MAKALAH ISLAM LIBERAL DALAM KAJIAN ISLAM


Islam Liberal dalam Kajian Islam
BAB 1
PENDAHULUAN
1)      Latar Belakang.
Setiap produk pemikiran, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari epistemology ataucara pandang mereka terhadap suatu objek tertentu berdasarkan kerangka keilmuan yang menjadi pisau analisisnya. Dari cara pandang tersebut nantinya akan mengasilkan buah pemikiran. Keteguhan seseorang dalam mempertahankan argumentasinya akan tercermin apabila produk pemikirannya mampu memberikan dampak perubahan cara pandang terhadap orang lain. Seperti halnya para filosof terdahulu, bahwa diantara mereka saling memberikan kontribusi dan pengaruh pemikiran terhadap filusuf yang lainnya.
Dalam konteks Islam, Kajian pemikiran dalam Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk membuka kerangka berfikir dalam memperoleh khazanah ilmu pengetahuan baru yang pada titik endingnya kemudian mendapatkan kearifan, baik secara pemikiran maupun tindakan. Dalam percaturan pemikiran Islam selama ini, disatu sisi dinilai bahwa hal demikan adalah suatu keharusan, dengan harapan membangkitkan semangat dalam memahami pesan moral Ilahi yang secara aksiologis bermanfaat untuk kehidupan manusia. Dari kebodohan menuju berpengetahuan dan berkeadaban. Namun disisi lain, justru pemikiran yang tidak terkontrol, akan memiliki dampak negatif terhadap gaya berfikir seseorang, sehingga antara satu dengan yang lainnya saling klaim kebenaran dan menjatuhkan.
Sebagai sebuah contoh, berkembangnya pemikiran islam liberal ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam keberagama’an merupakan suatu indikasi tentang hidupnya pemikiran dalam Islam. Disatu sisi dinilai hal tersebut baik untuk perkembangan umat yang taraf berfikirnya sudah terkontrol, namun menjadi tidak baik apabila hal tersebut menghilangkan esensi atau nilai social yang berujung pangkal pada saling mengkafirkan antara satu dengan yang lain.
Bertolak dari pemahaman tersebut, yang menjadi titik tekan sbenarnya adalah bagaimana Islam sebagai agama yang bersifat dinamis, mampu memposisikan Islam sebagai motivasi pemikiran, tindakan serta control terhadap pelbagai fenomena social yang menggejala. Walaupun keberadaannya menurut para pemikir Islam adalah statis, dengan anggapan tersebut perlunya adanya paradigma dan gerakan baru untuk membangkitkan Islam dari kungkungan.
Oleh karenya Islam liberal tampil sebagai upaya memberikan motivasi untuk membangun kerangka paradigmatik yang akan mendinamiskan Islam dalam berbagai segi. Sehingga  hadirnya memberikan pencerahan terhadap stagnasi pemikiran umat.
2)      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Pengertian Islam liberal?
b.      Bagaimana Islam liberal?
c.       Bagaimana ciri-ciri pemikiran islam liberal?
d.      Pendapat charles kurzman dan Leonard Binder mengenai islam liberal?


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Difinisi Islam Liberal.
Istilah Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam maksudnya adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw. Dan Liberal yang artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya danLiberte dalam bahasa prancisnya yang bermakna bebas.[1]
Setelah dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam, sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas. Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.
Lebih lanjut Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint).[2]Seandainya kita sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. ‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.[3]
Menurut Luthfie juga, istilah “Islam Liberal” mulai dipopulerkan sejak tahun 1950-an. Di Timur Tengah, akar-akar gerakan liberalisme Islam bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai.
Sampai sekarang komunitas Islam Liberal makin melebarkan sayapnya hingga ke perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Dampak hadirnya Islam Liberal kita bisa lihat lewat peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti penghinaan terhadap Tuhan (Allah), penyalah gunaan tafsir alqur’an yang mengandalkan akal semata, sampai kesalahan dalam menerapkan syari’at Islam.
Istilah Islam Liberal ini diperkenalkan oleh seorang intelektual asal India, Asaf 'Ali Asghar Fyzee, pada tahun 1950-an. Pada salah satu tulisannya dia menuliskan, ”Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur”. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu 'Islam liberal” Kemudian istilah ini dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg barton, Leonard Binder dan Charles Kurzman. Kemudian wacana ini lebih dipertajam lagi dengan munculnya jaringan Islam Liberal yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdala. 
Dari sekian penulis, Kurzman lah yang paling jelas dalam mendefinisikan Islam liberal. Kurzman mengidentifikasi liberal Islam dengan empat agenda Dalam pendangannya Islam liberal ditandai dengan beberapa agenda, yaitu pluralisme, demokratisasi dan sekularisasi, feminisme dan kesetaraan gender, serta re-interpretasi fiqh (syari’ah) dengan interpretasi yang liberal.
Dari empat agenda pokok tersebut di atas, kita bisa melihat beberapa program Islam Liberal dengan beberapa ciri lainnya, antara lain :
a.       Menolak penerapan hukum syari’at dalam kehidupan, tetapi mendorong kehidupan sekular, yakni pemisahan agama dari kehidupan bernegara.
b.      Memperjuangkan emansipasi wanita, sehingga wanita benar-benar setara dengan lelaki
c.       Menganggap semua agama adalah baik dan benar
d.      Menolak hukum-hukum fiqh yang sudah mapan
e.       Menganggap al-Qur’an sebagai produk budaya, bukan wahyu yang sacral.

