Islam
Liberal dalam Kajian Islam
BAB 1
PENDAHULUAN
1) Latar
Belakang.
Setiap
produk pemikiran, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari epistemology
ataucara pandang mereka terhadap suatu objek tertentu berdasarkan kerangka
keilmuan yang menjadi pisau analisisnya. Dari cara pandang tersebut nantinya
akan mengasilkan buah pemikiran. Keteguhan seseorang dalam mempertahankan
argumentasinya akan tercermin apabila produk pemikirannya mampu memberikan
dampak perubahan cara pandang terhadap orang lain. Seperti halnya para filosof
terdahulu, bahwa diantara mereka saling memberikan kontribusi dan pengaruh
pemikiran terhadap filusuf yang lainnya.
Dalam
konteks Islam, Kajian pemikiran dalam Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk
membuka kerangka berfikir dalam memperoleh khazanah ilmu pengetahuan baru yang
pada titik endingnya kemudian mendapatkan kearifan, baik secara pemikiran
maupun tindakan. Dalam percaturan pemikiran Islam selama ini, disatu sisi
dinilai bahwa hal demikan adalah suatu keharusan, dengan harapan membangkitkan
semangat dalam memahami pesan moral Ilahi yang secara aksiologis bermanfaat
untuk kehidupan manusia. Dari kebodohan menuju berpengetahuan dan berkeadaban.
Namun disisi lain, justru pemikiran yang tidak terkontrol, akan memiliki dampak
negatif terhadap gaya berfikir seseorang, sehingga antara satu dengan yang
lainnya saling klaim kebenaran dan menjatuhkan.
Sebagai
sebuah contoh, berkembangnya pemikiran islam liberal ditengah-tengah kehidupan
bermasyarakat dalam keberagama’an merupakan suatu indikasi tentang hidupnya
pemikiran dalam Islam. Disatu sisi dinilai hal tersebut baik untuk perkembangan
umat yang taraf berfikirnya sudah terkontrol, namun menjadi tidak baik apabila
hal tersebut menghilangkan esensi atau nilai social yang berujung pangkal pada
saling mengkafirkan antara satu dengan yang lain.
Bertolak
dari pemahaman tersebut, yang menjadi titik tekan sbenarnya adalah bagaimana
Islam sebagai agama yang bersifat dinamis, mampu memposisikan Islam sebagai
motivasi pemikiran, tindakan serta control terhadap pelbagai fenomena social
yang menggejala. Walaupun keberadaannya menurut para pemikir Islam adalah
statis, dengan anggapan tersebut perlunya adanya paradigma dan gerakan baru
untuk membangkitkan Islam dari kungkungan.
Oleh
karenya Islam liberal tampil sebagai upaya memberikan motivasi untuk membangun
kerangka paradigmatik yang akan mendinamiskan Islam dalam berbagai segi.
Sehingga hadirnya memberikan pencerahan terhadap stagnasi pemikiran
umat.
2) Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
Pengertian Islam liberal?
b. Bagaimana
Islam liberal?
c. Bagaimana
ciri-ciri pemikiran islam liberal?
d. Pendapat
charles kurzman dan Leonard Binder mengenai islam liberal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Difinisi
Islam Liberal.
Istilah
Islam Liberal disusun dari dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Islam
maksudnya adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw.
Dan Liberal yang artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu
istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa
Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini
kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya danLiberte dalam
bahasa prancisnya yang bermakna bebas.[1]
Setelah
dua kata ini disusun, kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap Islam,
sehingga bisa secara singkat bisa dikatakan islam yang liberal atau bebas.
Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk
untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kejumudan.
Lebih lanjut Menurut Owen Chadwik Kata
“Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari
berbagai batasan” (free from restraint).[2]Seandainya
kita sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui
dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total.
‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat
dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas.
Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan
manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi,
bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.[3]
Menurut
Luthfie juga, istilah “Islam Liberal” mulai dipopulerkan sejak tahun 1950-an.
Di Timur Tengah, akar-akar gerakan liberalisme Islam bisa ditelusuri hingga
awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah
al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai.
Sampai
sekarang komunitas Islam Liberal makin melebarkan sayapnya hingga ke
perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Dampak hadirnya Islam Liberal
kita bisa lihat lewat peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti penghinaan
terhadap Tuhan (Allah), penyalah gunaan tafsir alqur’an yang mengandalkan akal
semata, sampai kesalahan dalam menerapkan syari’at Islam.
Istilah
Islam Liberal ini diperkenalkan oleh seorang intelektual asal India, Asaf 'Ali
Asghar Fyzee, pada tahun 1950-an. Pada salah satu tulisannya dia
menuliskan, ”Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur”. Tetapi
jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu 'Islam
liberal” Kemudian istilah ini dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg
barton, Leonard Binder dan Charles Kurzman. Kemudian wacana ini lebih
dipertajam lagi dengan munculnya jaringan Islam Liberal yang dikomandani oleh
Ulil Abshar Abdala.
