Latar
Belakang
Komunikasi adalah salah
satu bentuk kegiatan umat manusia yang paling penting. Tiada hari tanpa komunikasi. Tidak ada
masyarakat manusia yang tidak melaksanakan komunikasi, karena komunikasi adalah
perlambang dari adanya kehidupan di dalam masyarakat. Dilihat dari sudut
pandang ini, komunikasi dilihat dari artinya yang umum dan luas yaitu hubungan
dan interaksi yang terjadi antara dua orang\pihak atau lebih. Interaksi
tersebut terjadi karena seseorang menyampaikan pesan-pesan dalam bentuk
tertentu yang diterima pihak lain yang menjadi sasarannya sehingga sedikit
banyak akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku pihak dimaksud. Siapapun
sebagai anggota masyarakat melakukan ini secara terus-menerus—kadang-kadang
bahkan tanpa sadar—termasuk mereka yang tidak mengerti makna konsep komunikasi.
Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa komunikasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh semua anggota masyarakat kapan pun dan dimana pun di dunia ini.
Komunikasi politik
adalah keseluruhan keputusan kondusional tentang tindakan yang akan dijalankan
saat ini, guna mencapai tujuan politik pada masa depan. Komunikasi merupakan
proses penyampaian suatu pesan yang dilakukan seseorang kepada orang lain untuk
memberitahu agar bisa mengubah sikap, pendapat atau perilaku yang dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung melalui media.[1] Komunikasi berasal dari
kata communicare yang berarti berpartisipasi.[2]
Komunikasi politik
adalah fungsi penting dalam sistem politik. Pada setiap proses politik,
komunikasi politik menempati posisi yang strategis. Bahkan, komunikasi politik
dinyatakan sebagai “urat nadi” proses politik. Bagaimana tidak, aneka struktur
politik seperti parlemen, kepresidenan, partai politik, lembaga swadaya
masyarakat, kelompok kepentingan, dan warganegara biasa memperoleh informasi
politik melalui komunikasi politik ini. Setiap struktur jadi tahu apa yang
telah dan akan dilakukan berdasarkan informasi ini.
Komunikasi politik
banyak menggunakan konsep-konsep dari ilmu komunikasi oleh sebab itu, ilmu
komunikasi memang berkembang terlebih dahulu ketimbang komunikasi politik.
Konsep-konsep seperti komunikator, pesan, media, komunikan, dan feedback
sesungguhnya juga digunakan dalam komunikasi politik. Titik perbedaan utama
adalah, komunikasi politik mengkhususkan diri dalam hal penyampaian informasi
politik.
Rumusan
Masalah
1. Apa itu Komunikan ?
2. Bagaimana seharusnya
sifat dan karakter komunikan politik ?
Tujuan
Penulisan
Mengetahui apa itu
komunikan dan bagaimana srharusnya sifat dan karakter komunikan di dalam
politik.
KOMUNIKAN
McQUil dan Windahl
mendefinisikan khalayak sasaran atau komunikan adalah sejumla besar orang uang
pengetahuan, sikap dan perilakunya akan diubah melalui kaegiatan kampanye.
Komunikan dapat berfisat kelompok, perorangan, institusi, partai politik, dan
pemerintah negara lain. Pada dasarnya komunikan politik adalah seluruh elemen
masyarakat. Untuk efektivitas pesan yang disampaikan maka komunikan akan
dibedakan cara penyampaian menurut masing-masing masyarakat tersebut.
Komunikan atau khlayak
dalam komunikasi politik adalah semua khalayak yang tergolong dalam
infrasturktur atau suprastruktu politik. Atau dengan kata lain semua komunikan
yang secara hukum terikat oleh konstitusi, hukum, dan ruang lingkup komunikator
suatu negara. Khalayak yang dimaksudkan di sini sebenarnya adalah komunikan,
yaitu pihak yang menjadi tujuan disampaikannya pesan-pesan politik (receiver,
audience). Namun seringkali dalam perspektif para ahli komunikasi yang menekuni
kajian komunikasi politik, komunikan lebih sering ditekankan pada masyarakat
umum atau publik. Yang perlu diperhatikan, sebenarnya dalam sebuah proses
komunikasi komunikator dan komunikan dapat bertukar peran satu sama lain,
tergantung pada situasi komunikasi yang berlangsung.
