Metode Dakwah
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Umat Islam diharuskan untuk berdakwah dalam selalu mengajak
kepada kebaikan dan saling mengingatkan apabila ada kemunkaran. Sebagian ada
yang mengartikan sebagai keharusan setiap individu dan sebagian mengartikan
sebagai keharusan secara kolektif, tetapi secara garis besarnya berdakwah
adalah keharusan bagi umat Islam yang tercantum di dalam Alquran maupun Hadits
Nabi SAW.
Sehingga dalam proses serta pelaksanaannya, umat Islam perlu
untuk mengetahui dan memahami makna, unsur, metode, dan semua hal yang terkait
dengan faktor pendukung keberhasilan dakwah. Berkaitan dengan hal tersebut,
pemahaman terhadap metode dakwah sebagai salah satu faktor pendukung dalam
keberhasilan dakwah menjadi sesuatu yang urgen.
Istilah metode dakwah seperti yang tertera di dalam Alquran
pada prinsipnya merujuk kepada surah an-Nahl ayat 125 yang menyebutkan bahwa
metode pelaksanaan dakwah ada 3 yaitu dakwah dengan kebijaksanaan, dakwah
dengan memberikan pelajaran yang baik, dan dakwah dengan membantah atau
berdebat dengan cara yang baik.
Pemahaman terhadap metode dakwah yang telah disebutkan di
dalam Alquran tersebut dapat diaplikasikan dengan menggunakan metode yang
diajarkan oleh Rasulullah selaku pelopor dakwah islamiyah, seperti yang tertera
di dalam redaksi Hadits riwayat imam Bukhari dan imam Muslim sebagai berikut:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka
cegahlah dengan tangannya (kekuasaan), apabila tidak mampu maka dengan
lidahnya, apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah
iman.”
Berdasarkan Hadits tersebut dapat dipahami bahwa metode
dakwah yang disebutkan di dalam Alquran mempunyai integritas dengan metode
dakwah yang tertera di dalam Hadits, maksudnya adalah bahwa pelaksanaan metode
dakwah yang ada di dalam Alquran dengan menggunakan metode dari Hadits seperti
yang disebutkan di atas.
2.
Tujuan
Makalah
Tujuan makalah ini adalah, supaya kita semua bisa memahami
bagaimana metode dakwah yang dianjurkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Setelah
memahami metode tersebut, kemudian bisa berdakwah di dalam masyarakat untuk
bisa berbuat kebajikan sesuai dengan metode yang dianjurkan.
3.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang menjadi Hadits Sebagai
Landasan Metode Dakwah?
2. Bagaimana Pendapat Ulama Hadits
Terhadap Metode Dakwah?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Hadits
Sebagai Landasan Metode Dakwah
Pedoman utama yang tidak dapat berubah serta dinamis adalah
Alquran dan Sunnah atau Hadits (Zaidallah, 2002: 72), karena secara
epistemologis Hadits dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran
Islam kedua setelah Alquran, sebab Hadits merupakan bayân (penjelasan) terhadap
ayat Alquran yang masih mujmal (global), ‘âmm (umum) dan mutlaq atau tanpa
batasan (Mustaqim, 2008: 4). Dapat disimpulkan bahwa Hadits dari Rasulullah
berfungsi sebagai pendukung dari firman Allah yang terkodifikasi di dalam
Alquran.
Sehingga dari penjelasan tersebut Hadits dapat menjadi
landasan metode dakwah. Hal ini berdasarkan keterangan dari Allah SWT yang
tertera di dalam Alquran surah al-Ahzab ayat 21 yang menyatakan: “Sungguh
terdapat di dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagimu...” sehingga setiap
aktivitas dakwah harus dirancang serta dilakukan dengan sebaik- baiknya dengan
memperhatikan berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi (Ismail, 2006: 235),
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dalam melaksanakan dakwah.