B.     Sejarah Islam Liberal
Islam liberal pada mulanya diperkenalkan oleh buku “Liberal Islam : A Source Book” yang ditulis oleh Charles Kuzman (London, Oxford University Press, 1988) dan buku “Islamic Liberalism : A Critique of Development Ideologies ” yang ditulis oleh Leonard Binder (Chicago, University of Chicago Press, 1998). Walaupun buku ini terbit tahun 1998, tetapi idea yang mendukung liberalisasi telah muncul terlebih dahulu seperti gerakan modernisasi Islam, gerakan sekularisasi dan sebagainya. Oleh sebab itu walaupun Jaringan Islam Liberal di Indonesia bermula tahun 2001, tetapi idea-idea Islam Liberal di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970 dengan munculnya idea sekularisasi dan modernisasi Islam yang dibawa oleh Nurkholis Majid, Harun Nasution, Mukti Ali, dan kawan- kawannya[4]
Gerakan liberalisme ini sebenarnya adalah pengaruh dari pada falsafah liberalisme yang berkembang di negara Barat yang telah masuk ke dalam seluruh bidang kehidupan seperti liberalisme ekonomi, liberalism budaya, liberalisme politik, dan liberalisme agama. Gerakan Liberalisme di Barat bermula dengan gerakan reformasi yang bertujuan menentang kekuasaan Gereja, menghadkan kekuasaan politik, mempertahankan pemilikan serta menetapkan hak asasi manusia.[5] Gerakan liberalisme tersebut masuk ke dalam bidang agama, sebagai contoh gerakan reformasi Inggris bertujuan untuk menghapuskan ketuanan dan kekuasaan golongan agama (papal jurisdiction) dan menghapuskan cukai terhadap gereja (clerical taxation). Oleh sebab itu gerakan liberalisme berkait rapat dengan penentangan terhadap agama dan sistem pemerintahan yang dilakukan oleh golongan agama (gereja) atau raja-raja yang memerintah atas nama Tuhan.[6]
Gerakan liberalisasi agama ini telah lama meresap ke dalam agama Yahudi dan Kristian. Contohnya, Gerakan Yahudi Liberal (Liberal Judaism) telah muncul pada abad ke-19 sebagai usaha menyesuaikan dasar-dasar agama yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan (Enlightenment) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Organisasi Yahudi Liberal diasaskan pada tahun 1902 oleh orang yahudi yang memiliki komitmen terhadap falsafah liberal dengan tujuan mempercayai kepercayaan dan tradisi Yahudi dalam dunia kontemporer. Akibatnya daripada pemahaman liberal tersebut maka daripada 31 pemimpin agama yang tergabung dalam persatuan Rabbi Yahudi Liberal (Liberal Judaism’s Rabbinic Conference) terdapat empat orang rabbi lesbian dan dua orang rabbi gay.[7]
Dalam agama Kristian juga terdapat golongan Kristian Liberal, di mana mereka melakukan rekonstruksi keimanan dan hukum dengan menggunakan metode sosio-historis dalam agama (mengubah prinsip iman dan hukum agama sesuai dengan perkembangan masyarakat), sehingga Charles A. Briggs, seorang Kristian Liberal menyatakan : “It is sufficient that Bibel gives us the material for all ages, and leaves to an the noble task of shaping the material so as to suit the wants of his own time”[8]
Akhir-akhir ini pengaruh liberalisme yang telah terjadi dalam agama Yahudi dan Kristian mulai diikuti oleh sekumpulan sarjana dan pemikir muslim seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir), Muhammad Arkoun (Al Jazair), Abdulah Ahmed Naim (Sudan), Asghar Ali Enginer (India), Aminah Wadud (Amerika), Noorkholis Madjid, Syafii Maarif, Abdurrahman Wahid, Ulil Absar Abdalla (Indonesia), Muhamad Shahrour (Syria), Fetima Mernisi (Marocco) Abdul Karim Soroush (Iran), Khaled Abou Fadl (Kuwait) dan lain-lain. Di samping itu terdapat banyak kelompok diskusi, dan institusi seperti Jaringan Islam Liberal (JIL – Indonesia), Sister in Islam (Malaysia) hampir di seluruh negara Islam[9]
Golongan Islam Liberal tidak menzahirkan diri mereka sebagai orang yang menolak agama, tetapi berselindung di sebalik gagasan mengkaji semula agama, mentafsir semula al-Quran, menilai semula syariat dan hukum- hukum fiqih. Mereka menolak segala tafsiran yang dianggap lama dan kolot mengenai agama termasuk hal yang telah menjadi ijmak ulama, Termasuk tafsiran dari pada Rasulullah dan sahabat serta ulama mujtahid. Bagi mereka agama hendaklah disesuaikan kepada realita semasa, sekalipun terpaksa menafikan hukum-hukum dan peraturan agama yang telah sabit dengan nas-nas syara’ secara putus (qat’ie). Jika terdapat hukum yang tidak menepati zaman, kemodenan, hak-hak manusia, dan tamadun global, maka hukum itu hendaklah ditakwilkan atau sebolehnya digugurkan.
Gerakan Islam Liberal sebenarnya adalah lanjutan dari pada gerakan modernisme Islam yang muncul pada awal abad ke-19 di dunia Islam sebagai suatu konsekuensi interaksi dunia Islam dengan tamaddun barat. Modernisme Islam tersebut dipengaruhi oleh cara berfikir barat yang berasaskan kepada rasionalisme, humanisme, sekularisme dan liberalisme.
Konsep ini mencerminkan jiwa yang tidak beriman kerana kecewa dengan agama. Konsep tragedi ini mengakibatkan mereka asyik berpandu kepada keraguan, dan dalam proses ini falsafah telah diiktiraf sebagai alat utama menuntut kebenaran yang tiada tercapai.
C.     Ciri-Ciri Pemikiran Islam Liberal.
Adapun ciri-ciri pemikiran islam liberal menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, cara berfikir barat tersebut terdiri dari pada lima sifat yang saling kait-mengait :
1.      Kebergantungan semata-mata kepada akal manusia bagi memandu kehidupan dunia.
2.      Dualisme dalam memahami pelbagai realiti dan kebenaran. Contohnya dualisme antara akal dan jasad, dan pemisahan antara kaedah rasionalisme dan empirisisme.
3.      Penekanan kepada unsur-unsur perubahan dalam  kewujudan yang mempamerkan pandangan alam  (worldview) yang sekuler.
4.      Doktrin humanisme yaitu jelmaan ideologi sekuralisme yang memusatkan penilaian segala-galanya kepada fikiran manusia.
5.      Konsep tragedi yang menyusup dalam setiap arena kehidupan baik falsafah, agama, atau kesenian.
Konsep ini mencerminkan jiwa yang tidak beriman kerena kecewa dengan agama. Konsep tragedi ini mengakibatkan mereka asyik berpandu kepada keraguan, dan dalam proses ini falsafah telah diiktiraf sebagai alat utama menuntut kebenaran yang tiada tercapai.
Leonard Binder, penulis buku Islamic Liberalism dan seorang pakar politik beragama Yahudi dari Universiti Chicago mengakui bahwa sekularisme sebenarnya telah gagal di Timur Tengah (dunia Islam), oleh sebab itu kini barat memberikan konsep Islam Liberal untuk memperkuat liberalisme politik di negara-negara muslim. Buku ini (Islamic liberalism)mempersoalkan kemungkinan wujudnya Islam Liberal dan menyimpulkan bahawa tanpa liberalisme Islam yang kuat, maka liberalisme politik di Timur Tengah tidak akan berhasil.