Dari
sekian penulis, Kurzman lah yang paling jelas dalam mendefinisikan Islam
liberal. Kurzman mengidentifikasi liberal Islam dengan empat agenda Dalam
pendangannya Islam liberal ditandai dengan beberapa agenda, yaitu pluralisme,
demokratisasi dan sekularisasi, feminisme dan kesetaraan gender, serta
re-interpretasi fiqh (syari’ah) dengan interpretasi yang liberal.
Dari
empat agenda pokok tersebut di atas, kita bisa melihat beberapa program Islam
Liberal dengan beberapa ciri lainnya, antara lain :
a. Menolak
penerapan hukum syari’at dalam kehidupan, tetapi mendorong kehidupan sekular,
yakni pemisahan agama dari kehidupan bernegara.
b. Memperjuangkan
emansipasi wanita, sehingga wanita benar-benar setara dengan lelaki
c. Menganggap
semua agama adalah baik dan benar
d. Menolak
hukum-hukum fiqh yang sudah mapan
e. Menganggap
al-Qur’an sebagai produk budaya, bukan wahyu yang sacral.
B. Sejarah
Islam Liberal
Islam
liberal pada mulanya diperkenalkan oleh buku “Liberal Islam : A Source
Book” yang ditulis oleh Charles Kuzman (London, Oxford University
Press, 1988) dan buku “Islamic Liberalism : A Critique of Development
Ideologies ” yang ditulis oleh Leonard Binder (Chicago, University of
Chicago Press, 1998). Walaupun buku ini terbit tahun 1998, tetapi idea yang
mendukung liberalisasi telah muncul terlebih dahulu seperti gerakan modernisasi
Islam, gerakan sekularisasi dan sebagainya. Oleh sebab itu walaupun Jaringan
Islam Liberal di Indonesia bermula tahun 2001, tetapi idea-idea Islam Liberal
di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970 dengan munculnya idea sekularisasi dan
modernisasi Islam yang dibawa oleh Nurkholis Majid, Harun Nasution, Mukti Ali,
dan kawan- kawannya[4]
Gerakan
liberalisme ini sebenarnya adalah pengaruh dari pada falsafah liberalisme
yang berkembang di negara Barat yang telah masuk ke dalam seluruh bidang
kehidupan seperti liberalisme ekonomi, liberalism budaya, liberalisme politik,
dan liberalisme agama. Gerakan Liberalisme di Barat bermula dengan gerakan
reformasi yang bertujuan menentang kekuasaan Gereja, menghadkan kekuasaan
politik, mempertahankan pemilikan serta menetapkan hak asasi manusia.[5] Gerakan
liberalisme tersebut masuk ke dalam bidang agama, sebagai contoh gerakan
reformasi Inggris bertujuan untuk menghapuskan ketuanan dan kekuasaan golongan
agama (papal jurisdiction) dan menghapuskan cukai
terhadap gereja (clerical taxation). Oleh sebab itu gerakan
liberalisme berkait rapat dengan penentangan terhadap agama dan sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh golongan agama (gereja) atau raja-raja yang
memerintah atas nama Tuhan.[6]
Gerakan
liberalisasi agama ini telah lama meresap ke dalam agama Yahudi dan Kristian.
Contohnya, Gerakan Yahudi Liberal (Liberal Judaism) telah muncul pada abad
ke-19 sebagai usaha menyesuaikan dasar-dasar agama yahudi dengan nilai-nilai
zaman pencerahan (Enlightenment) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti
sains. Organisasi Yahudi Liberal diasaskan pada tahun 1902 oleh orang yahudi
yang memiliki komitmen terhadap falsafah liberal dengan tujuan mempercayai
kepercayaan dan tradisi Yahudi dalam dunia kontemporer. Akibatnya daripada
pemahaman liberal tersebut maka daripada 31 pemimpin agama yang tergabung dalam
persatuan Rabbi Yahudi Liberal (Liberal Judaism’s Rabbinic Conference) terdapat
empat orang rabbi lesbian dan dua orang rabbi gay.[7]
Dalam
agama Kristian juga terdapat golongan Kristian Liberal, di mana mereka
melakukan rekonstruksi keimanan dan hukum dengan menggunakan metode
sosio-historis dalam agama (mengubah prinsip iman dan hukum agama sesuai dengan
perkembangan masyarakat), sehingga Charles A. Briggs, seorang Kristian Liberal
menyatakan : “It is sufficient that Bibel gives us the material for all
ages, and leaves to an the noble task of shaping the material so as to suit the
wants of his own time”[8]
Akhir-akhir
ini pengaruh liberalisme yang telah terjadi dalam agama Yahudi dan
Kristian mulai diikuti oleh sekumpulan sarjana dan pemikir muslim seperti yang
dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir), Muhammad Arkoun (Al Jazair),
Abdulah Ahmed Naim (Sudan), Asghar Ali Enginer (India), Aminah Wadud (Amerika),
Noorkholis Madjid, Syafii Maarif, Abdurrahman Wahid, Ulil Absar Abdalla
(Indonesia), Muhamad Shahrour (Syria), Fetima Mernisi (Marocco) Abdul Karim
Soroush (Iran), Khaled Abou Fadl (Kuwait) dan lain-lain. Di samping itu
terdapat banyak kelompok diskusi, dan institusi seperti Jaringan Islam Liberal
(JIL – Indonesia), Sister in Islam (Malaysia) hampir di seluruh negara Islam[9]
Golongan
Islam Liberal tidak menzahirkan diri mereka sebagai orang yang menolak agama,
tetapi berselindung di sebalik gagasan mengkaji semula agama, mentafsir semula
al-Quran, menilai semula syariat dan hukum- hukum fiqih. Mereka menolak
segala tafsiran yang dianggap lama dan kolot mengenai agama termasuk hal yang
telah menjadi ijmak ulama, Termasuk tafsiran dari pada Rasulullah dan sahabat
serta ulama mujtahid. Bagi mereka agama hendaklah disesuaikan kepada realita
semasa, sekalipun terpaksa menafikan hukum-hukum dan peraturan agama yang telah
sabit dengan nas-nas syara’ secara putus (qat’ie). Jika terdapat hukum yang
tidak menepati zaman, kemodenan, hak-hak manusia, dan tamadun global, maka
hukum itu hendaklah ditakwilkan atau sebolehnya digugurkan.