Di dalam sunnah rasul (Hadits), banyak ditemui Hadits yang
berkaitan dengan dakwah, begitu juga dalam sejarah hidup dan perjuangan Nabi
SAW serta cara-cara yang dipakai beliau dalam menyebarkan dakwahnya, baik
ketika beliau berjuang di kota Mekkah atau di kota Madinah. Semua hal tersebut
memberikan contoh dalam metode dakwah beliau, sehingga seharusnya para da’i
mengikuti langkah perjuangan dakwah beliau (Zaenab, 2009: 35).
Wardi Bachtiar menjelaskan bahwa metode dakwah yang ada di
dalam Alquran surah an-Nahl ayat 125 digunakan dengan cara atau metode yang
terdapat di dalam Hadits riwayat Muslim yaitu menggunakan kekuatan anggota
tubuh (tangan), dengan mulut (lidah), dan dengan hati (Bachtiar, 1997: 34).
Kemudian dilanjutkan bahwa dari sumber metode tersebut menghasilkan
metoda-metoda yang merupakan operasionalisasinya yaitu dakwah dengan lisan,
tulisan, seni, dan bil-hal (1997: 34).
Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
.( رواه صحيح مسلم)
Artinya:
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila
belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan
hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah iman” (H.R. Muslim)
a. Dakwah bil-yadi
Dakwah dengan tangan (bil-yadi) dapat diinterpretasikan sebagai
bentuk dakwah dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan, dapat juga diartikan
sebagai kemampuan (ability) seseorang dalam menyampaikan ajaran Islam. Selain
itu, dapat juga diartikan sebagai bentuk dakwah dengan menggunakan kekuasaan,
seperti berdakwah di tengah kalangan pemerintah atau berdakwah dengan kekuasaan
yang dimiliki.
Hal tersebut dapat berupa ikut serta secara aktif dalam
kegiatan penyuluhan masyarakat dalam melawan fenomena penyimpangan dan tindak
pidana melalui jalur khusus di dalam setiap wilayah pemerintahan, atau
mendirikan sektor khusus di pemerintahan yang bertugas memberikan pengarahan
dan penyuluhan agama kepada masyarakat, serta mengoptimalkan peran menjadi
seorang da’i yang berjuang di jalan Allah (Al-‘Allaf, 2008: 130).
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud menambahkan dalam penjelasan
mengenai dakwah di dalam kalangan pemerintah dapat dimulai dengan ikut serta
dalam membentuk organisasi atau institusi yang dapat memenuhi keinginan pribadi
atau keluarga, kemudian semakin dapat dikembangkan hingga dapat memenuhi
kebutuhan orang banyak, di desa ataupun di kota, kemudian terus dikembangkan
sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan dengan
institusi dan organisasi tersebut, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dunia
Islam secara menyeluruh (Mahmud, 2002: 254).
Secara teknis, pembentukan masyarakat Islam harus dimulai
dengan pembentukan individu-individu muslim (takwîn al-fard al-muslim),
kemudian keluarga muslim (al-bait al-muslim), selanjutnya masyarakat muslim
(mujtama’ islâmî), sehingga individu muslim dan keluarga muslim merupakan
komponen yang membentuk masyarakat Islam (2006: 153).
Memahami kalimat “hikmah” yang terdapat di dalam surah
an-Nahl ayat 125, jika dihubungkan dengan interpretasi terhadap dakwah bil-yadi
dapat dikategorikan dengan hikmah yang dimaksud di dalam Alquran, dengan
konteks bahwa hikmah berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam
melakukan suatu perbuatan (2003: 14). Dari penjelasan tersebut dapat dipahami
makna kebijaksanaan atau hikmah yang dimaksud adalah bentuk nyata di dalam
perbuatan seseorang.
b. Dakwah bil-lisan
Secara umum, dakwah dipahami hanya dalam bentuk dakwah
bil-lisan, karena itu istilah dakwah yang menjadi asumsi masyarakat adalah
dalam bentuk penyampaian lidah atau ucapan di masjid- masjid, pengajian, dan
sebagainya. Hal ini menyebabkan ruang lingkup pemahaman masyarakat terhadap
dakwah menjadi sempit, karena makna dakwah sendiri tidak hanya dalam bentuk
ucapan, dan ucapan merupakan salah satu bentuk dari metode dakwah.