Disisi lain ciri-ciri pemikiran Islam Liberal menurut Khalif Muammar adalah :

1.      Rasionalisme dan Sekularisme.
2.      Penolakan terhadap syariah.
3.      Pluralisme Agama.
4.      Penolakan terhadap autoriti keagamaan.
5.      Kebebasan mentafsirkan teks-teks agama Islam.
6.      Tiada dakwaan kebenaran (faham relativisme).
7.      Mempromosikan nilai-nilai Barat.
8.      Pembebasan Wanita.
9.      Mendukung demokrasi liberal sepenuhnya

Oleh sebab itu menurut Syekh Abdullah al-Khatib dalam kitabnya “al Islam wa raddu ala hurriyatil fikri” menyatakan bahawa golongan yang berfikiran bebas mempunyai agenda tersembunyi yaitu :
1.      Untuk menggugurkan agama secara sepenuhnya dari pada  masyarakat iaitu memisahkan agama dari pada pendidikan, menjauhkan syariat Islam dari pada kedudukannya sebagai sumber perundangan dan mengasaskan ekonomi di atas dasar riba.
2.      Untuk menjauhkan fikrah atau pemikiran manusia daripada setiap yang mempunyai kaitan dengan ruh, wahyu dan alam ghaib dan daripada segala ikatan dengan akhlak, akidah dan keimanan kepada Allah.
3.      Untuk memartabatkan ketuhanan akal, kebendaan, dan ketidakpercayaan kepada agama dan wahyu (ilhad) dalam setiap urusan kehidupan dan menjadikan Islam hanya sebagai agama rohani semata-mata dan menolak agama sebagai penentu dan pencorak perjalanan hidup bermasyarakat[10]

D.     Sasaran Islam Liberal.
Menurut Adian Husaini, ada tiga bidang dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi yaitu : Liberalisasi bidang akidah dengan penyebaran faham Pluralisme agama, liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad,, liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.
a.       Liberalisasi  Akidah
Liberalisasi akidah dilakukan dengan menyebarkan faham Pluralisme agama, yaitu faham yang meyakini bahawa semua agama adalah sama-sama benar, dan merupakan jalan untuk menuju kepada Tuhan yang sama.[11]
Ulil Absar Abdallah, penyelia Jaringan Islam Liberal di Indonesia menya­takan bahawa “ Semua agama adalah sama. Semuanya menuju jalan ke­benaran. Jadi, Islam bukan agama yang paling benar. (Majalah Gatra, 21 Desember 2002). Ulil Absar juga menulis : “Dengan tanpa rasa segan dan malu saya mengatakan bahwa semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan keagamaan itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama : yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada hujungnya.[12]
b.      Liberalisasi Syariah.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Greg Barton bahwa antara tujuan Islam Liberal adalah merubah hukum-hakam agama Islam sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu pemahaman al-Quran harus disesuaikan dengan perkembangan zaman sebagaimana dinyatakan oleh Azyumardi Azra, mantan rektor Universitas Islam Negeri Jakarta (dulu bernama IAIN Jakarta) : “Al-Quran menunjukkan bahawa risalah Islam – disebabkan keuniversalannya adalah selalu sesuai dengan lingkungan budaya apapun, sebagaimana (pada saat turunnya)itu disesuaikan dengan kepentingan lingkungan Semenanjung Arab. Oleh itu al-Quran harus selalu dikontekstualisasikan (disesuaikan) dengan lingkungan budaya penganutnya, dimanapun saja ”.[13]
Liberalisasi dalam aspek syariah contohnya “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita muslimah merupakan urusan ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, di mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang terlarang. Oleh kerana kedudukannya sebagai hu­kum yang lahir dari proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetus­kan pendapat baru bahawa wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non muslim atau pernikahan berlainan agama secara lebih luas amat dibolehkan apapun agama dan aliran kepercayaannya”.[14]
c.       Liberalisasi Al-Quran.
Islam Liberal juga menggugat kesucian kitab suci al-Quran dengan melakukan studi kritis terhadap al-Quran. Lutfi Syaukani, pengasas Jaringan Islam Liberal di Jakarta mengatakan :”Sebahagian besar kaum mus­limin meyakini bahwa al-Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara langsung baik dalam lafaz maupun dalam makna. Kaum muslimin juga meyakini bahwa al-Quran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah hampir sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (alkhayal al-diniy), yang dibuat oleh para ulama sebagai sebagian dari pada doktrin Islam. Hakikat sejarah penulisan al-Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai keadaan yang kacau dan tidak lepas dari perdebatan, pertentangan, tipu daya dan rekayasa ”.[15]
E.      Pokok pokok pikiran Charles Kurzman dan Leonard Binder
1.      Biografi Charles khurzman dan Leonard Binder
a.       Charles Kurzman.
Charles kurzman lahir di Charles Kurzman adalah seorang profesor sosiologi di University of North Carolina di Chapel Hill dan co-direktur Pusat Carolina untuk Studi Timur Tengah dan Peradaban Islam. Dia adalah penulis The Martir Hilang (2011), Demokrasi Ditolak, 1905-1915 (2008), dan Revolusi terpikirkan di Iran (2004), dan editor antologi Islam Liberal (1998) dan Islam Modernis, 1840-1940 (2002 ).
b.      Leonard Binder.
Leonard Binder (lahir 20 Agustus 1927) adalah seorang ilmuwan politik Amerika.Dia adalah seorang profesor terkemuka ilmu politik dan mantan direktur Pusat Timur Dekat di University of California, Los Angeles (UCLA). Binder juga Ketua Departemen Ilmu Politik dari UCLA dan University of Chicago. Dia dipilih mahasiswa FellowAmerican Academy of Arts dan Ilmu Pengetahuan pada tahun 2002[16]
Leonard Binder adalah seorang spesialis yang dikenal secara internasional pada politik Timur Tengah dan pemikiran politik Islam. Jabatan profesor di Departemen ini didukung oleh UCLA Institut Internasional administrasi di UCLA. Dia adalah anggota pendiri dan telah menjabat sebagai Presiden Asosiasi Studi Timur Tengah Amerika Utara (MESA). Dia telah menjadi anggota dari kedua Politik Perbandingan dan Studi Timur Tengah komite dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial. Dia telah Ford Foundation Fellow Wilayah Luar Negeri, dan telah memegang beasiswa dari Rockefeller Foundation, Sosial Science Research Council, National Endowment for the Humanities, Woodrow Wilson Foundation, Pusat Studi Lanjutan dalam Ilmu Perilaku, dan Institute for Advanced Study di Yerusalem. Dia telah menjabat sebagai Ketua departemen di kedua Universitas Chicago dan UCLA. Dia telah melakukan penelitian lapangan di Mesir, Iran, Lebanon, Tunisia, dan Pakistan. Profesor Binder adalah penulis Agama dan Politik di Pakistan (1961), Iran: Pembangunan Politik dalam Masyarakat yang Berubah (1962), Revolusi ideologi di Timur Tengah (1964), Dalam Momen Antusiasme: Kekuasaan Politik dan Stratum kedua di Mesir (1978), dan Liberalisme Islam (1988). Profesor Binder adalah anggota dari kedua Studi Islam dan Timur Dekat Program StudiInterdisipliner.[17]
2.      Gagasan-gagasan Liberal Charles khurzman dan Leonard Binder
a.       Pemikiran Charles Kurzman
Charles khurzman memperkenalkan gagasannya dengan adanya syari’ah liberal yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu syariah liberal (liberal syari’a),   syariah yang tersembunyi (liberal syari’a), atau syariah yang ditafsirkan (interpreted syari’a).
