PENGERTIAN, JENIS-JENIS DAN TEKNIK PROPAGANDA


Pengertian, Jenis-Jenis dan Teknik Propaganda

1.      Pengertian Propaganda Dan Sejarahnya
Propaganda adalah suatu bentuk komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi suatu sikap dari komunias yang menyangkul hal posisi dan perbuatan yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Teori yang saya pilih adalah teori The Big Lie, yaitu sebuah teori yang muncul dan menjadi teknik propaganda ketika Adolf Hitler mendiktekan bukunya yaitu Mein Kampf tentang sebuah kebohongan besar yang tidak akan dipercaya oleh orang lain. Kebohongan ini memuat paham bahwa seseorang dapat dengan lancang mengubah kebenaran secara besar-besaran. Hitler mengilustrasikan kebohongan besar ini dalam kasus yang dilakukan oleh bangsa Yahudi, pihak Yahudi menyalahkan kekalahan Jerman dalam perang dunia pertama secara tidak adil yang dimana saat itu pasukan Jerman dipimpin oleh Erich Ludendorf. Kebohongan tersebut kemudian mempengaruhi banyak pendapat masyarakat dunia sehingga semua orang menyalahkan Erich Ludendorf untuk kekalahan Jerman. Perubahan pandangan masyarakat tersebut disebut sebagai Art of Lying oleh Hitler.
Teori The Big Lie ini namun kemudian digunakan juga oleh Jerman, Goebbels dan para Nazi, dalam memanfaatkan Anti-Semitisme yang kemudian berubah menjadi pembunuhan masal rakyat yang tidak bersalah. Goebbels membuat kebohongan bahwa Yahudi sudah memulai perang pembantaian terhadap Jerman dan memiliki bala tentara kuat yang menguasai Inggris, Rusia, dan Amerika, kemudian masyarakat dunia, terutama Jerman, merasa takut dan merasa memiliki kepentingan untuk bertahan, sehingga pada masa itu banyak sekali rakyat Yahudi yang tidak bersalah dibunuh serta dibantai, lalu lahirlah perang dunia kedua. Propaganda ini dapat berhasil karena kebohongan tersebut dilakukan secara berulang-ulang. Joseph Gobbels merupakan tokoh penting juga disamping keberadaan Adolf Hitler di dalam organisasi Nazi. Beliau adalah mentri propaganda yang menyempurnakan pengertian teori The Big Lie, sehingga dapat disimpulkan propaganda yang menggunakan teori The Big Lie ini akan dipercaya oleh masyarakat luas apabila banyak pendengar yang diberitakan dan kebohongan tersebut dilakukan secara berulang-ulang.

2.      Jenis-Jenis Propaganda
1)      White propaganda atau bisa disebut propaganda ‘putih’ adalah sejenis propaganda yang dikenal kesahihan serta ketepatan cerita atau berita yang ingin disampaikan. Propaganda jenis ini kebiasaannya akan melalui saluran yang dimonopoli oleh pihak pemerintah. Setiap maklumat yang disebarkan akan memberi kelebihan dan menonjolkan kebaikan pihak pemerintah.
2)      Black Propaganda adalah sejenis propaganda tertutup atau tersembunyi. Propaganda jenis ini memberikan sumber informasi yang salah atau tidak tepat. Penyebar propaganda ini juga akan menyebarkan informasi palsu dan akan memberi kesan buruk kepada orang atau negara yang dituduh itu.
3)      Grey Propaganda pula atau dengan kata lain sebagai propaganda ‘kelabu atau kabur’ adalah sejenis propaganda yang kurang ketepatan tentang informasi atau berita yang disebarkan. Propaganda jenis ini biasanya tidak diketahui penyebar yang menyebarkan informasi tersebut. Apabila sesuatu informasi disebarkan, kita jarang mengetahui identitas penyebar maklumat tersebut. Propaganda jenis ini juga kebiasaanya akan menolak sesuatu kekejaman yang dilakukan oleh kuasa-kuasa besar.
4)      Ratio Propaganda adalah sejenis propaganda yang bersifat positif. Propaganda jenis ini lebih menjurus ke arah perpaduan dan mencipta nama yang baik. Selain itu, ia mempromosikan ikatan persahabatan dan meningkatkan moral sesuatu perkara yang disebarkan.

3.      CONTOH JENIS-JENIS PROPAGANDA
1)      Contoh White propaganda contohnya saja yaitu seperti RRI dan TVRI, kedua media ini dari dahulu sampai sekarang, masih sering di gunakan untuk alat komunikasi pemerintah untuk menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah kepada rakyat indonesia secara luas.
2)      Contoh Black propaganda yang sempat kita dengar yaitu ketika itu ada seorang moderator acara silahturahmi  suatu organisasi,  yang mengatakan bahwa pembicara yang mereka undang tidak bisa datang karena telah di culik oleh BIN (badan intelegen negara)  akan tetapi tuduhan tersebut tidak terbukti.
3)      Contoh grey propaganda yang pernah kita liat di televisi yaitu propaganda yang di lakukan oleh partai politik, yaitu partai NASDEM mengatakan bahwasannya MENDAGRI, Gamawan Fauzi harus mundur daru jabatannya, karena beliau tidak mampu menyelesaikan program E-KTP yang akibatnya berujung pada masalah DTP yang masi belum dapat terselesaikan hingga saat ini. Tapi MENDAGRI membantah, dan menatakan bahwa program E-KTP tidak ada hubunganya dengan DPT.
4)      Contoh ratio propaganda yang sangat hangat di ingtan kita, kemarin pada tanggal 28 oktober  kita memperingati hari sumpah pemuda, sebagai contoh yaitu, isi sumpah pemuda di gunakan untuk mengingatkan dan menyatukan para pemuda di seluruh Indonesia untuk tetap bersatu demi kejayaan bangs

4.      TEKNIK PROPAGANDA DAN CONTOHNYA
1)      Teknik kampanye Glittering Generality, menghubungkan sesuatu dengan ‘kata yang baik’ dipakai untuk membuat sasaran menerima dan menyetujui sesuatu tanpa memeriksa bukti-bukti.
Contoh: kampanye yang ditujukan kepada petani dengan menyebutkan, “gagal panen disebabkan karena penggunaan bibit yang tidak unggul", atau “jika Anda tidak memeriksakan kesehatan maka bahaya penyakit akan mengancam!”. Kedua pesan tersebut mengandung ancaman bagi komunikan yang dituju kedua pesan tadi, misalnya bagi kehidupan seorang petani.

2)      Teknik kampanye Transfer, diperlukan dukungan dari tokoh berpengaruh, public figure, lembaga yang memiliki otoritas seperti lembaga pendidikan, militer atau lembaga lain yang memiliki prestise.
Contoh: Di Indonesia kita bisa melihat bagaimana Megawati menggunakan gambar ayahnya, Soekarno, dalam beberapa poster, spanduk, dan baliho miliknya. Disini dia mencoba mengasosiasikan dirinya dengan Soekarno yang memang sangat dihormati oleh bangsa Indonesia dengan tujuan agar dipilih.
3)      Teknik kampanye Testimoni (kesaksian), memerlukan proses komunikasi bertahap. Pesan diterima berdasarkan pengalaman yang diperolehnya. Jadi komunikatornya memberikan informasi berdasarkan pengalamannya terhadap sebuah informasi.
Contoh: Pada kampanye pemilu presiden 2009 lalu, sebuah iklan kampanye Jusuf Kalla menampilkan seorang budayawan, Sujiwo Tejo. Pada testimonial tersebut, Sujiwo Tejo mengatakan bahwa ia tidak pernah mengikuti pemilu sebelumnya, namun kini ia memilih Jusuf Kalla. Sebuah iklan yang cukup tajam. Begitu juga kampanye politik ketika pemilihan ketua umum Golkar di Pekanbaru, terjadi saling adu propaganda antara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Terutama Surya Paloh yang mengumpulkan berbagai testimonial dari pejabat publik mengenai dirinya sendiri.
4)      Teknik kampanye Plain Folks, Propagandis sadar bahwa masalah mereka terhambat jika mereka tampak di mata audiensnya sebagai “orang asing”. Oleh sebab itu mereka berusaha mengidentifikasikan sedekat mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran propaganda dengan menggunakan slang, aksen dan idiom lokal.
Contoh: ketika Obama berkunjung ke Indonesia, Obama menggunakan teknik ini, yaitu dengan mengucapkan, assalamu’alaikum/selamat pagi.
5)      Teknik kampanye Card Staking, Teknik ini sebagai propaganda dengan menonjolkan hal-hal baik dari sesuatu. Card stacking meliputi seleksi dan kegunaan fakta atau kepalsuan, ilustrasi atau kebingungan dan masuk akal atau tidak masuk akal suatu pernyataan agar memberikan kemungkinan terburuk atau terbaik untuk suatu gagasan, program, manusia dan barang. Teknik propaganda ini hanya menonjolkan hal-hal atau segi baiknya saja, sehingga publik hanya melihat satu sisi saja.
Contoh:Iklan penggunaan kondom, dalam berbagai iklan kondom tersebut, seringkali muncul pernyataan “seks aman dengan kondom”. Di satu sisi , penggunaankondom mungkin dapat “mengamankan” pelaku seks tersebut dari penyakitkelamin atau HIV AIDS. Di sisi lain, maraknya iklan penggunaan kondom tersebut tentu akan mendorong orang untuk melakukan seks bebas atau seks pranikah. Maraknya seks bebas atau seks pranikah tersebut akan menyebabkan masalah lain.
6)      Teknik bandwagon, Teknik ini memainkan perasaan audiens untuk sesuai dengan massa. Teknik ini mirip testimonial namun massalah yang jadi cara untuk menarik perhatian. Misalnya propagandis komunis sering menggunakan ungkapakn “seluruh dunia tahu bahwa ….” Atau “semua rakyat yang cinta damai mengakui bahwa ……” Atau “semua masyarakat progresif menuntut bahwa ……”. Teknik ini menempatkan sasaran sebagai minoritas sehingga bila mereka menolak harus bergabung dengan mayoritas. Atau jika sasarannya simpati maka aka menguatkan sikap mereka dengan mendemontrasikan bahwa mereka sudah ada di pihak yang “benar” beserta orang lainnya.
Contoh: seluruh dunia tahu, penduduk yang baik selalu membayar pajak tepat pada waktunya.
7)      Name CallingStrategi untuk menjatuhkan reputasi seseorang melalui ucapan, pernyataan-pernyataan atau penggunaan julukan, istilah atau ideologi untuk menjatuhkan seseorang, dengan memberinya arti negatif. Selain itu, name calling adalah propaganda dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk. Tujuannya adalah agar oarng menolak dan menyangsikan ide tertentu tanpa mengoreksinya/memeriksanya terlebih dahulu.
Contoh:Salah satu ciri yang melekat pada teknik ini adalah propagandis menggunakan sebutan-sebutan yang buruk pada lawan yang dituju. Ini dimaksudkan untuk menjatuhkan atau menurunkan derajat seseorang atau sekelompok tertentu.Sebutan, “jahanam”, “biang kerok”, “provokator”.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan seperti “dasar batu”, “dasar otak udang”, atau “anak mami”.