Dakwah yang sering dilakukan Rasulullah dalam konteks
sejarah adalah dakwah bil-lisan untuk menyampaikan risalah Islam, baik dengan
metode ceramah, khutbah, diskusi, nasehat, dan sebagainya. Ahmad Janawi
memaparkan metode dialog yang juga pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap
pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan agama lainnya dengan berbagai hal (2003:
22).
Sebagai contoh ketika beliau berbicara dengan orang Nasrani
Najran yang
berjumlah 60 orang yang dipimpin oleh al- Sayyid dan al-‘Aqib mengenai persoalan Nabi Isa as, Rasulullah mengatakan kepada mereka bahwa Nabi Isa bukan anak Allah, kemudian mereka membantah dengan memberikan pertanyaan, “siapa ayah Isa?” tetapi Rasulullah memberikan gambaran bahwa Allah itu tidak akan mati dan tetap hidup, sedangkan Isa tidak seperti itu.
berjumlah 60 orang yang dipimpin oleh al- Sayyid dan al-‘Aqib mengenai persoalan Nabi Isa as, Rasulullah mengatakan kepada mereka bahwa Nabi Isa bukan anak Allah, kemudian mereka membantah dengan memberikan pertanyaan, “siapa ayah Isa?” tetapi Rasulullah memberikan gambaran bahwa Allah itu tidak akan mati dan tetap hidup, sedangkan Isa tidak seperti itu.
Allah itu pemberi rizki dan pencipta segala sesuatu,
sedangkan Isa tidak, Rasulullah juga memberikan penjelasan bahwa Isa dikandung
oleh seorang ibu seperti ibu lainnya, sehingga secara logika seorang ayah akan
mempunyai kemiripan dengan ayahnya, sedangkan Isa tidak seperti itu, dengan
penjelasan tersebut orang Nasrani Najran tersebut dapat menerima dan akhirnya
masuk Islam dengan perdamaian.
Dakwah dengan menggunakan metode dialog seperti yang
dilakukan Rasulullah dapat dikaitkan dengan metode mujadalah (berdiskusi) yang
terdapat di dalam surah an-Nahl 125, selain itu dakwah bil-lisan dapat
berbentuk hal lain yang mempunyai tujuan yang sama meskipun dengan pelaksanaan
yang sedikit berbeda, seperti dialog interaktif, atau yang sejenisnya.
Seorang da’i harus berbicara dengan gaya bahasa yang
menimbulkan kesan di dalam hati para mad’u (obyek dakwah), sehingga agar tidak
terdapat kesalahan dalam berbicara yang menyebabkan kegagalan dalam penyampaian
pesan-pesan dakwah, diperlukan untuk memperhatikan empat hal sebagai berikut:
1. Memilih kata-kata yang baik
2. Meletakkan pembicaraan tepat pada
tempatnya dan mencari kesempatan yang benar.
3. Berbicara dengan pembicaraan sekedar
keperluan
4. Memilih kata-kata yang akan
dibicarakan.
M. Isa Anshary menjelaskan bahwa lidah berkuasa membuat
hidup menjadi lebih berbahagia serta bercahaya, dan lidah juga mampu untuk
membuat hidup menjadi kering dan gersang, dan kemudian lidah juga mampu
menegakkan iman dan kepercayaan di dalam hati dan perilaku manusia, dan mampu
menjadikan manusia anti terhadap Tuhan dan agama (Anshary, 1995: 29).
c. Dakwah bil-qalb
Abdullah Gymnastiar menyatakan bahwa salah satu potensi di
dalam diri manusia yang tidak setiap orang dapat mengembangkan dengan baik
adalah hati, hati membuat otak cerdas menjadi mulia serta badan yang kuat
menjadi mulia, dan dengan hati orang yang tidak berdaya menjadi mulia, sehingga
hati yang bersih memberikan pengaruh terhadap pola berfikir manusia
(Gymnastiar, 2005: 5).