1)      Syariah liberal (Liberal Shari’a)
Bentuk yang pertama ini menyatakan bahwa syariah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Sebagai contoh, Ali Bullac(Turki, Lahir 1951), salah seorang islamis liberal terkemuka diturki yang dalam artikel-artikel yang belum diterjemahkan sebelumnya berpendapat bahwa piagam madinah, dimana Rasulullah menjamin hak-hak non muslim untuk hidup dibawah pemerintahan muslim, menghadirkan sebuah contoh bagaimana syariah memecahkan sebuah masalah-masalah. Leonard binder mengajukan tiga penjelasan. Pertama, liberal syariah menghindari tuduhan-tuduhan ketidak otentikan otentisitas dengan mendasarkan posisi liberal secara kuat dalam sumber islam ortodoks. Kedua, liberal syariah menyatakan bahwa posisi-posisi liberal bukan sekedar pilihan-pilihan manusia, melainkan merupakan perintah Tuhan(yang membawa posisi menyimpang, yang juga membuat liberalism barat menyimpang dan juga membuat liberalime barat menderita, yang melakukan pembenaran atas liberalime dengan merujuk pada referensi liberalism, seperti hak-hak yang diberikan Tuhan.[18] Ketiga liberal syariah itu memberikan rasa bangga akan penemuan yang dihasilkan; Charles khuzman mengatakan bahwa liberal islam lebih tua dari pada leberalisme barat. Liberalism islam merupakan sebuah strategi retorika yang dikalangan orang yang terlalu sering menginternalisasi citra orang-orang barat tentang inferioritas dan keterbelakangan.
2)      Syariah yang diam(Silent Shari’a).
Bentuk argumentasi liberal Islam yang kedua berpandangan bahwa syariah tidak memberikan jawaban yang jeas mengenai topic-topik tertentu, muhammmad salim al-a’wa(mesir, kontemporer, sarjana hukum) meringkaskan pendekatan ini sebagai berikut:
Jika islam tidak” menyebutkan sesuatu, hal ini menunjukakan satu dari dua hal: apakaah hal ini tdak disebutkan dalam sumber-sumber tradisional manapun atau kaum muslim tidak pernah mempraktekkannya sepanjang masa. Dalam kasus yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu dibolehkan. Pengecualian terhadap peraturan ini hanya berlaku dalan ibadah. Dalam kasus kedua, merupakan hal yang ilmiyah bahwa kaum muslim seharusnya tanggap terhadap perubahan setiap waktu dan tempat.[19]
Silent sari’ah bersandar pada tafsir Al quran untuk membentuk pemikiran utamanya. Namun, beban pembuktiannya sedikit lebih ringan, dibandingkan dengan liberal syariah yang hanya perlu menunjukkan perintah-perintah positif bagi kemampuan pembentukan manusia secara abstrak, ketimbang praktek-praktek liberal secara khusus. Maka, ia memindahkan seluruh wilayah tindakan manusia dari wilayah kesarjanaan al qur’an, dimana pendidikan-pendidikan ortodok memiliki keuntungan yang berbeda, dan menempatkannya dalam wilayah perdebatan publik.
3)      Syariah yang ditafsirkan(interpreted sharia).
Bentuk ketiga, argumentasi islam liberal yang paling dekat pada perasaan atau pikiran –pikiran liberal barat, berpendapat bahwa syariah ditengahi oleh pemikiran manusia. Dalam pandangan ini, syariah merupakan hal yang berdimensi ilahiyah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kesimmpulan semacam ini sangat rentan terhadap tuduhan-tuduhan relatifisme. Namun, kaum liberal seperti Muhammad as’ad lahir 1900 mepergunakan sumber-sumber pelaksanaan syariah seperti hadits Rasulullah SAW: “ Perbedaan-perbedaan dikalangan umatmu yang terpelajar merupakan rahmat Tuhan.[20]
Basis syariah yang ditafsirkan ini bersifat normatif. Yusuf Qardawi misalnya membenarkan keaneka ragaman pendapat itu dalam persoalan persoalan praktis, misalnya:
“Ketakutan saya yang paling buruk terhadap gerakan islam adalah bahwa gerakan itu menentang para pemikir bebas dikalangan pengikutnya serta menutup pintu bagi pembaharuan dan ijtihad, membatasi dirinya sendiri dengan hanya satu jenis pemikiran yang tidak menerima sudut pandang yang lain. Hasil akhir bagi pergerakan tersebut adalah kehilangan pikiran-pikiran kreatifnya dan akhirnya mengalami stagnasi.”[21]      
Dari pembagian liberalisasi syariah diatas, apabila dioperasionalkan dengan berbagai problem-problem atau isu-isu kemanusiaan dalam konteks kenegaraan, kemasyarakatan dan keagamaan, dan keilmuan, seperti adanya system teokrasi dalam Islam, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non muslim, kebebasan berfikir, serta gagasan tentang kemajuan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)      Menentang teokrasi.
Kaum muslim liberal berkeberatan terhadap pemberlakukan syariah karena beberapa alasan. Argumen tradisional, yang dipelopori oleh ali abd raziq dan diagungkan oleh Khalaf Allah, menerapkan bentuk silent shari’a: wahyu ilahi menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Nabi Muhammad saw merupakan pemimpin pemerintahan sekaligus juga pemimpin agama, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi  pemerintahan selanjutnya. Karena Al Quran hanya lebih memberikan penekanan pada penciptaan masyarakat yang adil ketimbang ideology Negara, bentuk Negara yang dipilih bukanlah sesuatu yang diamanatkan. Kaum muslimin seharusnya memandang al quran sebagai sebuah bangunan moral yang besar ketimbang sebuah kitab hukum. Dengan demikian, Negara muslim yang baru sesungguhnya adalah Negara sekuler, dengan ketentuan bahwa istilah Negara sekuler tersebut tidak dipahami dalam sebuah pengertian yang negatif. Negara yang demikian dapat melindungi agama dari manipulasi politik oleh kekuasaan Negara.             
b)      Demokrasi.