Istilah Propaganda Persfektif Islam
Kata propaganda dalam kehidupan sehari-hari telah dipersepsi sebagai sesuatu yang buruk. Citranya menjadi negative bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Jika kita mendengar kata propaganda, maka yang terbayang dibenak adalah tindakan-tindakan yang jahat, keji dan kejam. Sebagaian orang juga menafsirkan kegiatan propaganda erat kaitan dengan kepentingan politik merebut kekuasaan.
Dalam persfektif sejarah, propaganda bukanlah sesuatu yang asing bagi setiap pemain dan penyaksi sejarah. Sejak masa awal dokumentasi sejarah umat manusia propaganda sudah kerap digunakan sebagai bentuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Inskripsi Behistun tahun 515 SM yang menggambarkan kenaikan Darius I ke tahta Persia merupakan salah satu contoh awal kemunculan propaganda. Kemudian Channakya mahaguru di universitas Thakshashila pada tahun 350-283 SM menulis Arthashastra yang membahas propaganda secara detil, termasuk cara menyebarkannya dan penerapannya dalam peperangan. Muridnya, Chandra Gubta Maurya tahun 340-293 SM menggunakan cara-cara ini untuk mendirikan dan memimpin kekaisaran Maurya. (Moehammad Shoelhi, 2012 : 33). Taktik dan strategi politik kekaisaran Maurya itu kemudian di-filmkan dalam serial Ashoka disalah satu stasiun televise Indonesia dapat dijadikan contoh kegiatan propaganda pada zaman kerajaan Hindia kuno. Segala cara dan teknik dilakukan demi menjaga dan mempertahankan kekuasaan termasuk kebohongan.
Citra Negatif “Propaganda”
Kemudian sorotan paling mencolok dan menjadikan istilah propaganda berkonotasi negatif adalah propaganda yang dilakukan Adolf Hitler dalam mempengaruhi bangsa Jerman dengan paham Nazi. Bersama dengan menteri propagandanya Joeseph Goebbels, Hitler melancarkan kegiatan propagandanya dengan mengahalalkan segala cara, melakukan berbagai kebohongan, intimidasi dan ancaman untuk menyebarkan ajaran atau faham Fasisme. Hal itu dilakukan dalam rangka untuk memperluas, merebut dan mempertahankan kekuasaannya. Sejak itu istilah propaganda mendapatkan kesan negatif, dampaknya hingga saat ini istilah propaganda tidak mendapat tempat yang baik di hati masyarakat.
Sebenarnya bukan propagandanya yang salah, karena propaganda hanya sebagai alat komunikasi. Yang salah adalah untuk tujuan apa, dan dengan cara yang bagaimana propaganda itu diterapkan. Kita bahkan sering mendengar kalimat “jangan terlalu percaya, bisa jadi itu hanya propaganda mereka”, Film Amerika itu mengandung unsur propaganda Barat terhadap Islam”, “jangan mudah terkecoh dengan isu media, karena itu hanya sebagai propaganda belaka”. Semua kalimat itu menandakan bahwa propaganda identik dengan kebohongan dan manipulasi pesan. Jika ditinjau dari beberapa definisi para pakar maka unsur manipulasi pesan memang menjadi substansi dari istilah propaganda tersebut. Definisi Laswell misalnya yang mengatakan bahwa propaganda merupakan teknik mempengaruhi tindakan manusia melalui manipulasi representasi. Kata manipulasi bisa berarti sebagai sebuah kebohongan.
Karena identik dengan kebohongan, maka propaganda mendapatkan predikat negatif. Image buruk yang melakat pada propaganda seakan tidak bisa lagi diubah. Padahal secara sifat propaganda dibagi tiga yaitu Propaganda Putih, Propaganda Hitam dan Propaganda Abu-abu. Propaganda putih  adalah usaha mempengaruhi orang dengan menggunakan sumber yang jelas, jujur dan benar.  Propaganda putih berbeda dengan propaganda hitam yang mengandalkan kebohongan. Dengan demikian propaganda putih adalah salah satu propaganda yang menurut penulis masih wajar untuk digunakan dalam kegiatan dakwah Islam.

Propaganda dan Dakwah Islam
Istilah propaganda mulai ditelusuri pada masa Paus Gregorius XV tahun 1622, yang membentuk suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide sebuah (Majelis Suci Untuk Propaganda Agama). Komisi tersebut dibentuk sebagai upaya menyebarkan doktrin agama Katolik Roma. Propaganda berasal dari bahasa latin propagare artinya cara tukang kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan untuk memproduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan kata lain propaganda juga berarti mengembangkan atau memekarkan. (Nurudin, 2001:7). Santosa Sastropoetro  memberikan pengertian bahwa propaganda merupakan suatu penyebaran pesan yang terlebih dahulu direncanakan secara seksama untuk mengubah sikap, pandangan, pendapat dan tingkah laku dari komunikan sesuai dengan pola yang telah ditetapkan oleh komunikator yaitu propagandis.
Meskipun konsep awal propaganda digunakan untuk menyebarkan ajaran agama kristen, namun dalam perkembangannya propaganda juga digunakan sebagai upaya untuk meraih berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik, merebut kekuasaan, dan berbagai upaya serta usaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan menghalalkan segala cara. Bahkan dalam peperangan propaganda menjadi senjata paling menakutkan.
Bagaimana tidak, propaganda merupakan alat yang sangat ampuh karena khalayak sasaran seringkali, bahkan selalu tidak menyadari bahwa pesan yang disampaikan adalah sebuah pesan yang dirancang secara khusus untuk memanupulasi dirinya secara emosional demi kepentingan propagandis.
Propaganda pada dasarnya adalah baik, ibarat sebuah pisau dengan dua mata sisi. Jika pisau tersebut digunakan sebagai alat untuk menyembelih ayam dan menggunakan cara yang dianjurkan oleh Islam maka pisau tersebut dapat bermanfaat dan ayam bisa dikonsumsi dengan halal. Namun sebaliknya jika pisau digunakan untuk kejahatan misalnya membunuh orang, maka itu adalah satu keburukan. Awalnya, istilah propaganda memiliki pengertian yang netral, tidak menyangkut baik atau buruk, yang berarti menyebarkan atau penyebarluasan suatu informasi atau doktrin agama Kristen Katolik untuk mendapatkan respon masyarakat atau khalayak. Tetapi, selaras dengan perjalanan waktu, dengan berbagai kegiatan yang menggunakan propaganda sebagai alat untuk tujuan dan cara yang tidak baik menjadikannya berkonotasi negatif. Pesan-pesan propaganda dipandang sebagai kebohongan, manipulatif dan sebagai indoktrinasi.
Secara umum propaganda dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh si propagandis untuk menarik, membujuk dan mempengaruhi komunikan demi mendapatkan atau mencapai tujuan yang diharapkan oleh si propagandis. Jika tujuannya untuk kebaikan dan dilakukan dengan cara yang benar, maka jelas, hakikat propaganda pada dasarnya adalah baik. Namun seiring penggunaannanya dalam perang dan dengan cara yang kotor maka ia dipandang sebagai sesuatu yang negatif.
Ada istilah dalam Islam yang menurut penulis memiliki kesamaan dengan propaganda adalah dakwah. Keduanya sama-sama sebagai salah satu metode komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi dan mengubah sikap serta perilaku khalayak sasaran (masyarakat). Dalam perspektif komunikasi, propaganda dan dakwah termasuk dalam kategori komunikasi persuasif (persuasive communication), yakni komunikasi yang membujuk, mengajak, atau merayu. Semakna dengan makna dasar dakwah, yakni mengajak atau menyeru. Dakwah juga merupakan seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.
Dakwah Islam dilakukan dengan landasan Al quran sebagaimana dalam surat An Nahl ayat 125 “ serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Anjuran Allah untuk berdakwah dengan cara-cara yang baik dan hikmah merupakan substansi dari dakwah Islam. Berbeda dengan konsep propaganda yang identik dengan manipulasi dan distorsi Informasi.
Lantas apakah secara keseluruhan konsep propaganda itu semua berbau kebohongan? Ternyata tidak. Dari beberapa teknik propaganda yang sering digunakan ternyata ada beberapa teknik yang masih bisa dan wajar atau tidak salah untuk diadopsi dan diterapkan dalam kegiatan dakwah Islam. Sebagai contoh penggunaan teknik “Plain folk” untuk meyakinkan audiens bahwa mereka adalah bagian dari rakyat biasa sering digunakan dalam kampanye politik. Seperti kampanye Jokowi yang makan bersama rakyat kecil di kakilima, seakan menyatakan dirinya presiden wong cilik merupakan salah satu usaha propaganda untuk meraih simpati masyarakat kecil. Simpati diraih karena sudah tercipta situasi dan kondisi yang seakan-akan masyarakat terintegrasi dengan propagandis.
Dalam kegiatan dakwah, teknik ini bisa juga digunakan oleh para ulama, tengku dan Ustaz untuk senantiasa berbaur dengan masyarakat dalam usaha mendekatkan diri dengan masyarakat agar tercipta suasana keakraban dan tidak ada jarak pemisah. Dengan demikian akan terasa bahwa tengku juga bagian dari mereka yang akan didakwahkan. Rasulullah SAW sendiri berhasil dalam dakwahnya juga karena kepribadiannya yang begitu dekat dengan uamtnya.
Dakwah dan propaganda adalah sama-sama sebagai alat komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi dan mengubah pandangan seseorang terhadap sesuatu. Hanya saja dalam prakteknya, kegitan propaganda lebih dominan kepada manipulasi representasi. Sementara dakwah menjalankannya dengan prinsip hikmah dan mauidhah hasanah. Namun propaganda juga tidak selamanya negatif, ada sisi positif yang bisa diadopsi dalam dakwah Islam dengan penerapan tekni-teknik yang dikategorikan dalam White Propaganda. Akhirnya, propaganda sebenarnya masih bisa syahadatkan dengan konsep Islam meskipun pada awalnya digunakan oleh Kristen untuk menyebarkan ajarannya, atau bahkan digunakaan dengan cara kotor dan kejam dalam perang dunia. Namun dosa yang sebenarnya bukan pada istilah “propaganda” tapi pada siapa dan bagaimana dia diterapakan.