Komunikan dapat
bersifat individual atau perorangan, dapat juga berupa institusi, organisasi,
masyarakat secara keseluruhan, partai politik atau negara lain. Apabila
komunikan dijadikan sebagai objek dengan berbagaiketentuan normatif yang
mengikatnya, sehingga komunikasi tidak memiliki ruang gerak yang bebas, dapat
dipastikan bahwa proses komunikasi berada dalam sistem totaliter. Sebaliknya
apabila komunikan bukan hanya sebagai objek tapi dijadikan partner bagi
komunikator, sehingga pertukaran pesan-pesan komunikasi dalam frekuensi tinggi,
maka dapat dipastikan bahwa sitem politik yang melandasi proses komunikasi
tersebut berada pada sistem demokrasi. Tolok ukur ini dapat pula digunakan bagi
perkembangan pendapat umum (public opinion) atau feedback (umpan balik). Dalam
sistem totaliter baik pendapat umum atau umpan balik hampir tidak berfungsi.
Sedangkan dalam sisem demokrasi pendapat umum
atau umpan balik dijadikan alasan sebagai masukan (input) bagi penguasa
untuk menyempurnakan kebijaksanaan komunikasi pemerintah.
Seorang
Komunikan Harus Memiliki Sifat Dan Sikap Berikut:
Responsif
Segala bentuk pesan
yang disampaikan kepada seorang komunikan harus dimengerti. Oleh karena itu,
proses menyimak dengan seksama terhadap pesan yang disampaikan harus menjadi
pioritas utama.
Jujur
Pada keadaan ini
seorang komunikan harus mau dan berani mengambil konsekuensi seputar pesan.
Informasi yang disampaikan berupa pesan harus seluruhnya dapat tersampaikan
(tidak kurang dan tidak lebih).
SASARAN,
KARAKTER, DAN SIFAT KOMUNIKAN KOMUNIKASI POLITIK
Khalayak komunikasi
politik yang ideal haruslah memiliki kepedulian dan perhatian untuk mengikuti
perkembangan politik yang terjadi. Artinya, selain khalayak memiliki motivasi
untuk mengikuti berbagai informasi politik, khalayak juga harus mendapatkan
akses informasi yang bebas, mudah, dan teratur, baik melalui saluran media
massa maupun saluran antar pribadi. Dari sini diharapkan pada akhirnya khalayak
dapat membuat keputusan yang rasional berdasarkan informasi yang diterimanya
(partisipasi politik / perilaku politik yang rasional).
Menurut Almond dan
Verba, kemauan masyarakat untuk mengikuti perkembangan politik merupakan
tingkat keterlibatan yang minimal. Dalam gagasannya mengenai budaya politik,
hal itu merupakan cerminan dari komponen kognitif dari orientasi politik warga
negara. Lebih jauh orientasi tersebut mestinya juga mengarah pada komponen
afektif dan komponen evaluatif.
Davison membedakan khalayak komunikasi politik ke dalam tiga kategori berdasarkan intensitasnye mengikuti informasi politik dan kepeduliannya terhadap masalah-masalah politik, yaitu:
Publik Umum (general public)
Publik
yang Penuh Perhatian (the attentive public)
Elit
Opini dan Kebijakan (elite)
Ketiga khalayak komunikasi politik itu bisa digambarkan sebagai sebuah paramida terbalik, dimana jumlah publik umum (general public) sangat banyak dan mendominasi dalam masyarakat. Kemudian diikuti dengan publik berperhatian (the attentive public) yang jumlahnya lebih sedikit, karena hanya terbatas pada orang-orang atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang punya kepedulian terhadap masalah-masalah politik. Terakhir adalah elit opini atau elit pembuat kebijakan (elite) yang jumlahnya sangat sedikit, terbatas pada orang-orang atau kelompok yang masuk dalam lingkaran sistem politik.
Beberapa ahli melihat pentingnya keberadaan publik berperhatian (the attentive public) sebagai penghubung antara publik umum (general public) dengan elit. Almond mengatakan bahwa publik yang berperhatian (the attentive public) merupakan suatu sub kultur yang khusus dimana berbagai kelompok kepentingan berkembang, terutama kelompok kepentingan dengan masalah-masalah kebijakan umum. Khalayak yang memiliki perhatian terhadap perkembangan politik yang berlangsung sangat diperlukan bagi terciptanya sistem politik yang sehat. Ini berarti, khalayak tersebut memiliki akses informasi yang teratur baik melalui saluran antar pribadi maupun saluran media massa. Sedangkan Dan Nimmo berpendapat bahwa publik yang berperhatian (the attentive public) memiliki peran yang penting dalam proses opini, didasarkan pada:
Publik atentif berperan sebagai saluran komunikasi antar pribadi dalam arus pesan yang timbal baik antara pemimpin politik dengan publik umum atau sebaliknya. Publik attentif merupakan khalayak kunci (key audience) baik bagi komunikator massa maupun komunikator organisasional.