Muhammad bin al Arbi al alawi berpendapat tentang masalah demokrasi bahwa hak penguasa untuk merumuskan sebuah konstitusi bagi kepentingan diri mereka sendiri yang upaya perwujudannya dengan memaksa rakyat untuk memberikan suaranya merupakan kontradiksi yang menyolok dengan prinsip-prinsip Islam dan bertentangan dengan kepentingan-kepentingan nasional.[22]
Islam hanya menentukan syura(musyawarah) sebagai sebuah metode untuk menentukan pilihan, apapun keadaan yang harus dihadapi, ummah(masyarakat islam)bebas untuk memilih dan menunjuk pemimpin. Prosedur yang sebenarnya diserahkan kepada mereka untuk menentukan sendiri, dan karena itu boleh jadi berbeda dari waktu kewaktu dan dari satu tempat ketempat yang lainnya.[23]            
c)      Mengangkat hak-hak perempuan.
Posisi Islam liberal terhadap hak-hak perempuan, tidak seperti tentang demokrasi yang tidak terlalu banyak disinggung dalam penafsiran-penafsiran oleh para kaum intelektual muslim, melainkan dihadapkan pada sejumlah peryataan Ayat Al Quran dan sunnah yang kelihatannya menunjukkan kontradiksi langsung. Sebagai contoh, Ayat al Qur’an tentang  poligami bagi laki-laki, hak-hak unilateral kaum pria untuk bercerai, hak-hak kewarisan dan otoritas kesaksian hukum pria yang lebih besar. Hadits-hadits tentang jilbab, pemisahan gender, dan ketidaksesuaian kaum perempuan untuk menjadi pemimpin sebuah komunitas muslim. Para cendekiawan liberal menentang pernyataan-pernyataan dengan berbagai cara. Pertama-pertamamemeriksa kembali pernyataan-pernyataan tersebut dan kedua menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan itu tidak benar-benar mengurangi hak-hak kaum perempuan sebagaimana anggapan sebelumnya.[24]               
d)      Menghargai hak-hak non muslim.
Muhammed Talbi menggunakan pendekatan teoretis terhadap topic tentang hubungan antar agama, dan mengemukakan pendapatnya menurut 3 ketiga model islam liberal. Talbi mengutip ajaran ajaran positif mengenai perlakuan yang baik terhadap non muslim.(model liberal shari’a), dia berpendapat bahwa ajaran tentang toleransi memungkinkan pembentukan dialog antar komunitas, tanpa memperhatikan contoh-contoh masa lalu(model liberal shari’a). Dan dia menentang unsur-unsur syariah yang tidak toleran, khususnya mengenai hukuman mati bagi orang murtad, sebagai sesuatu yang potensial menimbulkan keragu-raguan(model interpreted shari’a). Sebagaimana muzaffar, pundato dan yang lainnya, talbi menerjemahkan pandangan liberalnya kedalam aksi politik bergabung dengan kaum liberal dari agama lain dalam dialog umum dan menyerukan untuk mengurangi ketegangan-ketagangan yang bermuatan agama.       
e)      Menghargai kebebasan berfikir.
Pendekatan liberal shari’a tentang kebebasan berfikir menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemikir dan bahwa syariah mendorong kaum muslim untuk melakukan refleksi dan penyelidikan. Kata “kebebasan” ini merupakan kata yang dipilih Tuhan bagi orang-orang yang diberkahi disurga[25].
Sedangkan pendekatan silent shari’a, berdasarkan alasan-alasan prakmatis meperlihatkan bahwa kebebasan berfikir berguna bagi kemajuan intelektual dunia muslim dan karena itu diperbolehkan berdasarkan ajaran-ajaran yang bersifat umum berkaitan wujud komunitas yang baik.
Dibawah karunia kebebasan, masyarakat harus diberikan perlindungan dalam mengembangkan aktifitas penelitian berikut perenungannya. Masyarakat harus diberi kebebasan untuk berfikir dan berpendapat. Masyarakat seperti inilah yang didambakan oleh demokrasi.[26]           
f)        Gagasan tentang ide pembaharuan (kemajuan).
Pada sisi ini, Charles Kurzman memandang bahwa modernitas dan perubahan sebagai perkembangan-perkembangan positif yang potensial. Sikap ini merefleksikan sebuah peralihan kebiasaan yang signifikan dari pandangan tradisional dalam islam, yang memandang sejarah kontemporer sebagai kemunduran dan peralihan yang berkesinambungan dari masa-masa awal pewahyuan yang diagungkan. Dalam konteks ini, kemajuan atau progress hanya berarti sebuah pemulihan praktik-praktik masa lalu.
Sebagaimana dikemukakan oleh rahman, model interpretasi shari’a dalam konteks ini memaksakan penyeragaman penafsiran secara absolute adalah tidak mungkin dan diperlukan. Perbedaan pendapat keberadaannya sangatlah berarti, harus diberi nilai positif yang tinggi. Rahman mengkritik pemikiran islam tradisional yang lebih terikat pada penafsiran masa  lalu ketimbang menghadapi tantangan perubahan.[27]                
b.      Pemikiran Leonard Binder.