KOMUNIKASI ORGANISASI DAN MOTIVASI (Efesiensi-X dan Komunikasi) IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI


Komunikasi Organisasi Dan Motivasi (Efesiensi-X dan Komunikasi)
Dari semua isu dalam bidang komunikasi, menajemen, dan kepemimpinan, barang kali isu yang paling populer adalah motivasi. Motovasi menyangkut alasan-alasang mengapa orang mencurahkan tenafa untuk melakukan suatu pekerjaan. Pertanyaan yang telah lama menjadi teka-teki bagi para menejer adalah “mengapa sebagian orang bekerja keras, sedangkan yang lainnya bekerja sesedikit mungkin?” jawabannya terletak pada sejauh mana orang mau mengarahkan perilaku mereka kepada suatu tujuan.
Bidang ekonomi memusatkan pada penggunaan efesien sumber daya; namun, satu asumsinya adalah setidaknya hingga ditemukannya teori efesien-X oleh Leibenstein (1978) bahwa perusahaan atau organisasi secara internal efisien, yang berarti bahwa perusahaan atau organisasi itu menghasilkan keluaran (output) maksimal bagi seperangkat sumber daya tertentu (kadang-kadang disebut efisiensi teknis). Asumsi ini menimbulakn asumsi sampingan bahwa organisasi pasti meminimalkan biaya.
Teori efesiensi-X menolak asumsi yang terang-terangan bahwa organisasi berfungsi dengan efesiensi maksimal dan menganggap bahwa inefesiensi nonalokatif (versus inefesiensi alokatif yang berasal dari cara yang memungkinkan sumber daya di alokasikan diantara penggunaan-penggunannya yang bersaing) terjadi dalam organisasi. Karena efesiensi dan inefesiensi nonalokatif di abaikan atau tidak dapat di identifikasi dalam teori ekonomi, keduanya disebut efesiensi-X dan inefesiensi-X (atau tidak diketahui).
Perbedaan penting antara organisasi yang efesien-X dan yang tidak efesien-X terletak pada prinsip kebijaksanaan usaha pekerja (worker effort discretion) yang mengatakan bahwa kinerja pegawai bergantung pada seberapa baik mereka termotivasi, sedangkan teori ekonomi tradisional mengasumsikan bahwa usaha kerja adalah tetap. Dari sudut pandang ekonomi empat unsur kunci yang merupakan konsep usaha di tempat kerja: (1) aktivitas (A) yang merupakan pekerjaan seseorang, (2) kecepatan (K) melakukan aktivitas, (3) presisi (P) melakukan pekerjaan yang menghasilkan kualitas, dan (4) pola waktu (W) atau ritme melakukan pekerjaan.
Melalui proses penetapan pekerjaan (employment process), organisasi membeli waktu pegawai; sementara pekerjaan efesien membutuhkan usaha yang terarah yang tidak dibeli setidaknya secara tidak langsung. Inefisiensi-X berasal dari peluang yang belum dimanfaatkan yang disebabkan kurangnya motivasi dan perilaku yang tidak diarahkan terhadap pengurangan biaya. Inefesiensi-X menaikan biaya dan menurunkan produktivitas. Dalam rangka memfungsikan organisasi, kebanyakan inefesiensi-X mengganggu proses komunikasi antar individu dalam organisasi. Frantz (1988) menegaskan bahwa usaha yang diarahkan seorang individu dipengaruhi oleh kelompok sebaya dan penyelia orang tersebut, juga oleh tradisi dan sejarah organisasi.
Efesiensi-X diperoleh lewat hubungan vertikal yang menumbuhkan tekanan untuk berusaha lebih banyak, kepuasan individu dari mengindari pertengkaran tersebut, dan kepusan dari menerima persetujuan penyelia. Kebanyakan organisasi dapat melakukan usaha lebih banyak guna menghindari perselisihan yang tidak perlu dan untuk menerima penghargaan bagi suatu pekerjaan yang dilakukan dengan baik.
Hubungan horizontal menciptakan takanan dalamdua cara: (1) melalui norma sehingga semua anggota harus menanggung beban yang menjadi bagian mereka, setelah mana mereka bebas bekarja segiat mungkin, dan (2) norma sehingga individu bekerja sedikit yang mereka inginkan, namun mereka tidak boleh bekerja sedemikian giat sehingga membaut orang lain kelihatan buruk.

Perbedaan antara Penyelia dan Pegawai Mengenai apa yang memotivasi pekerjaan
Kovach (1980) menyatakan bahwa sikap pegawai dan faktor sebenarnya yang memotivasi pegawai barubah lebih capat dari pada kecepatan perubahan pengetahuan penyelia mengenai apa yang memotivasi pekerjaan. Untuk mendukung pernyataannya, Kovach mereplikasi kajian yhang dilakukan Labor Relations Institute - New York tahun 1946. Dalam penelitian itu penyelia lini pertama dan pegawai yang bekerja bagi mereka diminta mengurutkan sepuluh hal yang memberikan motivasi kepada mereka dalam bekerja. Hasilnya menunjukan bahwa terdapat suatu kesenjangan antara apa yang diinginkan pegawai dari pekerjaan mereka dan apa yang di pikirkan penyalia mengenai keinginan pegawai.
Motivasi seseorang yang sesungguhnya (usaha yang diarahkan terhadap suatu tujuan) mungkin merupakan suatu fungsi harapan (ekspektasi)-nya bahwa suatu investasi energi tertentu akan menghasilkan pencapaian tujuan tertentu. Teori Vroom mengenai motivasi (expentancy theory of motivation) (1964) dapat menjelaskan bahwa apa yang orang hargai dan apa yang ia harapkan dapat mempengaruhi motivasi.