Di dalam redaksi Hadits Nabi riwayat Bukhari dan Muslim yang
menyatakan bahwa apabila tidak mampu mencegah kemunkaran dengan tangan atau
lidah, maka dengan hati dan hal tersebut merupakan bentuk lemahnya iman.
Pemahaman tersebut dapat dianalisa alasan mengapa berdakwah dengan hati
dikategorikan sebagai bentuk lemahnya iman.
Sebagian para pakar mengkategorikan dakwah bil-qalb dalam
bentuk dakwah bil-hal (dengan perilaku), hal ini didasarkan karena dakwah tidak
harus selalu dengan kata-kata, karena dari sekian banyak permasalahan ternyata
solusinya tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan memberikan teladan yang
baik, karena perbuatan seorang da’i adalah salah satu bentuk dakwah (Rahmat
Semesta, 2003: 121).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa diam dapat menjadi solusi
pada kondisi yang tertentu, Rasulullah bersabda di dalam redaksi Hadits yang
dikeluarkan oleh al- Baihaqi dengan sanad yang dhaif (lemah), kemudian dia
membenarkan bahwa Hadits ini bernilai mauquf dari ucapan Luqman Hakim (Syafe’i,
2003: 50), redaksi Hadits yang memuat Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
“Dari Anas berkata, telah bersabda Rasulullah SAW:
diam itu suatu kebijaksanaan, tetapi sedikit orang yang melakukannya.”
Rachmat Syafe’i menambahkan bahwa orang yang tidak banyak
bicara kecuali hal yang baik lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan,
dari pada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas
dibicarakan dan yang tidak pantas untuk menjadi topik pembicaraan (2003: 50).
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa orang yang menyaksikan suatu
kesalahan (dosa) lalu membencinya dengan hatinya, maka dia sama dengan orang
yang tidak menyaksikan perbuatan itu apabila dia tidak mampu mencegah dengan
tangan atau lidahnya. Dan apabila dia menyaksikan perbuatan dosa atau kesalahan
itu kemudian dia membiarkannya, maka orang tersebut sama seperti orang yang
menyaksikan perbuatan tersebut dan mampu untuk mencegah perbuatan tersebut
tetapi tidak dilakukannya (Ibn Taimiyah, 2001: 19).
Diam juga bisa menjadi faktor penyebab gagalnya dakwah, hal
ini karena diam dapat bermacam-macam, diam yang dapat menjadikan gagalnya
dakwah adalah diam yang disebabkan oleh penyakit futūr, oleh Sayyid M. Nuh
menjelaskan dengan mengutip dari kitab lisan al-arab bahwa futūr berasal dari
kata fatara yang berarti sikap berdiam diri setelah sebelumnya giat atau
menjadi lemah setelah sebelumnya kuat, sedangkan menurut istilah pengertiannya
adalah penyakit hati atau rohani yang efeknya menimbulkan rasa malas untuk
melakukan sesuatu yang sebelumnya sering dilakukan (Nuh, 1998: 15).
Sehingga dapat dipahami bahwa maksud dari Hadits Nabi yang
menyatakan bahwa mencegah suatu kemunkaran dengan hati adalah bentuk lemahnya
iman dipandang dari sudut negatif, sehingga kriteria mencegah dengan hati masih
dapat dimaklumi, karena dari berbagai kriteria tertentu diam dapat menjadi
solusi untuk memecahkan masalah, dan diam juga dapat menjadi penyebab gagalnya
dakwah, sehingga hal ini yang dimaksud oleh Rasulullah sebagai bentuk lemahnya
iman.