Gerakan
Islam Liberal sebenarnya adalah lanjutan dari pada gerakan modernisme Islam
yang muncul pada awal abad ke-19 di dunia Islam sebagai suatu konsekuensi
interaksi dunia Islam dengan tamaddun barat. Modernisme Islam tersebut
dipengaruhi oleh cara berfikir barat yang berasaskan kepada rasionalisme,
humanisme, sekularisme dan liberalisme.
Konsep
ini mencerminkan jiwa yang tidak beriman kerana kecewa dengan agama. Konsep
tragedi ini mengakibatkan mereka asyik berpandu kepada keraguan, dan dalam
proses ini falsafah telah diiktiraf sebagai alat utama menuntut kebenaran yang
tiada tercapai.
C. Ciri-Ciri
Pemikiran Islam Liberal.
Adapun
ciri-ciri pemikiran islam liberal menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,
cara berfikir barat tersebut terdiri dari pada lima sifat yang saling
kait-mengait :
1. Kebergantungan
semata-mata kepada akal manusia bagi memandu kehidupan dunia.
2. Dualisme
dalam memahami pelbagai realiti dan kebenaran. Contohnya dualisme antara akal
dan jasad, dan pemisahan antara kaedah rasionalisme dan empirisisme.
3. Penekanan
kepada unsur-unsur perubahan dalam kewujudan yang mempamerkan
pandangan alam (worldview) yang sekuler.
4. Doktrin
humanisme yaitu jelmaan ideologi sekuralisme yang memusatkan penilaian
segala-galanya kepada fikiran manusia.
5. Konsep
tragedi yang menyusup dalam setiap arena kehidupan baik falsafah, agama, atau
kesenian.
Konsep
ini mencerminkan jiwa yang tidak beriman kerena kecewa dengan agama. Konsep
tragedi ini mengakibatkan mereka asyik berpandu kepada keraguan, dan dalam
proses ini falsafah telah diiktiraf sebagai alat utama menuntut kebenaran yang
tiada tercapai.
Leonard
Binder, penulis buku Islamic Liberalism dan seorang pakar
politik beragama Yahudi dari Universiti Chicago mengakui bahwa sekularisme
sebenarnya telah gagal di Timur Tengah (dunia Islam), oleh sebab itu kini barat
memberikan konsep Islam Liberal untuk memperkuat liberalisme politik di
negara-negara muslim. Buku ini (Islamic liberalism)mempersoalkan
kemungkinan wujudnya Islam Liberal dan menyimpulkan bahawa tanpa liberalisme
Islam yang kuat, maka liberalisme politik di Timur Tengah tidak akan berhasil.
Disisi
lain ciri-ciri pemikiran Islam Liberal menurut Khalif Muammar adalah :
1. Rasionalisme
dan Sekularisme.
2. Penolakan
terhadap syariah.
3. Pluralisme
Agama.
4. Penolakan
terhadap autoriti keagamaan.
5. Kebebasan
mentafsirkan teks-teks agama Islam.
6. Tiada
dakwaan kebenaran (faham relativisme).
7. Mempromosikan
nilai-nilai Barat.
8. Pembebasan
Wanita.
9. Mendukung
demokrasi liberal sepenuhnya
Oleh
sebab itu menurut Syekh Abdullah al-Khatib dalam kitabnya “al Islam wa
raddu ala hurriyatil fikri” menyatakan bahawa golongan yang berfikiran
bebas mempunyai agenda tersembunyi yaitu :
1. Untuk
menggugurkan agama secara sepenuhnya dari pada masyarakat iaitu
memisahkan agama dari pada pendidikan, menjauhkan syariat Islam dari pada
kedudukannya sebagai sumber perundangan dan mengasaskan ekonomi di atas dasar
riba.
2. Untuk
menjauhkan fikrah atau pemikiran manusia daripada setiap yang mempunyai kaitan
dengan ruh, wahyu dan alam ghaib dan daripada segala ikatan dengan akhlak,
akidah dan keimanan kepada Allah.