Teori Motivasi
Istilah “motivasi” merujuk kepada kondisi dasar yang mendorong tindakan. Satu perangkat teori menganggap kekurangan kebutuhan sebagai kondisi pendorong yang menimbulkan predisposisi tertentu untuk berperilaku. Sementara suatu teori lain menganggap harapan dalam lingkungan sebagai menimbulkan bentuk-bentuk tertentu tujuan dan tindakan yang mengikutinya; teori ketiga menganggapan persepsi atas tempat kerja sebagai menimbulkan bentuk-bentuk tertentu potensi yang mendorong tindakan.
Teori Defisiensi Motivasi
Teori Hirarki
Maslow (1943, 1954) mengemukakan bahwa kebutuhan kita terdiri dari lima kategori: fisiologi; keselamatan atau keamanan; rasa memiliki (belolingness) atau sosial; penghargaan; dan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini menuntut Maslow berkembang dalam suatu urutan hierarkis, dengan kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling kuat (prepotent) hingga terpuaskan. Kebutuhan ini mempunyai pengaruh atas kebutuhan-kebutuhan lainnya selama kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Kebutuhan fisiologi menuntut pemenuhan sebelum semua kebutuhan lainnya. Meskipun demikian, suatu kebutuhan pada urutan lebih rendah tidak perlu terpenuhi secara lengkap sebelum kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi menjadi aktif, seperti yang di tunjukan oleh garis-garis yang tumpang tindih dalam bentuk sepiral.
Lima perangkat kebutuhan yang tersusun dalam suatu tatanan hierarkis, dimana kebutuhan fisiologis berada pada urutan lebih bawah, keselamatan dan keamanan berikutnya, kebutuhan akan rasan memiliki (belonging) di tengah, penghargaan (esteem) lebih tinggi, dan kebutuhan akan aktualisasi diri berada pada urutan paling atas.
Teori ERG
Alderfer (1972) mengemukakan tiga kategori kebutuhan. Ketiga kebutuhan tersebut adalah existence (E) atau eksistensi, relatedness (R) atau ketertarikan, dan growth (G) atau pertumbuhan. Eksistensi meliputi kebutuhan fisiologis seperti rasa lapar, rasa haus, dan seks, juga kebutuhan materi seperti gaji dan lingkungan kerja yang menyenangkan. Kebutuhan akan ketertarikan menyangkut hubungan dangan orang-orang yang penting bagi kita, seperti anggota keluarga, sahabat, dan penyelia di tempat kerja. Kebutuhan akan pertumbuhan meliputi keinginan kita untuk produktif dan kreatif dengan mengerahkan segenap kesanggupan kita.
Teori Kesehatan Motivator
Harzberg (1966) mencoba menentukan faktor-faktor apa yang mempengaruhi motivasi dalam organisasi. Ia menemukan dua perangkat kegiatan yang memuaskan kebutuhan manusia: (1) kebutuhan yang berkaitan dangan kepuasan kerja dan (2) kebutuhan yang berkaitan dengan ketidak puasan kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja disebut motivator. Ini meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, kemajuan atau promosi, pekerjaan itu sendiri, dan potensi bagi pertumbuhan pribadi.
Faktor-faktor yang berkaitan dangan ketidakpuasan disebut faktor-faktor pemeliharaan (maintenance) atau kesehatan (hygiene), dan meliputi gaji, pengawasan, keamanan kerja, administrasi, kebijakan organisasi dan hubungan antarpribadi dengan rekan kerja, atasan, dan bawahan di tempat kerja.
Motivasi berkaitan dengan kepuasan kerja namun tidak dengan ketidakpuasan kerja. Faktor kesehatan berkaitan dengan ketidakpuasan kerja namun tidak dengan kepuasan kerja. Jadi untuk memelihara atau tetap memiliki pegawai, menejer harus memusatkan perhatian pada faktor-faktor kesehatan; namun untuk mrmbuat pegawai bekerja lebih keras, menejer harus memusatkan perhatian pada motivator
Perbandingan ketegori kebutuhan Maslow, Alderfer, dan Harzberg
Banyak kemiripan diantara ketiga cara menjalaskan motivasi tersebut. Setiap sistem menggambarkan aktualisasi diri, pertumbuhan, dan motivator dengan istilah-istilah yang serupa. Faktor pemeliharaan dan keamanan juga untuk memuaskan kebutuhan eksistensi. Hubungan antar pribadi dan pengawasan dapat dianggap cara-cara untuk memenuhi keterkaitan, kebutuhan rasa memiliki, dan kebutuhan penghargaan.

Teori Harapan dan Motivasi
Teori Harapan
Vroom (1964) mengembangkan sebuah teori motivasi berdasarkan jenis-jenis pilihan yang dibuat orang untuk mencapai suatu tujuan, alih-alih berdasarkan kebutuhan internal. Teori harapan (expentacy theory) memiliki tiga asumsi pokok.
1)      Setiap individu percaya bahwa bila ia berperilaku dengan cara tertentu, ia akan memperoleh hal tertentu. Ini disebut sebuah harapan hasil (out come expectancy)
2)      Setiap hasil mempunyai nilai, atau daya tarik bagi orang tertentu. Ini disebut valensi (valence).
3)      Setiap hasil berkaitan dengan suatu persepsi mengenai seberapa sulit mencapai hasil tersebut. Hal ini disebut harapan usaha (effort expextancy)
Analisis Nadler dan Lawler (1976) atas teori harapan menyarankan beberapa cara tertentu yang memungkinkan manajer dan organisasi menangani urusan mereka untuk memperoleh motivasi maksimal daripada pegawai:
1)      Pastikan jenis hasil atau ganjaran yang mempunyai nilai bagi pegawai.
2)      Definisikan secara cermat, dalam bentuk perilaku yang dapt diamati dan diukur apa yang diinginkan dari pegawai.
3)      Pastikan bahwa hasil tersebut dapat dicapai oleh pegawai.
4)      Kaitkan hasil dengan tingkat kinerja yang diinginkan.
5)      Pastikan bahwa ganjaran cukup besar untuk memotivasi perilaku yang penting.
6)      Orang berkinerja tinggi harus menerima lebih banyak ganjaran yang diinginkan dari pada orang yang berkinerja rendah.