Bagi muslim tradisional, bahasa Al Quran merupakan landasan bagi pengetahuan mutlak tentang dunia. Bagi muslim liberal, bahasa AlQur’an sederajat dengan hakekat wahyu, namun isi dan makna pewahyuan pada dasarnya tidak  bersifat harfiah-verbal. Karena kata-kata dalam Al Quran tidak secara langsung mengungkap makna pewahyuan, maka diperlukan upaya pemahaman yang berbasis pada kata-kata, namun yang tidak hanya terbatasi oleh kata-kata, dan mencari  apa yang sesungguhnya hendak di ungkapkan atau diwahyukan melalui bahasa.[28]
Wacana rasional agama islam bertujuan menyelaraskan antara amalan dengan norma/wahyu, sejarah, nalar, atau penafsiran. Sedangkan wacana rasional dalam pemikiran liberal selalu mengarah kepada kesepakatan yang berlandaskan kemauan baik. Pemikiran liberal barat tidak memprediksikan bahwa wacana rasional akan selalu menuju kesepakatan tentang bangun institusi yang sama-yakni demokrasi liberal-namun meyakini bahwa kesinambungan politik-budaya dalam peradaban barat terlaksana berkat upaya yang continue dalam menerapkan wacana rasional, meski dengan pengalaman sejarah yang heterogen.[29]
Keyakinan ini mulai memudar dibawah pengaruh pragmatisme, behaviorisme epistemologis, dan eksistensialisme ontologism, yang pada akhirnya membentuk toleransi menjadi agnotisme dan netralitas moral-terutama yang berkenaan dengan agama dan jati diri keagamaan. Jika masyarakat barat yakin bahwa superioritas moral mereka bersandar pada perpaduan wacana rasional dan praktek politik mereka, maka contoh praksis dari liberal barat akan mendorong adanya interpretasi liberal terhadap ajaran islam. Namun jika baratmulai mergukan superioritas moralnya, maka norma rasionalitas liberal barat tidak lagi dianggap sebagai penjelasan yang meyakinkan mengenai pengalaman politik didunia. Bila demikian praktek-praktek tradisonal Islam tidak lagi perlu dijelaskan panjang lebar atau bahkan sekedar dijelaskan. Adapun yang membedakan dengan praktek barat tidak lain adalah adanya keinginan untuk mempertahankan otentisitas Islam.[30]
a.       Korelasi Antara Liberalism Islam Dengan Liberalism Politik.
Dalam konteks ini, Donald Eugene Smith (1970: 85-6) menyatakan bahwa sekularisasi politik dicirikan oleh:
ü  pemisahan politik dari ideologi agama dan struktur eklesiastikal
ü  ekspansi politik (pemerintahan) untuk menjalankan fungsi-sungsi dalam wilayah sosial ekonomi yang sebelumnya dijalankan oleh struktur keagamaan
ü   transvaluasi kultur politik untuk menekankan tujuan-tujuan temporal non-transenden dan cara rasional pragmatis, yakni nilai-nilai politik secular
ü  dominasi politik atas keyakinan agama, praktik agama dan struktur eklesistikal.[31]
Hal ini menyiratkan bahwa sekularisasi politik dan meminggirkan agama dari politik merupakan prasyarat bagi suatu negara-bangsa untuk bisa memasuki dunia modern dan mencapai kemajuan di bidang ekonomi. Hanya saja, tesis ini tidak sepenuhnya mendapatkan justifikasi otentik secara empiris, karena terdapat banyak Negara yang mencapai tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi dengan tepat setia pada tradisi keagamaan yang mereka anut. Karena itu, kita mesti sependapat bahwa perubahan politik dan sosial yang signifikan tidak akan pernah terjadi dalam masyarakat yang regim penguasanya mengklaim mendapatkan legitimasi oleh simbol-simbol keagamaan, di mana penguasanya diyakini sebagai Ilahiyah atau ekspresi ilahiyah. Karena itu, perubahan atau modernisasi politik sangat tergantung pada desakralisasi atau sekularisasi politik.
b.      Dikotomi antara agama dan politik
Secara kategorial, paling tidak ada tiga paradigma pemikiran politik Islam dalam melihat relasi agama dan negara.[32] Pertama, paradigma integralistik yang mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam adalah din wa dawlah.[33] Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara.
Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan. Menurut pendekatan integralistik, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang komprehensif.
Pada spektrum ini, beberapa kalangan Muslim terutama kalangan fundamentalisnya beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial.[34] Singkatnya, model yang pertama ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek-aspek legalformal idealisme Islam. Konsekuensi dari paradigma ini adalah sistem politik modern diletakkan dalam posisi vis a vis dengan ajaran-ajaran Islam.[35]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam.[36] Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan.
Model pandangan holistikal ini dianut oleh dua kelompok Islam,[37] yaitu: Pertama,  Islam tradisional, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran politik Islam klasik, semisal Rasyid Ridla (1865-1935), kedua, Islam fundamentalis, yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam dan tradisi Nabi secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia, seperti Khurshid Ahmad,16 Muhammad Asad,[38] Muhammad Husayn Fadhlallah,[39] Sayyid Quthb (1906-1966),[40] Abu al-A’la Mawdudi (1903-1979),[41] dan Hasan Turabi.[42]Ketiga, paradigma sekularistik yang menolak kedua paradigma sebelumnya; integralistik dan substantif. Sebagai gantinya, diajukanlah konsep pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata.Dengan perkataan lain, aliran ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan urusan kenegaraan. Para pemikir politik yang masuk dalam kategori paradigma ketiga adalah Ali Abdurraziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973), [43]Ahmad Luthfi Sayyid (1872-1963),[44] kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Sa.id al-Asymawi (Mesir, lahir 1932).[45]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa beberapa paparan diawal, dapat disimpulkan bahwa islam liberal pemikiran Islam liberal yang merupakan satu aliran berpikir baru di kalangan umat Islam. Pemikiran Islam liberal pada berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang non-Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al Qur`an sebagai kitab suci, dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham lain yang berlawanan dengan Islam.
Ciri-ciri pemikiran islam liberal Kebergantungan semata-mata kepada akal manusia bagi memandu kehidupan dunia, dualisme dalam memahami pelbagai realiti dan kebenaran. Contohnya dualisme antara akal dan jasad, dan pemisahan antara kaedah rasionalisme dan empirisisme, penekanan kepada unsur-unsur perubahan dalam  kewujudan yang mempamerkan pandangan alam  (worldview) yang sekuler, Doktrin humanisme yaitu jelmaan ideologi sekuralisme  yang memusatkan penilaian segala-galanya kepada fikiran manusia.
Charles khurzman memperkenalkan gagasannya dengan adanya syari’ah liberal yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu syariah liberal (liberal syari’a),   syariah yang tersembunyi (liberal syari’a), atau syariah yang ditafsirkan (interpreted syari’a). yang beroperasi pada isu-isu system teokrasi dalam Islam, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non muslim, kebebasan berfikir, serta gagasan tentang kemajuan.
Sedangkan leonard binder mengkritik terhadap ideologi-ideologi pembangunan seperti yang dikembangkan oleh marx dan lain-lain yang berfokus pada pembahasan korelasi antara liberalism Islam dengan liberalisme politik, Dikotomi antara agama dan politik. Dan lain sebagainya


DAFTAR RUJUKAN

1        Abu A’la “Pengantar dalam buku Dari Neo-modernisme ke Islam Liberal , , 2003, hal.xi ).
2        Adian Husaini, MA., Nuim Hidayat, Islam Liberal, (Jakarta: GIP, 2004), hal. 2
3        Anis Malik Taha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif, Jakarta, 2002
4        “(Kompas, 18-11-2002, dalam artikel : “Menyegarkan kembali pemahaman Islam”)
5        Alister E. McGrath, The Balckwell Encyclopedia of Modern Christian Thought, Oxford, 1993).
6        Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia, , Jakarta ,2007.