3. Untuk
memartabatkan ketuhanan akal, kebendaan, dan ketidakpercayaan kepada agama dan
wahyu (ilhad) dalam setiap urusan kehidupan dan menjadikan Islam hanya sebagai
agama rohani semata-mata dan menolak agama sebagai penentu dan pencorak
perjalanan hidup bermasyarakat[10]
D. Sasaran
Islam Liberal.
Menurut
Adian Husaini, ada tiga bidang dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran
liberalisasi yaitu : Liberalisasi bidang akidah dengan penyebaran faham
Pluralisme agama, liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi
ijtihad,, liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap
al-Quran.
a. Liberalisasi Akidah
Liberalisasi
akidah dilakukan dengan menyebarkan faham Pluralisme agama, yaitu faham yang
meyakini bahawa semua agama adalah sama-sama benar, dan merupakan jalan untuk
menuju kepada Tuhan yang sama.[11]
Ulil
Absar Abdallah, penyelia Jaringan Islam Liberal di Indonesia menyatakan bahawa
“ Semua agama adalah sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan
agama yang paling benar. (Majalah Gatra, 21 Desember 2002). Ulil Absar juga
menulis : “Dengan tanpa rasa segan dan malu saya mengatakan bahwa semua agama
adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha
Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan
kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan keagamaan itu. Semua
agama ada dalam satu keluarga besar yang sama : yaitu keluarga pencinta jalan
menuju kebenaran yang tak pernah ada hujungnya.[12]
b. Liberalisasi
Syariah.
Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Greg Barton bahwa antara tujuan Islam Liberal adalah
merubah hukum-hakam agama Islam sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Oleh sebab itu pemahaman al-Quran harus disesuaikan dengan perkembangan
zaman sebagaimana dinyatakan oleh Azyumardi Azra, mantan rektor Universitas
Islam Negeri Jakarta (dulu bernama IAIN Jakarta) : “Al-Quran menunjukkan bahawa
risalah Islam – disebabkan keuniversalannya adalah selalu sesuai dengan
lingkungan budaya apapun, sebagaimana (pada saat turunnya)itu disesuaikan
dengan kepentingan lingkungan Semenanjung Arab. Oleh itu al-Quran harus selalu
dikontekstualisasikan (disesuaikan) dengan lingkungan budaya penganutnya,
dimanapun saja ”.[13]
Liberalisasi
dalam aspek syariah contohnya “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan
wanita muslimah merupakan urusan ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu,
di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, di mana jumlah umat Islam
tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang
terlarang. Oleh kerana kedudukannya sebagai hukum yang lahir dari proses
ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru bahawa wanita
muslimah boleh menikah dengan laki-laki non muslim atau pernikahan berlainan
agama secara lebih luas amat dibolehkan apapun agama dan aliran
kepercayaannya”.[14]
c. Liberalisasi
Al-Quran.
Islam
Liberal juga menggugat kesucian kitab suci al-Quran dengan melakukan studi
kritis terhadap al-Quran. Lutfi Syaukani, pengasas Jaringan Islam Liberal di
Jakarta mengatakan :”Sebahagian besar kaum muslimin meyakini bahwa al-Quran
dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad secara langsung baik dalam lafaz maupun dalam makna. Kaum
muslimin juga meyakini bahwa al-Quran yang mereka lihat dan baca hari ini
adalah hampir sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat
ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi
dan angan-angan teologis (alkhayal al-diniy), yang dibuat oleh para ulama
sebagai sebagian dari pada doktrin Islam. Hakikat sejarah penulisan al-Quran
sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai keadaan yang kacau dan tidak lepas
dari perdebatan, pertentangan, tipu daya dan rekayasa ”.[15]
E. Pokok
pokok pikiran Charles Kurzman dan Leonard Binder
1. Biografi
Charles khurzman dan Leonard Binder
a. Charles
Kurzman.
Charles
kurzman lahir di Charles Kurzman adalah seorang profesor sosiologi di
University of North Carolina di Chapel Hill dan co-direktur Pusat Carolina
untuk Studi Timur Tengah dan Peradaban Islam. Dia adalah penulis The Martir
Hilang (2011), Demokrasi Ditolak, 1905-1915 (2008), dan Revolusi terpikirkan di
Iran (2004), dan editor antologi Islam Liberal (1998) dan Islam Modernis,
1840-1940 (2002 ).
b. Leonard
Binder.
Leonard Binder (lahir 20
Agustus 1927) adalah seorang ilmuwan politik Amerika.Dia
adalah seorang profesor terkemuka ilmu politik dan mantan
direktur Pusat Timur Dekat di University of California, Los
Angeles (UCLA). Binder juga Ketua Departemen Ilmu
Politik dari UCLA dan University of Chicago. Dia
dipilih mahasiswa FellowAmerican Academy of Arts dan Ilmu
Pengetahuan pada tahun 2002[16]
Leonard
Binder adalah seorang spesialis yang dikenal secara internasional pada politik
Timur Tengah dan pemikiran politik Islam. Jabatan profesor di Departemen ini
didukung oleh UCLA Institut Internasional administrasi di UCLA. Dia adalah
anggota pendiri dan telah menjabat sebagai Presiden Asosiasi Studi Timur Tengah
Amerika Utara (MESA). Dia telah menjadi anggota dari kedua Politik Perbandingan
dan Studi Timur Tengah komite dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial. Dia telah Ford
Foundation Fellow Wilayah Luar Negeri, dan telah memegang beasiswa dari
Rockefeller Foundation, Sosial Science Research Council, National Endowment for
the Humanities, Woodrow Wilson Foundation, Pusat Studi Lanjutan dalam Ilmu
Perilaku, dan Institute for Advanced Study di Yerusalem. Dia telah menjabat
sebagai Ketua departemen di kedua Universitas Chicago dan UCLA. Dia telah
melakukan penelitian lapangan di Mesir, Iran, Lebanon, Tunisia, dan Pakistan.