Teori Persepsi Tentang Motivasi
Harapan
Reid dan Evans (1983) mengamati, bahwa “orang-orang memulai karier mereka dengan harapan akan terus menerus dipromosikan”. Karena kita hidup dan bekerja dalam organisasi, janji-janji ditepati dan diingkari, masing-masing menghasilkan harapan yang terpenuhi dan tak terpenuhi. Harapan menggambarkan apa yang akan orang pikirkan mengenai apa yang terjadi pada mereka. Janji adalah jaminan yang menimbulkan harapan.
Hallriegel, Slocum dan Woodman (1986) menyarankan bahwa “kelelahan” diantara para pegawai profesional berhubingan dengan mempunyai “harapan yang tidak realistik mengenai pekerjaan mereka dan kemampuan mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan, berdasarkan situasi tempat merekaberada”.
Pemenuhan
Pemenuhan (fulfillment) dalam kerja menunjukan bahwa pegawai merasa bahwa mereka telah mampu mendifinisikan diri mereka sendiri sesuai dengan keinginan mereka dan diterima. Apa yang telah mampu mereka lakukan menunjukan bahwa janji organisasi dan harapan pegawai telah terwujud dan bahwa kehidupan seorang sangat memuaskan. Pemenuhan dan harapan bergandengan bersama.
Fromm (1955) menjelaskan, bahwa ketidak puasan atas pekerjaan akan dipahami secara memadai hanya dengan membedakan antara apa yang orang pikirkan secara sadar mengenai kepuasan, dan apa yang mereka rasakan secara tidak sadar mengenai kepuasan dengan pekerjaan.
Wenburg dan Williamson (1981) mengartikulasikan tujuan pekerja ketika mereka berkata: “menggunakan keterampilan bermutu tenggung jawab-diri, komitmen, kemampuan mengenyahkan kebiasaan mental yang menjadi kendala, bersedia mengambil resiko positif—sekadar mengembangkan keterampilan untuk memberikan diri kita menjalankan hidup dengan hadirnya pemenuh—bukan hanya tidak adanya penderitaan”.
Pencarian akan pemenuhan dalam semua aspek eksistensi seseorang telah di dokumentasikan oleh Yankelovich (1982) dalam laporannya mengenai perubahan kultural yang terjadi di Amerika Serikat sejak tahun 1960-an. Ia menerangkan bahwa “pencarian akan pemenuhan-diri menimbulkan suatu revolusi budaya baru ... pencarian akan pemenuhan-diri mengawali suatu kisah baru karena ia memperkenalkan makna baru penting kedalam budaya kita, berkisar di sekitar perjuangan untuk mengurangi pengaruh kekuatan instrumental dalam kehidupan kita dan meninggikan unsur yang sakral/ekspresif. Kebebasan yang dikejar pencari pwmwnuhan-diri ... adalah kebebasan untuk memilih kehidupan seseorang berdasarkan rancangannya sendiri.
Peluang
Peluang (opportunity) mungkin merupakan unsur paling kuat dari empat uneur yang mempengaruhi vitalitas kerja karena ia mempunyai konsekwensi yang secara potensial merusak bila tidak hadir.
Untuk membuka peluang, kita harus menciptakan kondisi yang mendukung untuk melakukan segala sesuatu yang ingin kita lakukan. Abel (1971) menemukan, untuk mengisi suatu jabatan dengan sukses dalam organisasi yang ia teliti, pelamar perlu mematuhi norma-norma tertentu dan menunjukan kecenderungan gaya. Gaya tersebut meliputi kepercayaan-diri, keceriaan, ketegasan dan kemandirian.
Untuk menekankan betapa penting peluang bagi kehidupan seorang pegawai, kami akan membahas lima kategori prilaku (Kanter, 1976; Wheatley, 1981) yang di pengaruhi oleh peluang dalam organisasi—secara positif bila peluang ada dan secara negatif bila peluang tidak ada.
a.       Penghargaan-diri (self-esteem). Setiap pegawai rentan terhadap perubahan dalam penghargaan-diri melalui citra yang ia peroleh dari tanggapan orang lain. Mereka yang menerima citra positif mengenai kemampuan mereka melalui komentar dan ganjaran akan menilai diri mereka sendiri lebih tinggi.
b.      Aspirasi. Peluang juga mempengaruhi aspirasi seseorang pegawai atau prestasi yang diinginkan.bila organisasi mendorong dan memberi ganjaran atas tindakan yang mendukung tujuan tertentu, pegawai cenderung mengembangkan aspirasi untuk mencapai tujuan tersebut.
c.       Komitmen. Peluang juga mempengaruhi sejauh mana komitmen pegawai terhadap organisasi. Mereka yang mengalami pertumbuhan pribadi dan penghargaan cenderung menaruh perasaan positif kepada organisasi.
d.      Energi. Pegawai yang peluangnya terhalang cenderung berpaling kepada rekan kerja dan sahabat untuk memperoleh kenyamanan dan penghargaan. Pegawai yang melihat peluang yang tinggi merespon penghargaan atas nilai mereka dengan lebih memperhatikan tugas dan lebih sedikit mencurahkan waktu untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan penyelesaian pekerjaan.
e.       Pemecahan masalah. Pegawai yang punya peluang tinggi cenderung proaktif dalam menangani masalah dalam pekerjaan mereka dalam organisasi.
Kinerja
Kegiatan yang paling lazim dinilai dalam suatu organisasi adalah kinerja pegawai, yakni bagaimana ia melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang berhubungan dengan suatu pekerjaan, jabatan, dan peranan dalam organisasi. Dua jenis perilaku atau tugas pekerjaan mencakupunsur-unsur penting kinerja pekerjaan: tugas fungsional dan tugas perilaku. Tugas fungsional berkaitan dengan seberapa baik seorang pegawai menyelesaikan seluk beluk pekerjaan, termasuk terutama penyelesaian aspek-aspek teknis pekerjaan tersebut. Tugas perilaku berkaitan dengan seberapa baik pegawai menangani kegiatan antarpersona dengan anggota lain organisasi, termasuk mengatasi konflik, mengola waktu, memberdayakan orang lain, bekerja dalam sebuah kelompok, dan bekerja secara mandiri.
Swanson dan Gradous (1986) menjelaskan bahwa “dalam sistem, berapapun ukurannya, semua pekerjaan saling berhubungan. Hasil dari seperangkat kinerja pekerjaan adalah masukan bagi usaha kinerja lainnya”. Gilbert (1978) berpendapat sebaliknya, bahwa kinerja pada dasarnya adalah produk waktu dan peluang. “peluang tanpa waktu untuk mengejar peluang tersebut bukan apa-apa. Dan waktu, yang tidak kita miliki yang tidak memberi peluang bahkan memiliki lebih sedikit nilai.
Dalam konteks vitalitas kerja dalam suatu organisasi, pandangan Gilbart mengenai kerja sangat konsisten dengan apa yang kita anggap penting untuk memberdayakan pekerja. Untuk bekerja secara cakup, pekerja membuat prestasi yang bernilai bagi organisasi seraya mengurangi biaya untuk mencapai tujuan. Gilbert menjelaskan bahwa banyak energi atau pekerjaan, yang dirangkaikan dengan banyak pengetahuan dan diterapkan dengan antusiasme yang tinggi, tanpa prestasi yang sebanding, menggambarkan kinerja yang tidak layak, dan mencampur adukan “bajak (perilaku) dengan benih (prestasi).

Iklim Komunikasi Organisasi
Iklim Organisasi
Istilah “iklim” disini merupakan kiasan (metafora). Frase “iklim komunikasi organisasi”menggambarkan suatu kiasan bagi iklim fisik. Iklim fisik terdiri dari kondisi-kondisi cuaca umum mengenai suatu wilayah. Iklim komunikasi dipihak lain, merupakan gabungan dari persepsi-persepsi mengenai suatu peristiwa komunikasi, perilaku manusia, respon pegawai terhadap pegawai lainnya, harapan-harapan, konflik-konflik antarpersona, dan kesempatan bagi pertumbuhan dalam organisasi tersebut. Iklim komunikasi berbedan dengan iklim organisasi dalam arti iklimkomunikasi meliputi persepsi-persepsi mengenai pesan dan peristiwa yang berhubungan dengan pesan yang terjadi dalam organisasi.
Redding (1972) menyatakan bahwa “iklim (komunikasi) organisasi jauh lebih penting dari pada keterampilan atau teknik-teknik komunikasi semata-mata dalam menciptakan suatu organisasi yang efektif. Iklim komunikasi penting karena mengaitkan konteks organisasi dengan konsep-konsep, perasaan-perasaan dan harapan-harapan anggota organisasi dan membantu menjelaskan perilaku anggota organisasi.
Poole (1985) menjelaskan bahwa “secara keseluruhan, tampaknya iklim lebih merupakan sifat budaya daripada merupakan suatu pengganti budaya. Sebagai suatu sistem kepercayaan yang digeneralisasikan, iklim berperan dalam keutuhansuatu budaya dan membimbing perkembangan budaya tersebut. Iklim komunikasi merupakan suatu citra mikro, abstrak dan gabungan dari suatu fenomena global yang disebut komunikasi organisasi. Kita mengasumsikan bahwa iklim berkembang dari interaksi antara sifat-sifat suatu organisasi dan persepsi individu atau sifat-sifat itu. iklim dipandang sebagai suatu kualitas pengalaman subjektif yang berasal dari persepsi atas karakter-karakter yang relatif langgeng pada organisasi.
Iklim komunikasi organisasi terdiri dari persepsi-persepsi atas unsur-unsur organisasi dan pengaruh unsur-unsur tersebut terhadap komunikasi. Pengaruh ini didefinisikan disepakati dikembangkan dan dikokohkan secara berkesinambungan melalui interaksi dengan anggota organisasi lainnya.
Unsur-unsur Dasar Organisasi
Suatu iklim komunikasi berkembang dalam konteks organisasi. Unsur-unsur dasar yang membentuk suatu organisasi dapat diringkaskan menjadi lima kategori besar:
Anggota Organisasi. Dipusat organisasi terdapat orang-orang yang melaksanakan pekerjaan organisasi. Orang-orang yang membentuk organisasi terlibat dalam beberapa kegiatan primer. Mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemikiran yang meliputi konsep-konsep, penggunaan bahasa, pemecahan masalah, dan pembentukan gagasan. Mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan perasaan yang mencakup emosi, keinginan, dan aspek-aspek perilaku manusia lainnya yang bukan aspek intelektual. Mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan self moving yang mencakup kegiatan fisik yang besar maupun terbatas. Terakhir, mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan elektrokimia, yang mencangkup brain synaps (daerah kontak otak tempat impuls saraf ditransmisikan hanya ke satu arah), kegiatan jantung, dan proses-proses metabolisme.
Pekerjaan dalam organisasi
Pekerjaan yang dilakukan anggota organisasi terdiri dari tugas-tugas formal dan informal. Tugas-tugas ini menghasilkan produk dan memberikan pelayanan organisasi. Pekerjaan ini ditandai tigadimensi universal: isi, keperluan, dan konteks.
Praktik-praktik pengelolaan
Kegiatan seorang manajer telah dijelaskan dalam berbagai cara. Pertama, telah dicapai beberapa konsesnsus disekitar gagasan bahwa para manajer melaksanakan lima fungsi utama: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan kepegawaian, pengarahan dan pengendalian. Kedua, beberapa bukti menyatakan bahwa manajer melaksanakan sekitar sepuluh peranan dasar yang terbagi menjadi tiga kelompok dasar: (1) peranan antar persona (2) peranan yang berhubungan dengan informasi (3) peranan yang memerlukan ketegasan.
Struktur organisasi.
Struktur organisasi merujuk pada hubungan-hubungan antara “tugas-tugas yang dilaksanakan oleh anggota-anggota organisasi”. Dtruktur organisasi ditentukan oleh tiga variabel kunci: kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi
kompleksitas,
formalisasi dan
sentralisasi
Pedoman organisasi
Pedoman organisasi adalah serangkaian pernyataan yang mempengaruhi, mengendalikan dan memberi arahan bagi anggota organisasi dalam mengambil keputusan dan tindakan. Pedoman organisasi sendiri terdiri atas pernyataan-pernyataan seperti cita-cita, misi, tujuan, strategi, prosedur dan aturan.
Pemahaman Unsur-Unsur Organisasi
Unsur-unsur dari organisasi (anggota, pekerjaan, praktik-praktik yang berhubungan dengan pengelolaan, struktur dan pedoman) dipahami secara selektif untuk menciptakan evaluasi dan reaksi yang menunjukan apakah yang dimaksud oleh setiap unsur dasar tersebut dan seberapa baik unsur-unsur ini beroperasi bagi kebaikan anggota organisasi.
Iklim komunikasi organisasi merupakan fungsi kegiatan yang terdapat dalam organisasi untuk menunjukan kepada anggota organisasi bahwa organisasi tersebut mempercayai mereka dan memberi mereka kebebasan dalam mengambil resiko; mendorong mereka dan memberi mereka tanggung jawab dalam mengerjakan tugas-tugas mereka; menyediakan informasi yang terbuka dan cukup tentang organisasi; mendengarkan dengan penuh perhatian serta memperoleh informasi yang dapat dipercaya dan terus terang dari anggota organisasi sehingga mereka dapat melihat bahwa keterlibatan mereka penting bagi keputusan–keputusan dalam organisasi; dan menaruh perhatian pada pekerjaan yang bermutu tinggi dan memberi tantangan.