Di dalam sebuah riwayat, Abu Juhaifah berkata bahwa Ali r.a
berkata: “sesungguhnya yang pertama mengalahkan kamu di dalam jihad adalah
jihad dengan tangan, kemudian lidah dan terakhir dengan hati, maka orang yang
hatinya tidak mengenal kebaikan dan tidak menolak keburukan, maka dia akan
dibalik dimana bagian atas dijadikan bagian bawah (2001: 18).
2.
Pendapat
Ulama Hadits Terhadap Metode Dakwah
Ada beberapa Hadits dari Rasulullah yang membahas masalah
kewajiban untuk mencegah kemunkaran dan menyeru kepada kebaikan, Ibn Mas’ud r.a
pernah mendengar seseorang yang mengatakan bahwa akan celaka orang yang tidak
mengajak kepada kebaikan dan tidak mencegah kemunkaran, sehingga beliau
memberikan isyarat bahwa mengetahui kebaikan dan keburukan dengan hati adalah
sesuatu yang wajib bagi setiap individu, maka orang yang tidak mau mengetahui
hal tersebut akan celaka (2001: 18).
Memahami metode dakwah yang tercantum di dalam Hadits
Rasulullah yang banyak membahas masalah kewajiban untuk mencegah kemunkaran,
menurut pandangan para ahli diperlukan pemahaman terhadap obyek dakwah atau
masyarakat itu sendiri, karena efek yang terjadi pada obyek dakwah merupakan
indikator atau dapat dikatakan sebagai tolak ukur kesuksesan dakwah, sehingga
beberapa ahli memberikan beberapa pendapat di antaranya sebagai berikut:
a)
Ali
bin Abi Thalib mengatakan: “Apakah kamu suka bahwa Allah dan rasul-Nya didustai
orang, berbicaralah kepada manusia dengan pengetahuan dan tinggalkanlah sesuatu
yang membuat mereka ingkar.”
b)
Ali
Mahfuz di dalam bukunya yang berjudul hidayah al-mursyidin, menyatakan:
“Tukarlah setiap orang itu sesuai dengan ukuran akalnya dan timbanglah dia
sesuai dengan bobot pemahamannya.”
c)
M.
Natsir menyatakan bahwa akan sulit bagi seorang muballigh mencernakan isi dan
cara berdakwah yang tepat apabila dia tidak lebih dahulu mengetahui corak,
sifat, tingkat kecerdasan, kepercayaan yang tradisional dan aliran-aliran dari
luar yang mempengaruhi masyarakat yang sedang dihadapinya.
d)
M.
Isa Anshary memberikan pendapat bahwa tanpa mengenal masyarakat, tidak ada
gunanya sama sekali segala buku yang telah dibaca setiap hari, karena ilmu yang
banyak dan pengetahuan yang luas tidak akan berguna apabila buku atau
pengetahuan tentang masyarakat yang berkembang setiap hari tidak dipelajari.
Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
sangat penting bagi seorang da’i untuk mengenal masyarakat selaku obyek dakwah,
sehingga kesuksesan dakwah yang disampaikan tergantung kepada pemilihan metode
yang tepat dengan berlandaskan pengetahuan terhadap obyek dakwah yang beraneka
ragam.
Menurut Sayyid Quthb, aqidah adalah tema sentral dalam
menyampaikan dakwah, karena persoalan dakwah yang sesungguhnya adalah masalah
aqidah, adapun persoalan lain yang terjadi di dalam kehidupan pada dasarnya
berasal dari masalah aqidah, sehingga aqidah harus menjadi fokus perhatian bagi
para da’i (Ismail, 2006: 259).