Profesor Binder adalah penulis Agama dan Politik di Pakistan (1961), Iran:
Pembangunan Politik dalam Masyarakat yang Berubah (1962), Revolusi ideologi di
Timur Tengah (1964), Dalam Momen Antusiasme: Kekuasaan Politik dan Stratum
kedua di Mesir (1978), dan Liberalisme Islam (1988). Profesor Binder adalah
anggota dari kedua Studi Islam dan Timur Dekat Program StudiInterdisipliner.[17]
2. Gagasan-gagasan
Liberal Charles khurzman dan Leonard Binder
a. Pemikiran
Charles Kurzman
Charles
khurzman memperkenalkan gagasannya dengan adanya syari’ah liberal yang dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu syariah liberal (liberal
syari’a), syariah yang tersembunyi (liberal syari’a), atau
syariah yang ditafsirkan (interpreted syari’a).
1) Syariah
liberal (Liberal Shari’a)
Bentuk
yang pertama ini menyatakan bahwa syariah itu bersifat liberal pada dirinya
sendiri jika dipahami secara tepat. Sebagai contoh, Ali Bullac(Turki, Lahir
1951), salah seorang islamis liberal terkemuka diturki yang dalam
artikel-artikel yang belum diterjemahkan sebelumnya berpendapat bahwa piagam
madinah, dimana Rasulullah menjamin hak-hak non muslim untuk hidup dibawah
pemerintahan muslim, menghadirkan sebuah contoh bagaimana syariah memecahkan
sebuah masalah-masalah. Leonard binder mengajukan tiga penjelasan. Pertama,
liberal syariah menghindari tuduhan-tuduhan ketidak otentikan otentisitas
dengan mendasarkan posisi liberal secara kuat dalam sumber islam
ortodoks. Kedua, liberal syariah menyatakan bahwa
posisi-posisi liberal bukan sekedar pilihan-pilihan manusia, melainkan
merupakan perintah Tuhan(yang membawa posisi menyimpang, yang juga membuat
liberalism barat menyimpang dan juga membuat liberalime barat menderita, yang
melakukan pembenaran atas liberalime dengan merujuk pada referensi liberalism,
seperti hak-hak yang diberikan Tuhan.[18] Ketiga liberal
syariah itu memberikan rasa bangga akan penemuan yang dihasilkan; Charles
khuzman mengatakan bahwa liberal islam lebih tua dari pada leberalisme barat.
Liberalism islam merupakan sebuah strategi retorika yang dikalangan orang yang
terlalu sering menginternalisasi citra orang-orang barat tentang inferioritas
dan keterbelakangan.
2) Syariah
yang diam(Silent Shari’a).
Bentuk
argumentasi liberal Islam yang kedua berpandangan bahwa syariah tidak
memberikan jawaban yang jeas mengenai topic-topik tertentu, muhammmad salim
al-a’wa(mesir, kontemporer, sarjana hukum) meringkaskan pendekatan ini sebagai
berikut:
Jika
islam tidak” menyebutkan sesuatu, hal ini menunjukakan satu dari dua hal:
apakaah hal ini tdak disebutkan dalam sumber-sumber tradisional manapun atau
kaum muslim tidak pernah mempraktekkannya sepanjang masa. Dalam kasus yang
pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu dibolehkan. Pengecualian
terhadap peraturan ini hanya berlaku dalan ibadah. Dalam kasus kedua,
merupakan hal yang ilmiyah bahwa kaum muslim seharusnya tanggap terhadap
perubahan setiap waktu dan tempat.[19]
Silent
sari’ah bersandar pada tafsir Al quran untuk membentuk
pemikiran utamanya. Namun, beban pembuktiannya sedikit lebih ringan,
dibandingkan dengan liberal syariah yang hanya perlu menunjukkan
perintah-perintah positif bagi kemampuan pembentukan manusia secara abstrak,
ketimbang praktek-praktek liberal secara khusus. Maka, ia memindahkan seluruh
wilayah tindakan manusia dari wilayah kesarjanaan al qur’an, dimana
pendidikan-pendidikan ortodok memiliki keuntungan yang berbeda, dan
menempatkannya dalam wilayah perdebatan publik.
3) Syariah
yang ditafsirkan(interpreted sharia).