MAKALAH KODE ETIK JURNALISTIK


Kode Etik Jurnalistik

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Pada era hukum pers yang mengacu pada UU no 40 tahun 1999 ini, sejumlah kasus hokum terjadi di Indonesia. Beberapa kasus hokum itu dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk mantan Presiden Soeharto yang menggugat majalah Time dari Amerika Serikat. Pun kasus-kasus lain yang menimpa sejumlah media massa, baik nasional, regional maupun lokal. Hingga saat ini, hampir semua keputusan hakim mengacu pada UU No 40 tahun 1999 terkait gugatan yang diajukan kepada media massa. Di mana sebagian besar media massa yang telah menjalankan kode etik jurnalistik dan mematuhi UU No 40 tahun 1999 ini memenangkan gugatan.
Kode (Inggris: code, dan Latin: codex) adalah buku undang-undang kumpulan  sandi dan kata yang disepakati dalam lalu lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat. Etik atau etika merupakan moral filosofi filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI etika mengandung arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Moral adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani  Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hukum pers di indonesia ?
2.      Bagaimana masa depan hukum pers di indonesia ?
3.      Apa pengertian kode etik jurnalistik?
4.      Mengapa diperlukan kode etik jurnalistik bagi para jurnalis. ?
5.      Apa saja ciri-ciri kode etik jurnalistik  ?
6.      Manfaat apa saja yg ada pada kode etik jurnalistik?