Adapun untuk permasalahan pentingnya metode dakwah, beberapa
pakar menyampaikan pendapat mereka mengenai pentingnya metode dakwah di
antaranya sebagai berikut:
a. Syeikh M. Abu al-Fath al-Bayanuni
menyatakan bahwa urgensi metode dakwah adalah sebagai berikut:
1. Terjaga dari penyimpangan dalam
mengemban misi dakwah islamiyah.
2. Dengan metode akan memperjelas visi
dan misi dakwah.
3. Untuk keseimbangan dan kelanjutan
dakwah.
b. Syeikh Athif Faiz menyatakan
mengenai pentingnya metode dakwah adalah merupakan langkah awal menuju izzul
Islam sebagai manhaj qur’ani memiliki
manhaj dimensi manhaj muhaddad (aturan yang teratur dan tertata rapi), agar tidak terjadi penyimpangan dalam berdakwah sekaligus sebagai khath fashil (titah pembeda) antara langkah yang menuju ridha Allah dan yang menuju jalan kesesatan.
manhaj dimensi manhaj muhaddad (aturan yang teratur dan tertata rapi), agar tidak terjadi penyimpangan dalam berdakwah sekaligus sebagai khath fashil (titah pembeda) antara langkah yang menuju ridha Allah dan yang menuju jalan kesesatan.
c. Samith Athif al-Zain menyampaikan
tentang pentingnya metode dakwah adalah merupakan hal yang sangat penting dalam
meluruskan misi dakwah yang selama ini terpuruk, padahal Alquran benar- benar
mengajarkan metode khusus dalam penyebaran misi Islam.
d. Muhammad Abduh membagi mad’u atau
obyek dakwah menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1.
Golongan
cendikiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berpikir secara kritis, serta cepat
menangkap persoalan.
2.
Golongan
awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat berpikir secara kritis dan
mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang
tinggi.
tinggi.
3.
Golongan
yang berbeda dengan kedua golongan tersebut, mereka senang membahas sesuatu,
tetapi hanya dalam batas tertentu, dan tidak sanggup mendalami dengan benar
(Ilaihi, 2010: 91).
e. Sedangkan M. Bahri Ghozali
mengelompokkan mad’u berdasarkan tipologi dan klasifikasi masyarakat yang
terbagi menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut:
1.
Tipe
innovator: masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap fenomena sosial
yang sifatnya membangun, bersifat agresif, dan tergolong berhati- hati dalam
setiap langkah.
2.
Tipe
pengikut: masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dengan
pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat membawa perubahan positif, untuk
menerima atau menolak ide pembaharuan, mereka mencari pelopor yang menjadi
wakil mereka dalam menanggapi pembaharuan tersebut.
3.
Tipe
pengikut dini: masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap dalam
mengambil resiko
4.
dan
umumnya lemah mental, kelompok masyarakat ini adalah kelompok kelas dua di
masyarakatnya dan mereka memerlukan pelopor sebagai perwakilan dalam mengambil
tugasnya dalam masyarakat.
5.
Pengikut
akhir: masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak pada masyarakat yang
skeptis terhadap sikap pembaharuan. Karena faktor kehati- hatian yang
berlebihan, setiap gerakan pembaharuan memerlukan waktu dan pendekatan yang
sesuai untuk bisa masuk.
6.
Tipe
kolot: masyarakat yang memiliki ciri-ciri tidak mau menerima pembaharuan
sebelum mereka terdesak oleh lingkungannya (2010: 91).
Dari beberapa pendapat tersebut menjadikan keharusan dalam
pelaksanaan dakwah diperlukan pemilihan metode yang tepat dan relevan dengan
keadaan mad’u, sehingga apa yang menjadi tujuan dakwah islamiyah dapat terwujud
(2009: 42). Metode dakwah merupakan salah satu unsur yang menentukan dalam
keberhasilan dakwah, penyesuaian dan pemilihan metode yang tepat memberikan
stimulant terhadap kesuksesan dakwah.
