
Penguatan lembaga Dewan Pers perlu dilakukan, agar peraturan-peraturan yang dibuatnya mampu menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan. Baik di lingkungan pers itu sendiri, masyarakat pers dan pemerintah. Seperti halnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh kementerian maupun lembaga non-kementerian, yang mampu mengikat dan menjadi dasar pelaksanaan lembaga di bawahnya. Dalam hal ini, Peraturan Dewan Pers belum diposisikan seperti itu.
Satu hal yang penting juga, sebenarnya persoalan hukum atau pun kasus tidak akan muncul ketika para wartawan telah bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik yang sudah ditetapkan Dewan Pers bersama dengan organisasi-organisasi wartawan. Kalaupun masih muncul gugatan dan ancaman pidana, jika para wartawan sudah menggunakan kode etik itu, pasti akan aman dan tidak tersandung kasus hukum.

No comments:

Post a Comment