Bentuk
ketiga, argumentasi islam liberal yang paling dekat pada perasaan atau pikiran
–pikiran liberal barat, berpendapat bahwa syariah ditengahi oleh pemikiran
manusia. Dalam pandangan ini, syariah merupakan hal yang berdimensi ilahiyah,
sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan
kekeliruan. Kesimmpulan semacam ini sangat rentan terhadap tuduhan-tuduhan
relatifisme. Namun, kaum liberal seperti Muhammad as’ad lahir 1900 mepergunakan
sumber-sumber pelaksanaan syariah seperti hadits Rasulullah SAW: “
Perbedaan-perbedaan dikalangan umatmu yang terpelajar merupakan rahmat Tuhan.[20]
Basis
syariah yang ditafsirkan ini bersifat normatif. Yusuf Qardawi misalnya
membenarkan keaneka ragaman pendapat itu dalam persoalan persoalan praktis,
misalnya:
“Ketakutan
saya yang paling buruk terhadap gerakan islam adalah bahwa gerakan itu
menentang para pemikir bebas dikalangan pengikutnya serta menutup pintu bagi
pembaharuan dan ijtihad, membatasi dirinya sendiri dengan hanya satu jenis
pemikiran yang tidak menerima sudut pandang yang lain. Hasil akhir bagi
pergerakan tersebut adalah kehilangan pikiran-pikiran kreatifnya dan akhirnya
mengalami stagnasi.”[21]
Dari
pembagian liberalisasi syariah diatas, apabila dioperasionalkan dengan berbagai
problem-problem atau isu-isu kemanusiaan dalam konteks kenegaraan,
kemasyarakatan dan keagamaan, dan keilmuan, seperti adanya system teokrasi
dalam Islam, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non muslim, kebebasan berfikir,
serta gagasan tentang kemajuan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Menentang
teokrasi.
Kaum
muslim liberal berkeberatan terhadap pemberlakukan syariah karena beberapa
alasan. Argumen tradisional, yang dipelopori oleh ali abd raziq dan diagungkan
oleh Khalaf Allah, menerapkan bentuk silent shari’a: wahyu ilahi
menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia. Nabi
Muhammad saw merupakan pemimpin pemerintahan sekaligus juga pemimpin agama,
tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan
selanjutnya. Karena Al Quran hanya lebih memberikan penekanan pada penciptaan
masyarakat yang adil ketimbang ideology Negara, bentuk Negara yang dipilih
bukanlah sesuatu yang diamanatkan. Kaum muslimin seharusnya memandang al quran
sebagai sebuah bangunan moral yang besar ketimbang sebuah kitab hukum. Dengan
demikian, Negara muslim yang baru sesungguhnya adalah Negara sekuler, dengan
ketentuan bahwa istilah Negara sekuler tersebut tidak dipahami dalam sebuah
pengertian yang negatif. Negara yang demikian dapat melindungi agama dari
manipulasi politik oleh kekuasaan
Negara.
b) Demokrasi.
Muhammad
bin al Arbi al alawi berpendapat tentang masalah demokrasi bahwa hak penguasa
untuk merumuskan sebuah konstitusi bagi kepentingan diri mereka sendiri yang
upaya perwujudannya dengan memaksa rakyat untuk memberikan suaranya merupakan
kontradiksi yang menyolok dengan prinsip-prinsip Islam dan bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan nasional.[22]
Islam
hanya menentukan syura(musyawarah) sebagai sebuah metode untuk menentukan
pilihan, apapun keadaan yang harus dihadapi, ummah(masyarakat
islam)bebas untuk memilih dan menunjuk pemimpin. Prosedur yang sebenarnya
diserahkan kepada mereka untuk menentukan sendiri, dan karena itu boleh jadi
berbeda dari waktu kewaktu dan dari satu tempat ketempat yang lainnya.[23]
c) Mengangkat
hak-hak perempuan.
Posisi
Islam liberal terhadap hak-hak perempuan, tidak seperti tentang demokrasi yang
tidak terlalu banyak disinggung dalam penafsiran-penafsiran oleh para kaum
intelektual muslim, melainkan dihadapkan pada sejumlah peryataan Ayat Al Quran
dan sunnah yang kelihatannya menunjukkan kontradiksi langsung. Sebagai contoh,
Ayat al Qur’an tentang poligami bagi laki-laki, hak-hak unilateral
kaum pria untuk bercerai, hak-hak kewarisan dan otoritas kesaksian hukum pria
yang lebih besar. Hadits-hadits tentang jilbab, pemisahan gender, dan
ketidaksesuaian kaum perempuan untuk menjadi pemimpin sebuah komunitas muslim.
Para cendekiawan liberal menentang pernyataan-pernyataan dengan berbagai
cara. Pertama-pertamamemeriksa kembali pernyataan-pernyataan
tersebut dan kedua menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan
itu tidak benar-benar mengurangi hak-hak kaum perempuan sebagaimana anggapan
sebelumnya.[24]
d) Menghargai
hak-hak non muslim.
Muhammed
Talbi menggunakan pendekatan teoretis terhadap topic tentang hubungan
antar agama, dan mengemukakan pendapatnya menurut 3 ketiga model islam liberal.