7        Charles khuzman, Wacana Islam LiberalPengantar Islam Dan Konteks Islaminya, paramadina, Jakarta, 2003, hal: xviii
8        Ghulam ahmad perwez, Two Contrasting System, terjemahan dalam Aziz Ahmad dan G.E Von Grune Baum (eds). Muslim Self Statement In India And Pakistan, 1857, 1968(weisbaden, jerman barat: Otto Harras Showitz, 1970. Hal 171.
9        Harorld Laski dan John L. Stanley, The Rise of European Liberalisme, London, 1997, m.s.
10    Henri Munson, Jr Religion And Power In Morocco (New Haven, Conn, Yale University Press, 1993
13    Khalif Muammar, Atas nama kebenaran , m.s. 75.
14    Leonard binder, Islam LiberalKritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta2001Hal 6.
15    Lutfi Syaukani, Merenungkan Sejarah Al Quran, dalam Abd.Muqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal.1.).
16    Muhammad salim al ‘awwa, political pluralism From  an islamic prospective”, dalam azzam tamimi(ed), power sharing islam? London: liberty for muslim word publications, 1993).
17    Muhammad asad, the principles of state  and government in islam(Berkeley: university of calivornia press, 1961) hal 48. 
18    Owen Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir, Februari 2006).
19    Paden dalam Charles khuzman, Wacana Islam LiberalPengantar Islam Dan Konteks Islaminya, paramadina, Jakarta, 2003, hal: iv. 
20    Rahman, artikel, hal 31 dalam Kurzman, hal ix. 
21    Sulaiman al-Khirasyi, Hakikat Liberaliyah wa mauqif Muslim minha, , ha.l 12]
22    Syekh Abdullah al-Khatib dalam kitabnya “al Islam Wa Raddu Ala Hurriyatil Fikri”
23    www. unc.edu/~kurzman/LiberalIslamLink.
24    Yousef al qardawi, Priorities Of The Islamic Movement In The Coming Phase(cairo: dar al nashr for eghyptian universities, 1992, hal: 143-144.


[1] Hakikat Liberaliyah wa mauqif Muslim minha, Sulaiman al-Khirasyi, ha.l 12
[2] Pendapat Owen Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir, Februari 2006).
[3] Adian Husaini, MA., Nuim Hidayat, Islam Liberal, (Jakarta: GIP, 2004), hal. 2
[4] Lebih lanjut rujuk buku 50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia, Budi Handrianto, Jakarta ,2007.
[5] Harorld Laski dan John L. Stanley, The Rise of European Liberalisme, London, 1997, m.s. 15
[6] Khalif Muammar, Atas nama kebenaran , m.s. 75.
[7] Adian Husaini, dalam pengantar buku 50 Tokoh Islam Liberal, Budi Handrianto, m.s.xvii
[8] (Alister E. McGrath, The Balckwell Encyclopedia of Modern Christian Thought, Oxford, 1993).
[9] (lihat laman web.unc.edu/~kurzman/LiberalIslamLink.)

[10] Baca Syekh Abdullah al-Khatib dalam kitabnya “al Islam Wa Raddu Ala Hurriyatil Fikri”
[11] Dr. Anis Malik Taha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif, Jakarta, 2002

[12] “(Kompas, 18-11-2002, dalam artikel : “Menyegarkan kembali pemahaman Islam”)
[13] ”.(Pengantar dalam buku Dari Neo-modernisme ke Islam Liberal , Dr. Abu A’la, 2003, hal.xi ).
[14] (Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama, 2004, m.s. 164 )
[15] (Lutfi Syaukani, Merenungkan Sejarah Al Quran, dalam Abd.Muqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal.1.).

[16] http://en.wikipedia.org/wiki/Leonard_Binder
[17] http://www.international.ucla.edu/person.asp?Facultystaff_ID=216.
[18] Mengenai penyimpangan, “skripturalist liberalism”, lihat binder, Islamic liberalism, hal 244)
[19] Muhammad salim al ‘awwa, political pluralism From  an islamic prospective”, dalam azzam tamimi(ed), power sharing islam? London: liberty for muslim word publications, 1993), hal 72-73. Lihat juga muhammmad S El ‘awa, on the political system  of the Islamic state, 1975, terjemahan oleh ahmed nadji al- imam(Indianapolis, ind american trust publications, 1993)    
[20] Muhammad asad, the principles of state  and government in islam(Berkeley: university of calivornia press, 1961) hal 48.
[21] Yousef al qardawi, Priorities Of The Islamic Movement In The Coming Phase(cairo: dar al nashr for eghyptian universities, 1992, hal: 143-144.
[22] Henri Munson, Jr Religion And Power In Morocco (New Haven, Conn, Yale University Press, 1993, Hal 111
[23] Opcit Al Awwa, Political Pluralism, hal 70
[24] Charles khuzman, Wacana Islam LiberalPengantar Islam Dan Konteks Islaminya, paramadina, Jakarta, 2003, hal: xviii.
[25] Paden dalam Charles khuzman, Wacana Islam LiberalPengantar Islam Dan Konteks Islaminya, paramadina, Jakarta, 2003, hal: iv. 
[26] Ghulam ahmad perwez, Two Contrasting System, terjemahan dalam Aziz Ahmad dan G.E Von Grune Baum (eds). Muslim Self Statement In India And Pakistan, 1857, 1968(weisbaden, jerman barat: Otto Harras Showitz, 1970. Hal 171.
[27] Rahman, artikel, hal 31 dalam Kurzman, hal ix. 
[28] Leonard binder, Islam LiberalKritik Terhadap Ideologi Pembangunan, Pustaka PelajarYogyakarta,2001Hal 6.
[29] Ibid Leonard Binder Hal 6.
[30] Ibid Leonard
[31] Ahmad Nur Fuad, Sekularisasi Politik; Pengalaman Amerika Serikat Dan Dunia Islam, Skripsi,Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[32] Masykuri Abdillah membagi kepada kelompok konservatif, modernis, dan sekuler. Sementara Bahtiar Effendi mengelompokkannya ke dalam dua spektrum pemikiran: formal-idealistik dan substansial-realistik.