BAB
III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Pembahasan panjang mengenai metode dakwah dalam perspektif
Hadits pada intinya adalah menyangkut metode dakwah yang tercantum di dalam
Alquran surah an-Nahl 125, yang pelaksanaannya dalam bentuk Hadits Rasulullah
yaitu dengan tangan, lidah, atau hati, yang pada dasarnya bersifat tidak
terikat, karena penyesuaian terhadap karakter masyarakat yang berbeda-beda,
sehingga kemampuan dalam pemilihan metode yang tepat adalah salah satu kunci
untuk keberhasilan dakwah.
Pada dasarnya permasalahan masyarakat yang beraneka ragam
berasal dari permasalahan aqidah atau keyakinan, karena pada saat keyakinan
lemah disebabkan kondisi hati dapat menjadikan seseorang menolak hal yang
sebenarnya diterimanya. Selain itu, sebagai kewajiban seorang muslim adalah
mencegah keburukan dan saling mengingatkan dalam kebaikan, menjadikan keharusan
bagi setiap pribadi muslim setidaknya menolak dengan hati suatu kemunkaran,
karena apabila tidak merupakan bentuk lemahnya iman seperti yang digambarkan
oleh Rasulullah di dalam Haditsnya.
Dapat juga diterjemahkan bahwa hati adalah titik penentu
iman seseorang, karena perbuatan berasal dari kemauan hati, dalam kondisi
tertentu hati dapat menjadi sebuah bumerang yang mengenai diri sendiri apabila
tidak bisa memberikan kendali, tetapi juga dapat menjadi senjata yang paling
ampuh apabila dilakukan manajemen yang tepat. Dari hati kemudian ke otak adalah
proses pemilihan metode yang tepat untuk menyampaikan dakwah, sehingga semua
unsur yang berhubungan dengan keberhasilan dakwah dapat menjadi sangat penting
karena saling mendukung.
Para pakar telah menyatakan bahwa metode dakwah sangat
penting untuk keberhasilan dakwah, selain pemahaman terhadap keragaman
karakteristik masyarakat menjadikan ketepatan dalam memilih metode yang benar
untuk diaplikasikan merupakan bentuk upaya pencapaian keberhasilan dakwah
dengan langkah yang tepat, karena ketepatan dalam memilih metode sangat
mendukung karena pesan yang disampaikan akan mudah diterima oleh masyarakat
selaku obyek atau sasaran dakwah.
2.
Saran
Diharapkan kepada mahasiswa/i untuk bisa memahami tentang
isi makalah ini, supaya kita bisa mengajak masyarakat kepada yang makruf dan
mencegah yang mungkar, sesuai dengan metode dakwah yang dianjurkan dalam
Al-Qur’an dan Hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
1. ‘Allaf, Abdullah Ahmad. 1001
Cara Berdakwah. Surakarta: Ziyad Visi Media, 2008.
2. Anshary M. Isa. Mujahid
Dakwah Pembimbing Muballigh Islam, Cetakan V. Bandung: Diponegoro, 1995.
3. Bachtiar Wardi. Metodologi
Penelitian Dakwah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
4. Gymnastiar Abdullah. Inilah
Indahnya Islam dengan Manajemen Qalbu, Cetakan III. Bandung: Khas MQ,
2005.
5. Hafidhuddin Didin. Mutiara
Dakwah. Jakarta: Albi Publishing, 2006.
6. Ibn Taimiyah, Manhaj. Da’wah
Salafiyah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
7. Ilaihi, Wahyu. Dkk. Pengantar
Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana, 2007.
8. Ilaihi, Wahyu. Komunikasi
Dakwah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
9. Ismail, A. Ilyas. Paradigma
Dakwah Sayyid Quthub: Rekonstruksi Pemikiran Dakwah H arakah. Jakarta:
Penamadani, 2006.
10. Mahmud, Ali Abdul Halim. Fiqh
Dakwah Ilallah. Jakarta: Studia Press, 2002.
No comments:
Post a Comment