BAB II
PEMBAHASAN
A.     HUKUM PERS DI INDONESIA
Dasar hukum penerbitan pers di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang yang ditandatangani presiden BJ Habibie pada 23 September 1999 ini berisi 10 bab dan 21 pasal. UU No 40 tahun 1999 ini merupakan pengganti dari UU No 21 tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1967. UU No 21 tahun 1982 ini ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 20 September 1982. Sedangkan UU No 11 tahun 1966, yang berisi 21 pasal ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Desember 1966.
Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” ini menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan kemerdekaan pers. Seperti tercatat dalam dictum menimbang UU No 40 tahun 1999, bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Dalam persfektif sejarah, pengakuan dan perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah dimulai sejak deklarasi Magna Charta (1215). Terkait bidang pers, secara eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia Bill of Right, 15 Mei 1776 tentang Kemerdekaan Persuratkabaran, yang kemudian dimasukkan ke dalam konstitusi Amereka Serikat (1787). Pada tahun 1789, Piagam Virginia itu diadopsi pula oleh Perancis menjadi Declaration de droits de l’homme et du citoyen.
Perjalanan pers di Indonesia sendiri tidak hanya terpaku pada undang-undang yang mengatur tentang pers saja. Artinya tidak tergantung pada keberadaan undang-undang yang menjadi dasar penerbitan pers. Tetapi keberadaan pers telah berjalan seiring perjalanan sejarah itu sendiri. Awal-awal kemunculan media massa atau surat kabar di Eropa pun mungkin belum diatur secara khusus oleh undang-undang tentang pers. Namun dalam perjalanannya sampai sekarang, masing-masing negara telah memiliki udang-undang atau peraturan yang mengatur tentang pers, termasuk di Indonesia.
Pada awal-awal perjalanan pers di Indonesia, yakni pada massa penjajahan Belanda, maka hukum yang dipakai adalah Wetboek van Straftrecht atau Buku Hukum Siksa Hindia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hukuman bagi para pejuang pers saat itu. Seperti yang dialami Mas Arga pemimpin redaksi, Hoofdredacteur Pertja Selatan di Palembang pada tahun 1927. Mas Arga terjerat dua delik pers karena mengkritik keras pemerintah colonial Belanda. Ia menurunkan artikel-artikel tentang pemberontakan komunis tahun 1926-1927. 
Selain itu, koresponden daerah Uluan untuk Pertja Selatan, M. Noer juga dijerat pasal 153 bis dan ter dalam Buku Hukum Siksa Hindia atau Wetboek van Straftrecht. Sebuah artikel yang berjudul “B.B. Matjan” yang terbit pada tanggal 20 Juli 1932 dianggap telah menyinggung tindakan sewenang-wenang anggota Binnelandsch Bestuur (BB) daerah Muara Dua Palembang. Ia diajukan ke muka siding Landraad dan dihukum dua bulan penjara.
Selain itu, salah seorang redaktur Pertja Selatan, Paman Lengser, nama samaran Nungtjik, juga berkali-kali diperiksa Dinas Intelijen Belanda (PID). Dia dianggap membangkitkan perlawanan rakyat karena membuat resensi buku tentang perang, yang dianggap bacaan liar, terlarang. Pada tahun 1938, Nungtjik juga diperiksa polisi kolonial Belanda, karena dianggap mencemarkan nama baik Tan Sio Sak, seorang reserse staatpolitie Palembang. Dia dihadapkan ke Landraad dan diajtuhi hukuman denda sebesar Rp 25.
Selain kasus-kasus tersebut, juga banyak terjadi pada surat kabar-surat kabar lainnya. Banyak di antara para pejuang pers itu yang masuk penjara dan akhirnya surat kabarnya tutup dan tidak terbit lagi. Di mana sebagian besar surat kabar yang diterbitkan pribumi itu adalah surat kabar perjuangan untuk menuju kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1945 misalnya, terbit Koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Merdeka di Jakarta. Koran-koran tersebut menyampaikan berita seputar perjuangan merebut kemerdekaan hingga berita proklamasi kemerdekaan.
Pemerintah kolonial Belanda sangat mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Karena itu mereka memandang perlu membuat undang-undang untuk membendung pengaruh pers Indonesia, karena merupakan momok yang harus diperangi.  Menurut Suruhum, pemerintah kolonial Belanda selain mengeluarkan Wetboek van Straftrecht (KUHP), juga mengeluarkan  aturan yang bernama Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar atau majalah Indonesia yang dianggap berbahaya. Pemerintah kolonial Belanda juga mengeluarkan peraturan yang bernama Haatzai Artekelen, yaitu berisi pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Netherland dan Hindia Belanda, serta terhadap sejumlah kelompok penduduk Hindia Belanda.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, selain Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Merdeka di Jakarta, juga muncul media lainnya seperti Waspada di medan pada 1947, Pedoman di Jakarta pada 1948, Indonesia Raya di Jakarta pada 1949, Suara Merdeka di Semarang pada 1950. Pada tahun antara 1950-1959 banyak muncul media partisan, yang didirikan partai-partai politik yang ada. Pada tahun 1958 Indonesia Raya diberedel dan Pemimpin Redaksinya masuk-keluar tahanan sejak 1956. Pada tahun 1965, Harian Rakyat dan 46 koran yang berhaluan kiri diberedel Angkatan Darat.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang sudah bebas dari koran yang berideologi kiri, masih saja, bahkan semakin banyak koran yang diberedel, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1967, yang kemudian diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982. Pada tahun 1974 Soeharto mencabut Surat Izin Terbit (SIT) 11 penerbitan Koran, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Nusantara, Harian Kami, The Jakarta Times. Kemudian pada 1978 Presiden Soeharto juga menutup sementara 7 koran, termasuk Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita. Pada 1994 Soeharto mencabut SIUPP majalah Tempo.
Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, kebebasan pers kembali diberikan. Yakni dengan diterbitkannya UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Adanya sensor oleh pemerintah dihabpus, dan perizinan ditiadakan bagi pers cetak.
Pada era hukum pers yang mengacu pada UU no 40 tahun 1999 ini, sejumlah kasus hokum terjadi di Indonesia. Beberapa kasus hokum itu dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk mantan Presiden Soeharto yang menggugat majalah Time dari Amerika Serikat. Pun kasus-kasus lain yang menimpa sejumlah media massa, baik nasional, regional maupun lokal. Hingga saat ini, hampir semua keputusan hakim mengacu pada UU No 40 tahun 1999 terkait gugatan yang diajukan kepada media massa. Di mana sebagian besar media massa yang telah menjalankan kode etik jurnalistik dan mematuhi UU No 40 tahun 1999 ini memenangkan gugatan.
Sebelum gugatan di pengadilan dilakukan pihak-pihak tertentu, gugatan atau pun pengaduan dapat disampaikan kepada Dewan Pers, seperti yang tertuang dalam pasal 15 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Di mana Dewan Pers dalam pasal tersebut memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Kemudian mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan dan mendata perusahaan pers.
Selain itu Dewan Pers juga membuat Peraturan-Peraturan Dewan Pers, yang berkaitan dengan sejumlah standar pengelolaan pers. Di antaranya adalah Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Profesi Wartawan, Standar Organisasi Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan.
Dewan Pers juga membuat Peraturan Dewan Pers terkait dengan sejumlah pedoman yang harus menjadi pegangan setiap insane pers dan masyarakat. Di antaranya Pedoman Penyebaran Media Cetak Khusus Dewasa, Pedoman Hak Jawab, Keterangan Ahli Dewan Pers, Pedoman tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Perkara Jurnalistik, Pedoman Pemberitaan Media Siber dan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan. Dewan Pers dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers juga membuat nota kesepahaman dengan sejumlah lembaga tinggi Negara, yakni Polri dan Kejaksaan Agung.
Persoalan-persoalan hokum hingga saat ini masih terjadi dalam dunia jurnalistik, baik masalah pidana maupun perdata. Beberapa pihak yang merasa dirugikan atau dicemarkan oleh media massa masih banyak yang melakukan aduan delik pers maupun gugatan perdata di pengadilan. Hal ini dikarenakan dalam UU No 40 tahun 1999 tidak diatur masalah sanksi pidananya. Namun terkait dengan pidana, masih tetap merujuk pada KUHP. Jika pers dianggap mencemarkan nama baik seseorang selain melanggar KEJ dapat dituntut sebagai tindak pidana pencemaran nama baik secara tertulis (press libel/smaadschrift) yang diatur dalam pasal 310 ayat (2) KUHP yang berbunyi: “Jikalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum maka yang bersalah karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Dalam kasus-kasus hokum seperti ini, Dewan Pers sudah berusaha melindungi para pelaku dunia pers. Sebelum ke pengadilan, masyarakat bisa mengadukan kasus itu ke Dewan Pers dan jika tidak puas bisa melanjutkan ke pengadilan. Namun diharapkan, dengan media Dewan Pers, antara penggungat dan pers bisa ditemukan solusi yang terbaik, tanpa harus melalui pengadilan. Namun dalam prakteknya, masih banyak insan pers yang dipidanakan karena beritanya. Hal-hal seperti inilah yang dianggap menjadi salah satu ancaman dari kebebasan atau kemerdekaan pers di era demokrasi.
Dan perlu diketahui pula, bahwa ketentuan tentang delik pers sebagaimana dimaksud dalam pasal 154 dan 155 KUHP dibuat sangat ketat dan karenanya banyak dikaitkan dengan ketentuan Hatzaai Artikelen (HA) atau pasal-pasal penyebar kebencian dalam KUHP, kini sudah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007. Sementara itu, sesuai pasal 1372 KUH Perdata yang berbunyi: “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik”, dapat digugat dengan tetap mengacu pasal 310 ayat (2) KUHP. Dengan adanya kasus ini, sehingga dalam penerapan standar jurnalisme yang baik, pers harus memberitakan secara berimbang (cover both sides), obyektif, dan akurat.
1.      Masa Depan Hukum Pers Di Indonesia
Kemerdekaan dan kebebasan pers yang telah diberikan pemerintah melalui UU No 40 tahun 1999 tentang pers, ternyata masih menimbulkan tanda tanya bagi masa depan pers di Indonesia. Selain belum secara tegas dalam pengaturan informasi yang beredar di masyarakat, khususnya media online, juga masih adanya kasus pidana yang menggunakan dasar KUHP. Belum lagi media massa partisan dan kecenderungan kepemilikan media massa oleh para pemodal besar. Kondisi seperti sudah mulai terlihat secara langsung di tengah kondisi masyarakat yang semakin kritis terhadap media massa. Persaingan yang tidak tidak sehat di antara media massa yang kepemilikannya berbeda dalam ideology, sangat mempengaruhi isi dan materi berita yang ditayangkan. 
Kondisi ini dirasakan betul oleh mereka yang terlibat langsung dalam proses penerbitan berita, khususnya para wartawan. Mereka berada pada posisi yang dilematis, antara kepentingan pemilik modal dari perusahaan persnya dengan kepentingan masyarakat. Posisi dilematis ini dirasakan di hampir semua media massa, baik cetak, elektronik maupun online. Seperti diketahui, kepentingan pemilik modal adalah bagaimana media massa yang didirikan itu mampu menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga paling tidak mampu membayar gaji para wartawannya dengan layak. Tanpa keuntungan itu, maka media massa tersebut  terancam bangkrut dan para karyawan dan wartawan akan kehilangan pekerjaannya. Sementara para wartawan yang memiliki visi idealis sebagai penyambung lidah rakyat, harus terkendalan dengan kepentingan pemilik modalnya.
Dalam hal ini, posisi Dewan Pers, sebagai lembaga yang berfungsi melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain menjadi tidak efektif. Karena justru pemilik modallah yang menjadi batu sandungan dari kemerdekaan per situ sendiri. Apalagi banyak pemilik modal perusahaan pers yang bergabung dengan kekuasaan atau sebaliknya, menjadi oposisi bagi kekuasaan itu sendiri. Sehingga seringkali terlihat, antara satu media dengan media yang lain berbeda pendapat dalam suatu pemberitaan. Masyarakat menjadi antipasti terhadap media, jika kondisi ini terus terjadi. Belum lagi media abal-abal, yang tidak jelas sumber dan datanya, yang sering banyak di-share di media sosial. Banyak di antara masyarakat yang terjebak pada kondisi ini. Bahkan perang opini antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sangat luar biasa, akibat mendapat informasi yang berbeda dari media yang berbeda pula.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers beberapa kali muncul wacana untuk direvisi. Ada pro dan kontra terkait revisi itu, karena ada kekuatiran dari berbagai pihak yang pro dan kontra tersebut. Mereka yang pro revisi, berharap agar undang-undang tentang pers ini lebih tegas dan mendukung penuh kebebasan pers. Namun mereka yang kontra, justru kuatir revisi undang-udang ini akan mengekang dan mengurangi kebebasan pers yang sudah dianggap cukup baik ini.
Pro dan kontra itu sebenarnya tidak perlu terjadi, jika masing-masing pihak, baik dari eksektuf, legilatif, pemilik modal media massa dan wartawan selaku praktisi di lapangan, memiliki komitmen yang sama untuk tetap menjunjung tinggi kemerdekaan pers. Namun di sisi lain, juga ada komitmen untuk menjadi media massa yang bertanggung jawab. Masing-masing harus duduk bersama, membahas bersama apa kelemahan dari undang-undang yang sudah ada ini, dana apa kelebihan yang harus dipertahankan dari undang-undang tentang pers ini.
Selain itusebenarnya ada langkah-langkah alternatif, selain melakukan revisi undang-undangan tentang pers. Yakni menguatkan lembaga Dewan Pers yang ada, dengan memberikan kewenangan yang lebih luas atas peran dan fungsi lembaga tersebut. Selama ini, peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan yang dibuat dan dikeluarkan Dewan Pers, masih belum efektif dalam menyelesaikan suatu persoalan yang muncul. Peraturan-peraturan yang dibuat Dewan Pers, belum mampu mengikat semua pihak yang berhubungan dengan dunia pers. Termasuk di kalangan Polri, Kejaksaan dan Pengadilan. Masing-masing masih mempunyai sikap yang berbeda dalam menangani kasus pers.
Penguatan lembaga Dewan Pers perlu dilakukan, agar peraturan-peraturan yang dibuatnya mampu menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan. Baik di lingkungan pers itu sendiri, masyarakat pers dan pemerintah. Seperti halnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh kementerian maupun lembaga non-kementerian, yang mampu mengikat dan menjadi dasar pelaksanaan lembaga di bawahnya. Dalam hal ini, Peraturan Dewan Pers belum diposisikan seperti itu.
Satu hal yang penting juga, sebenarnya persoalan hukum atau pun kasus tidak akan muncul ketika para wartawan telah bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik yang sudah ditetapkan Dewan Pers bersama dengan organisasi-organisasi wartawan. Kalaupun masih muncul gugatan dan ancaman pidana, jika para wartawan sudah menggunakan kode etik itu, pasti akan aman dan tidak tersandung kasus hukum.
B.     PENGERTIAN KODE ETIK JURNALISTIK
Kode (Inggris: code, dan Latin: codex) adalah buku undang-undang kumpulan  sandi dan kata yang disepakati dalam lalu lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat. Etik atau etika merupakan moral filosofi filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI etika mengandung arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Moral adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan demikian, kode etik jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan dan juga norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penertiban. Kode Etik jurnalistik ialah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawam dalam melaksanakan kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28 UUD 1945, yang merupakan landasan konstitusi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kemerdekaan mengeluarkan pikiran ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap insan wartawan, yang wajib di jungjung tingggi dan di hormati oleh semua pihak. Sekalipun kemerdekaan mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin konstitusi, mengingat negara kesatuan republik Indonesia ialah negara berdasarkan hukum, maka setiap wartawan wajib menegakan hukum, keadilan dan kebenaran dalam menggunakan haknya untuk mengaluarkan pikiran.
a.      Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan:
1)      Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2)      Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
3)      Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4)      Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut  namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5)      Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
6)      Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani  Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
  2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
  3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
  4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
  5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
  6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
  7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

Kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat.Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
b.      Mengapa Diperlukan Kode Etik Jurnalistik Bagi Para Jurnalis.
Kode Etik Jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, dan juga normal tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penerbitan.
Mengapa Perlu Kode Etik……?Kode etik jurnalistik diperlukan karena membantu para wartawan menentukan apa yang benar dan apa yang salah, baik atau buruk, dan bertanggung jawab atau tidak dalam proses kerja kewartawanan. Etika ditentukan dan dilaksanakan secara pribadi. Secara sederhana, kaidah etika dirujuk dari kode etik (code of ethics) yang bersifat normatif dan universal sebagai kewajiban moral yang harus dijalankan oleh institusi pers. Epitsemologi diwujudkan melalui langkah metodologis berdasarkan pedoman prilaku (code of conduct) yang bersifat praksis dan spesifik bagi setiap wartawan dalam lingkup lembaga persnya. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa malu dan bersalah (shamefully and guilty feeling) dari hati nurani. Karena itulah kode etik terkait dengan perkembangan dan pergeseran nilai masyarakat.

c.       Ciri-ciri Kode Etik Jurnalistik
Adapun ciri dari suatu kode etik adalah sebagai berikut :
1.      Kode etik mempunyai sanksi yang bersifat moral terhadap anggota kelompok tersebut
2.      Daya jangkau suatu kode etik hanya tertuju kepada kelompok yang mempunyai kode etik tersebut
3.      Kode etik dibuat dan di susun oleh lembaga / kelompok profesi yang bersangkutan sesuai dengan aturan organisasi itu dan bukan dari pihak luar.
Seorang jurnalis tidak boleh mencelakakan sumber berita, baik itu karena keterusterangannya yang konyol dan tolol maupun karena tidak tahu situasi dan kondisi sumber berita yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, kode etik jurnalistik sesungguhnya berfungsi sebagai berikut :
a.       Alat control social, yaitu tidak hanya megatur hubungan antara sesame anggota seprofesi, tetapi juga dapat juga mengatur hubungan antara anggota organisasi profesi tersebut dengan masyarakat.
b.      Mencegah adanya control dan campur tangan pihak lain, termasuk pemeritnah atau kelompok masyarakat tertentu.
d.      Manfaat Kode Etik Jurnalistik
Manfaat kode etik jurnalistik adalah memperlihatkan kepada publik suatu karya jurnalistik. Kode etik ini pula sebagai penuntun seorang wartawan dalam melakukan tugasnya, baik dalam peliputan suatu berita atau menulis dan menyiarkan berita tersebut. Dengan memiliki kode ini, maka wartawan dapat menimbang apakah tindakan yang dilakukannya benar atau salah, baik atau jahat, bertanggungjawab atau tidak. Ketaatan terhadap kode etik jurnalistik dapat dijadikan tolok ukur keprofesionalan warawan. Dengan demikian, seorang wartawan dapat dikatakan professional jika ia menaati kode etik jurnalistik, yaitu memberitakan secara berimbang, melakukan  check and recheck, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, tidak menyuap dan disuap, tidak membuat berita bohong, menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dan menghormati kehidupan pribadi narasumber.
Dengan adanya kode etik ini, maka seharusnya wartawan dapat:
1.      Menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai, kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban terhadap orang lain.
2.      Menentukan bagi dirinya sendiri bagaimana ia akan hidup, bagaimana ia akan melaksanakan pekerjaan kewartawanannya, bagaimana ia akan berpikir tentang dirinyasendiri dan tentang orang lain, bagaimana ia akan berperilaku dan bereaksi terhadap orang-orang serta isu-isu di sekitarnya. (Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, Rosihan Anwar 1996).
Wartawan Indonesia juga bekerja berdasarkan kode etik yang disusun mengikuti perubahan dan tuntutan zaman. Kendati kode etik ini tidak langsung berkaitan dengan hukum, tetapi pelanggaran kode etik sangat berpotensi untuk berhadapan dengan hukum. Kode etik wartawan Indonesia mengenal beberapa prinsip utama yang tidak boleh dilanggar. Itu meliputi :
1.      Wartawan Indonesia harus menghormati hak masyakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.      Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber berita.
3.      Wartawan Indonesia menghormati asa praduga tak bersalah, tidak mencampurkan adukkan fakta dan opini, berimbang, serta selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4.      Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5.      Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6.      Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai embargo, latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
7.      Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Prinsip mematuhi kode etik ini kini semakin penting jika mengingat kesadaran masyarakat akan hukum makin tinggi. Di luar kode etik yang ditetapkan oleh Dewan Pers, sebenarnya pegangan wartawan Indonesia dalam melakukan tugas adalah “berkiblat” terhadap aturan-aturan di dalam undang-undang yang berlaku.
Misalnya, hak seseorang atas wilayah rumah dan pekarangannya yang diatur dalam hukum positif. Dalam kaitan ini, maka seorang wartawan tidak bisa, atas nama tugas untuk masuk tanpa izin. Tidak hanya melanggar etika, tetapi telah melanggar hak privat seseorang. Kasus-kasus demikian sangat berpotensi untuk diperkarakan. Pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk, misalnya, melapor ke polisi.
Mengakui identitas diri sebagai wartawan adalah keharusan. Tetapi, dalam hal-hal tertentu, untuk kegiatan investigasi reportase, identitas ini kadang harus ditutupi. Kendati demikian, dalam proses investigasi ini, pada saatnya wartawan harus membuka identitasnya.
Kode Etik jurnalis menjadi penuntun seorang wartawan untuk dua hal dalam melakukan profesinya: pencarian dan penulisan berita. Pencarian meliputi etika selama proses perencanaan hingga pencarian berita itu (termasuk pengambilan foto, proses wawancara, pemuatan dokumen) serta penulisan berita yang meliputi proses penulisan sampai berita tersebut selesai.
Dengan demikian, maka ketika seseorang wartawan merencanakam untuk menulis sebuah berita dengan rencana tertentu yang tak terpuji, maka ia sebenarnya sudah mulai melanggar kode etik.
Kode etik sebagai suatu pertanggungjawabam bermakna pula bahwa seorang wartawan berani dan jujur untuk mengakui bahwa berita yang dibuatnya adalah mengambil milik orang lain atau berita yang dibuatnya salah. Dalam kaitan inilah, maka wartawan harus menyebut sumber berita untuk berita yang dibuatnya. Penyebutan ini, di sisi lain, juga untuk mencegah jika ternyata berita itu salah dan ada pihak yang menggugat.
Mengakui kekeliruan adalah harga mahal yang harus dilakukan wartawan terhadap berita atau ketidakakuratan yang dibuat. Tapi, harga mahal ini mutlak harus dilakukan dan dengan cara ini justru akan memberikan penilaian dan citra positif pada pers. Karena itulah, bantahan atau ralat, sepanjang itu memang benar, harus dilakukan pada kesempatan yang pertama. Wartawan harus mengakui kekeliruannya dan meminta maaf atas kekeliruan yang dibuat.


BAB III
PENUTUP
Ksimpulan
Perjalanan pers di Indonesia sendiri tidak hanya terpaku pada undang-undang yang mengatur tentang pers saja. Artinya tidak tergantung pada keberadaan undang-undang yang menjadi dasar penerbitan pers. Tetapi keberadaan pers telah berjalan seiring perjalanan sejarah itu sendiri. Awal-awal kemunculan media massa atau surat kabar di Eropa pun mungkin belum diatur secara khusus oleh undang-undang tentang pers. Namun dalam perjalanannya sampai sekarang, masing-masing negara telah memiliki udang-undang atau peraturan yang mengatur tentang pers, termasuk di Indonesia.
Pada awal-awal perjalanan pers di Indonesia, yakni pada massa penjajahan Belanda, maka hukum yang dipakai adalah Wetboek van Straftrecht atau Buku Hukum Siksa Hindia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hukuman bagi para pejuang pers saat itu. Seperti yang dialami Mas Arga pemimpin redaksi, Hoofdredacteur Pertja Selatan di Palembang pada tahun 1927. Mas Arga terjerat dua delik pers karena mengkritik keras pemerintah colonial Belanda. Ia menurunkan artikel-artikel tentang pemberontakan komunis tahun 1926-1927.
Penguatan lembaga Dewan Pers perlu dilakukan, agar peraturan-peraturan yang dibuatnya mampu menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan. Baik di lingkungan pers itu sendiri, masyarakat pers dan pemerintah. Seperti halnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh kementerian maupun lembaga non-kementerian, yang mampu mengikat dan menjadi dasar pelaksanaan lembaga di bawahnya. Dalam hal ini, Peraturan Dewan Pers belum diposisikan seperti itu.
Satu hal yang penting juga, sebenarnya persoalan hukum atau pun kasus tidak akan muncul ketika para wartawan telah bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik yang sudah ditetapkan Dewan Pers bersama dengan organisasi-organisasi wartawan. Kalaupun masih muncul gugatan dan ancaman pidana, jika para wartawan sudah menggunakan kode etik itu, pasti akan aman dan tidak tersandung kasus hukum.

Label 1

Search This Blog

Powered by Blogger.

Followers

Label 2

Label 3

Label 4

Label 5

Label 6