Publik atentif menyertai para pemimpin politik sebagai pembawa (carrier) konsensus politik. Disini public atentif dianggap sebagai orang-orang atau kelompok-kelompok yang pada gilirannya nanti dapat menunjang aplikasi demokrasi dan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
Publik atentif membentuk pemilih bayangan (surrogate electorate) dalam periode antara masa pemilihan. Para politisi biasanya mempersepsikan opini di kalangan publik atentif sebagai opini publik secara umum. Komponen yang paling menentukan dalam setiap bentuk kegiatan komunikasi yaitu komunikator dan komunikan. Karena tanpa kedua komponen tersebut tidak akan terjadi komunikasi. Pertanyaannya sekarang, siapa saja yang termasuk ke dalam komunikator dan komunikan politik itu?. Komunikator politik dapat dikenali dari ciri-ciri komunikator pada umumnya yaitu:
Pihak yang pertama–tama mempunyai inisiatif.
Pihak
yang mempunyai ide atau gagasan; yang akan disebarluaskan.
Pihak
yang mula pertama mengajak berkomunikasi.
Pihak
yang bermaksud mempengaruhi, mengubah dan membentuk sikap, pendapat dan tingkah
laku orang lebih baik secara perorangan maupun kelompok.
Bertolak dari ciri-ciri tersebut di atas, maka Drs. Soemarno, Ap. S.M. dalam bukunya “Dimensi-dimensi politik” mengatakan yang menjadi komunikator politik adalah pemerintah, karena ia sebagai pemegang inisiatif untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kemudian dijelaskan lebih lanjut, yang menjadi komunikan komunikasi politik ialah keseluruhan lapisan masyarakat, baik yang berdiri sendiri maupun yang tergabung dalam bentuk asosiasi, perkumpulan atau kelompok-kelompok tertentu.
Menurut Dr Astrid, komunikator dan komunikan itu harus saling mengisi dan merupakan interdependensi yang positif, sehingga komunikasi berjalan dengan harmonis. Dalam proses komunikasi, pada saat tertentu komunikan bisa berganti peran menjadi komunikator dan yang semula komunikator bisa menjadi komunikan tergantung dari pihak mana yang pertama mempunyai inisiatif, gagasan, mengajak berkomunikasi dan mempengaruhi.
Komunikator dalam proses komunikasi politik dapat diposisikan oleh beragam pihak. Parlemen, partai politik, kelompok kepentingan, warganegara, presiden, menteri, pengamat politik, dan lain sebagainya. Mereka menjadi komunikator jika menjadi partisipan yang menyampaikan pesan-pesan politik, dan berubah menjadi komunikan jika mereka berposisi sebagai penerima. Partisan Bias. Dalam komunikasi politik dikenal istilah partisan bias. Artinya, kecenderungan melebih-lebihkan posisi diri dan tindakan suatu kelompok ketimbang kelompok lain. Partisan bias cenderung berakibat pada ketidakakuratan fakta. Partisan bias tampak saat seorang anggota parlemen memposisikan partainya lebih bagus dan komitmen pada kesejahteraan rakyat ketimbang partai lain.
Demikian pula, komunikan dapat saja membelokkan pemahaman atas apa yang disampaikan komunikator. Misalnya, ketika pemerintahan SBY memberlakukan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan uang bantuan, sehingga dapat langsung dirasakan penerima. Ini ditanggapi berbeda oleh lawan-lawan politik dan warganegara yang kontra kebijakan tersebut, yang diwakili dengan pernyataan “pemerintah Cuma mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan mengurangi angka kemiskinan” dan sejenisnya.
Kriteria
Komunikan menurut Perspektif Hadist
Komunikan adalah patner atau rekan dari komunikator dalam komunikasi. Ia berperan sebagai penerima pesan. Dalam komunikasi, peran pengirim dan penerima selalu bergantian sepanjang pembicaraan. Penerima mungkin mendengarkan pembicara atau menuliskan teks atau menginterpretasikan pesan dengan berbagai cara. Sedangkan dalam proses dakwah, mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama islam maupun tidak, atau dengan kata lain, manusia secara keseluruhan. Kepada manusia yang belum beragama islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama islam, sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama islam dakwah bertujuan meningkatkan kwalitas iman, islam, dan ihsan.[3]
Muhammad Abduh membagi
mad’u mejadi tiga golongan yaitu:
Golongan
cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berfikir
secara kritis, cepat menangkap persoalan.