Talbi mengutip ajaran ajaran positif mengenai perlakuan yang baik terhadap non
muslim.(model liberal shari’a), dia berpendapat bahwa ajaran tentang toleransi
memungkinkan pembentukan dialog antar komunitas, tanpa memperhatikan
contoh-contoh masa lalu(model liberal shari’a). Dan dia menentang unsur-unsur
syariah yang tidak toleran, khususnya mengenai hukuman mati bagi orang murtad,
sebagai sesuatu yang potensial menimbulkan keragu-raguan(model interpreted
shari’a). Sebagaimana muzaffar, pundato dan yang lainnya, talbi menerjemahkan
pandangan liberalnya kedalam aksi politik bergabung dengan kaum liberal dari
agama lain dalam dialog umum dan menyerukan untuk mengurangi
ketegangan-ketagangan yang bermuatan
agama.
e) Menghargai
kebebasan berfikir.
Pendekatan liberal
shari’a tentang kebebasan berfikir menyatakan bahwa Tuhan menciptakan
manusia untuk menjadi pemikir dan bahwa syariah mendorong kaum muslim untuk
melakukan refleksi dan penyelidikan. Kata “kebebasan” ini merupakan kata yang
dipilih Tuhan bagi orang-orang yang diberkahi disurga[25].
Sedangkan
pendekatan silent shari’a, berdasarkan alasan-alasan prakmatis
meperlihatkan bahwa kebebasan berfikir berguna bagi kemajuan intelektual dunia
muslim dan karena itu diperbolehkan berdasarkan ajaran-ajaran yang bersifat
umum berkaitan wujud komunitas yang baik.
Dibawah
karunia kebebasan, masyarakat harus diberikan perlindungan dalam mengembangkan
aktifitas penelitian berikut perenungannya. Masyarakat harus diberi kebebasan
untuk berfikir dan berpendapat. Masyarakat seperti inilah yang didambakan oleh
demokrasi.[26]
f)
Gagasan tentang ide pembaharuan
(kemajuan).
Pada
sisi ini, Charles Kurzman memandang bahwa modernitas dan perubahan sebagai
perkembangan-perkembangan positif yang potensial. Sikap ini merefleksikan
sebuah peralihan kebiasaan yang signifikan dari pandangan tradisional dalam
islam, yang memandang sejarah kontemporer sebagai kemunduran dan peralihan yang
berkesinambungan dari masa-masa awal pewahyuan yang diagungkan. Dalam konteks
ini, kemajuan atau progress hanya berarti sebuah pemulihan praktik-praktik masa
lalu.
Sebagaimana
dikemukakan oleh rahman, model interpretasi shari’a dalam konteks ini
memaksakan penyeragaman penafsiran secara absolute adalah tidak mungkin dan
diperlukan. Perbedaan pendapat keberadaannya sangatlah berarti, harus diberi
nilai positif yang tinggi. Rahman mengkritik pemikiran islam tradisional yang
lebih terikat pada penafsiran masa lalu ketimbang menghadapi
tantangan perubahan.[27]
b. Pemikiran
Leonard Binder.
Bagi
muslim tradisional, bahasa Al Quran merupakan landasan bagi pengetahuan mutlak
tentang dunia. Bagi muslim liberal, bahasa AlQur’an sederajat dengan hakekat
wahyu, namun isi dan makna pewahyuan pada dasarnya tidak bersifat
harfiah-verbal. Karena kata-kata dalam Al Quran tidak secara langsung
mengungkap makna pewahyuan, maka diperlukan upaya pemahaman yang berbasis pada
kata-kata, namun yang tidak hanya terbatasi oleh kata-kata, dan
mencari apa yang sesungguhnya hendak di ungkapkan atau diwahyukan
melalui bahasa.[28]
Wacana
rasional agama islam bertujuan menyelaraskan antara amalan dengan norma/wahyu,
sejarah, nalar, atau penafsiran. Sedangkan wacana rasional dalam pemikiran
liberal selalu mengarah kepada kesepakatan yang berlandaskan kemauan baik.
Pemikiran liberal barat tidak memprediksikan bahwa wacana rasional akan selalu
menuju kesepakatan tentang bangun institusi yang sama-yakni demokrasi
liberal-namun meyakini bahwa kesinambungan politik-budaya dalam peradaban barat
terlaksana berkat upaya yang continue dalam menerapkan wacana
rasional, meski dengan pengalaman sejarah yang heterogen.[29]
Keyakinan
ini mulai memudar dibawah pengaruh pragmatisme, behaviorisme epistemologis, dan
eksistensialisme ontologism, yang pada akhirnya membentuk toleransi menjadi
agnotisme dan netralitas moral-terutama yang berkenaan dengan agama dan jati
diri keagamaan. Jika masyarakat barat yakin bahwa superioritas moral mereka
bersandar pada perpaduan wacana rasional dan praktek politik mereka, maka
contoh praksis dari liberal barat akan mendorong adanya interpretasi liberal
terhadap ajaran islam. Namun jika baratmulai mergukan superioritas moralnya,
maka norma rasionalitas liberal barat tidak lagi dianggap sebagai penjelasan
yang meyakinkan mengenai pengalaman politik didunia. Bila demikian
praktek-praktek tradisonal Islam tidak lagi perlu dijelaskan panjang lebar atau
bahkan sekedar dijelaskan. Adapun yang membedakan dengan praktek barat tidak
lain adalah adanya keinginan untuk mempertahankan otentisitas Islam.[30]
a. Korelasi
Antara Liberalism Islam Dengan Liberalism Politik.