[33] Muhammad Yusuf Musa, Nidham al-Hukm fiy al-Islam, (Kairo: dar al-Kitab al-’Arabiy, 1963), h. 18. Bandingkan dengan Abdul Baqi Surur, Dawlah al-Qur`an, (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1972), h. 80
[34] 12Menurut pemahaman mereka, negara Madinah yang dibangun oleh Nabi tidak didasarkan pada batas-batas geografis, ras, warna kulit, atau nasionalitas. Negara ini mewakili kehendak bersama dari sebuah masyarakat penganut Islam yang terorgnaisir dan tidak mengenal klan, suku, nasion yang disebut ummah. Ummah yang menegakkan negara ini pada hakekatnya bersifat supra nasional dan satu-satunya kekuatan pemersatu umat manusia yang berbeda-beda di dalam tradisi, adat kebiasaan, ras, dan nasionalitas adalah wahyu. Baca Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, (Bandung: Pustaka, 1995), h. 172
[35] Dalam konteks sekarang, pemahaman ini tidaklah terlalu mengejutkan meskipun kadang-kadang menghawatirkan. Dunia Islam kontemporer menyaksikan sebagian kaum Muslimin yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi dan politiknya pada ajaran secara eksklusif tanpa menyadari keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya. Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer dengan berbagai istilah, seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam atau fundamentalisme Islam. Dalam konteks negara bangsa yang ada dewasa ini, seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan Indonesia, model formal itu mempunyai perbenturan dengan sistem politik modern.
[36] Ada banyak ayat al-Qur`an yang dapat digunakan untuk mendukung pernyataan ini. Ayat yang paling sering dirujuk adalah al-Qur`an 16:89 yang berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu kitab suci untuk menjelaskan segala sesuatu, dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi mereka yang berserah diri (kepada Allah)”
[37] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, h. 57. Bandingkan dengan Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1
[38] Bagi Asad, yang sebelum memeluk Islam bernama Leopold Weiss, suatu negara dapat menjadi benar-benar islami hanyalah dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang-undang negara. Negara, tandas Asad, merupakan syarat mutlak bagi kehidupan Islam. Dan ia menolak dengan keras bentuk negara sekuler.Pemikiran politiknya dapat dibaca dalam Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam, (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980
[39] Pemikirannya dapat dibaca, antara lain, dalam Muhammad Husayn Fadhlallah, al-Islâm wa Manthiq al-Quwwah, (Beirut: al-Idarah al-Islamiyah, 1986);  al-Harâkah al-Islâmiyyah: Humum wa Naqdiyah, (Beitur: Dar al-Malak, 1990),
[40] Pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb dapat dibaca dalam al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyah fiy al-Islâm, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1967).
[41] Untuk mengetahui pemikiran politiknya, baca antara lain karya-karya [1] Abu al-A’la al-Mawdudi, al-Mabâdi` al-Asâsiyah li al-Dawlah al-Islâmiyah, (Jeddah: Dar al-Sa.udiyah li al-Nasyr wa al-Tawzi., Tanpa Tahun).
[42] Secara lebih lengkap dan utuh, pemikirannya dapat dibaca, antara lain, dalam Hasan Turabi, [1] “The Islamic State” dalam dalam Voices of Resurgent Islam, disunting oleh John L. Esposito, (New York: Oxford University Press, 1983)
[43] Di antara gagasan Thaha Husein adalah [a] kejaan dan kemakmuran dunia Islam dapat terwujud kembali bukan dengan jalan kembali kepada ajaran Islam yang lama, dan juga bukan dengan mengadakan reformasi atau pembaharuan ajaran Islam, tetapi dengan perubahan-perubahan total yang berwatak liberal dan sekular dengan mengacu kepada Barat; [b] dari awal sejarahnya, Islam dan negara memang selalu terpisah. “Umat Islam sadar terhadap suatu prinsip yang sekarang ini telah diakui secara universal bahwa sistem politik dan agama itu dua hal yang terpisah, dan bahwa negara itu didasarkan atas landasan-landasan praktis. Lihat Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, h. 139. Mengomentari pemerintahan Nabi, ia lebih suka menyebut dengan sistem musyawarah, karena dalam kenyataannya, Tuhan memerintahkan Rasul agar bermusyawarah dengan umatnya manakala menghadapi problem-problem keduaniaan. Ia menolak pendapat Husein Haikal yang menyatakan bahwa pemerintahan Nabi dan khalifah empat sebagai pemerintahan demokrasi. Sebab, demokrasi sebagai suatu sistem belum dikenal waktu itu. Lagi pula, pelaksanaan pemerintahannya tidak memenuhi kriteria demokrasi; tidak semua rakyat baik langsung maupun tidak langsung ikut serta dalam pemilihan kepala negara, rakyat tidak berwenang mengawasi dan menuntut tanggung jawab kepala negara, dan tidak ditemukan peraturan yang tetap untuk dapat mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan kepala negara. Lihat, Thaha Husein, al-Fitnah al-Kubra, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu`allafat al-Duktur Thaha Husein, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973), Juz IV, h. 227 dan 218
[44] Luthfi Sayyid lebih menekankan identitas nasional Mesir daripada Islam, dan pemisahan antara agama dan politik, serta perlunya Mesir meniru secara selektif pola politik, ekonomi, dan sosial Barat. Menurutnya, baik pan-islamisme maupun pan-arabisme tidak lagi relevan dengan realitas dunia Islam pada zaman modern ini, yang pada kenyataannya telah terbagi dalam banyak wilayah dan kebangsaan. Lihat Munawir sadzali,Islam dan Tata Negara, h. 138
[45] Muhammad Sa.id al-Asymawi, seorang hakim dan penulis Mesir terkemuka, menyatakan bahwa banyak di antara kegagalan masa lalu dalam sejarah Islam disebabkan oleh tercampur aduknya agama dan politik. Dengan berani dan tanpa ragu ia mengatakan, “Allah bermaksud menjadikan Islam sebagai sebuah agama, sementara orang-orang (al-nas) memahaminya bermakna politik. Dalam syari.at Islam, tidak ada sesuatu yang memaksa seseorang untuk mengikatkan agama ke dalam sebuah bentukan negara” Syari’ah tidak berhubungan dengan bentuk pemerintahan tertentu. Pemikiran politiknya dapat dibaca dalam Muhammad Sa’id al-Asymawi, al-Islâm al-Siyâsiy, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992); al-Khilâfah al-Islâmiyah, (Kairo: Sina li al-Nayr, 1990

No comments:

Post a Comment