Golongan
awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat berfikir
secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang
tinggi. dan
Golongan yang berbeda
dengan golongan diatas adalah mereka yang senang membahas sesuatu, tetapi hanya
dalam batas tertentu, tak sanggup mendalami benar.
Kriteria
Komunikan yang Baik
Dipandang dari komponen
komunikan, komunikasi yang efektif akan terjadi jika komunikan mengalami
(Kelman, 1975): internalisasi, (internalization), identifikasi-diri (self
identification) dan ketundukan (compliance). Komunikasi mengalami proses
internalisasi, jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai
yang dianut. Komunikan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat, pesan yang
disampaikan memiliki rasionalitas yang dapat diterima. Internalisasi bisa
terjadi jika komunikatornya memiliki ethos atau credibility (ahli dan dapat
dipercaya), karenanya komunikasi bisa efektif.
Identifikasi terjadi pada diri komunikan, jika komunikan merasa puas dengan meniru atau mengambil pikiran atau perilaku dari orang atau kelompok lain (komunikator). Identifikasi akan terjadi pada diri komunikan jika komunikatornya memiliki daya tarik (attractiveness), karenanya komunikasi akan efektif.
Ketaatan pada diri komunikan akan terjadi, jika komunikan yakin akan mengalami kepuasan, mengalami reaksi yang menyenangkan, memperoleh reward (balasan positif) dan terhindar dari punishment (keadaan, kondisi yang tidak enak) dari komunikator, jika menerima atau menggunakan isi pesannya.Biasanya ketaatan akan terjadi bila komunikan berhadapan dengan kekuasaan (power) yang dimiliki komunikator. Yang demikian bisa menghasilkan komunikasi yang efektif. [4]
KESIMPULAN
Komunikan atau khlayak dalam komunikasi politik adalah semua khalayak yang tergolong dalam infrasturktur atau suprastruktu politik. Atau dengan kata lain semua komunikan yang secara hukum terikat oleh konstitusi, hukum, dan ruang lingkup komunikator suatu negara. Khalayak yang dimaksudkan di sini sebenarnya adalah komunikan, yaitu pihak yang menjadi tujuan disampaikannya pesan-pesan politik (receiver, audience). Namun seringkali dalam perspektif para ahli komunikasi yang menekuni kajian komunikasi politik, komunikan lebih sering ditekankan pada masyarakat umum atau publik. Yang perlu diperhatikan, sebenarnya dalam sebuah proses komunikasi komunikator dan komunikan dapat bertukar peran satu sama lain, tergantung pada situasi komunikasi yang berlangsung.
Komunikan dapat bersifat individual atau perorangan, dapat juga berupa institusi, organisasi, masyarakat secara keseluruhan, partai politik atau negara lain. Apabila komunikan dijadikan sebagai objek dengan berbagaiketentuan normatif yang mengikatnya, sehingga komunikasi tidak memiliki ruang gerak yang bebas, dapat dipastikan bahwa proses komunikasi berada dalam sistem totaliter. Sebaliknya apabila komunikan bukan hanya sebagai objek tapi dijadikan partner bagi komunikator, sehingga pertukaran pesan-pesan komunikasi dalam frekuensi tinggi, maka dapat dipastikan bahwa sitem politik yang melandasi proses komunikasi tersebut berada pada sistem demokrasi. Tolok ukur ini dapat pula digunakan bagi perkembangan pendapat umum (public opinion) atau feedback (umpan balik). Dalam sistem totaliter baik pendapat umum atau umpan balik hampir tidak berfungsi. Sedangkan dalam sisem demokrasi pendapat umum atau umpan balik dijadikan alasan sebagai masukan (input) bagi penguasa untuk menyempurnakan kebijaksanaan komunikasi pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
Onong Udjana Effendy.
Dinamika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1992)
Toto Tasmara.
Komunikasi Dakwah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997)
M. Munir, Wahyu Ialihi,
Manajemen Dakwah (Jakarta : Predana Media Group, 2009)
Hamidi, Prof Dr.Msi.
2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang : UMM Pres.
Artikel
[1] Onong Udjana
Effendy. Dinamika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1992) Hal 5
[2] Toto Tasmara.
Komunikasi Dakwah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997) Hal 1
[3] M. Munir, Wahyu
Ialihi, Manajemen Dakwah (Jakarta : Predana Media Group, 2009), h. 23
[4] Hamidi, Prof
Dr.Msi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang : UMM Pres.
No comments:
Post a Comment