Dalam
konteks ini, Donald Eugene Smith (1970: 85-6) menyatakan bahwa sekularisasi
politik dicirikan oleh:
ü pemisahan
politik dari ideologi agama dan struktur eklesiastikal
ü ekspansi
politik (pemerintahan) untuk menjalankan fungsi-sungsi dalam wilayah sosial
ekonomi yang sebelumnya dijalankan oleh struktur keagamaan
ü transvaluasi kultur politik untuk menekankan
tujuan-tujuan temporal non-transenden dan cara rasional pragmatis, yakni
nilai-nilai politik secular
ü dominasi
politik atas keyakinan agama, praktik agama dan struktur eklesistikal.[31]
Hal
ini menyiratkan bahwa sekularisasi politik dan meminggirkan agama dari politik
merupakan prasyarat bagi suatu negara-bangsa untuk bisa memasuki dunia modern
dan mencapai kemajuan di bidang ekonomi. Hanya saja, tesis ini tidak sepenuhnya
mendapatkan justifikasi otentik secara empiris, karena terdapat banyak Negara
yang mencapai tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi dengan tepat setia pada
tradisi keagamaan yang mereka anut. Karena itu, kita mesti sependapat
bahwa perubahan politik dan sosial yang signifikan tidak akan pernah terjadi
dalam masyarakat yang regim penguasanya mengklaim mendapatkan legitimasi oleh
simbol-simbol keagamaan, di mana penguasanya diyakini sebagai Ilahiyah atau
ekspresi ilahiyah. Karena itu, perubahan atau modernisasi politik sangat
tergantung pada desakralisasi atau sekularisasi politik.
b. Dikotomi
antara agama dan politik
Secara kategorial, paling tidak ada tiga paradigma
pemikiran politik Islam dalam melihat relasi agama dan negara.[32] Pertama,
paradigma integralistik yang mengajukan konsep bersatunya agama dan negara.
Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam
adalah din wa dawlah.[33] Apa
yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau
negara.
Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan. Menurut
pendekatan integralistik, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh
dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap
untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya
untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang komprehensif.
Pada spektrum ini, beberapa kalangan Muslim terutama
kalangan fundamentalisnya beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara;
bahwa syari’ah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan
politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state)
bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal
batas-batas politik dan teritorial.[34] Singkatnya,
model yang pertama ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan
aspek-aspek legalformal idealisme Islam. Konsekuensi dari paradigma ini adalah
sistem politik modern diletakkan dalam posisi vis a vis dengan ajaran-ajaran
Islam.[35]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti landasan
teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam.[36] Premis
keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran yang
lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini
menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara agama
dan negara, antara yang transendental dan yang profan.
Model pandangan holistikal ini dianut oleh dua kelompok Islam,[37] yaitu:
Pertama, Islam tradisional, yakni mereka yang tetap
mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran politik Islam klasik, semisal
Rasyid Ridla (1865-1935), kedua, Islam fundamentalis, yakni mereka
yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam
dan tradisi Nabi secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia, seperti
Khurshid Ahmad,16 Muhammad Asad,[38] Muhammad
Husayn Fadhlallah,[39] Sayyid
Quthb (1906-1966),[40] Abu
al-A’la Mawdudi (1903-1979),[41] dan
Hasan Turabi.[42]. Ketiga,
paradigma sekularistik yang menolak kedua paradigma sebelumnya; integralistik
dan substantif. Sebagai gantinya, diajukanlah konsep pemisahan antara agama dan
negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara
pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.
Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan
individual semata.Dengan perkataan lain, aliran ini berpendirian bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan urusan
kenegaraan. Para pemikir politik yang masuk dalam kategori paradigma ketiga
adalah Ali Abdurraziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973), [43]Ahmad
Luthfi Sayyid (1872-1963),[44] kemudian
disusul belakangan oleh Muhammad Sa.id al-Asymawi (Mesir, lahir 1932).[45]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
beberapa beberapa paparan diawal, dapat disimpulkan bahwa islam liberal
pemikiran Islam liberal yang merupakan satu aliran berpikir baru di kalangan
umat Islam. Pemikiran Islam liberal pada berakar dari pengaruh pandangan hidup
Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai
dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak
segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi
Islam sehingga orang non-Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al
Qur`an sebagai kitab suci, dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan
modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan
tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama
lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham lain
yang berlawanan dengan Islam.
Ciri-ciri
pemikiran islam liberal Kebergantungan semata-mata kepada akal manusia bagi
memandu kehidupan dunia, dualisme dalam memahami pelbagai realiti dan
kebenaran. Contohnya dualisme antara akal dan jasad, dan pemisahan antara
kaedah rasionalisme dan empirisisme, penekanan kepada unsur-unsur perubahan
dalam kewujudan yang mempamerkan pandangan alam (worldview) yang
sekuler, Doktrin humanisme yaitu jelmaan ideologi sekuralisme yang
memusatkan penilaian segala-galanya kepada fikiran manusia.
Charles khurzman memperkenalkan
gagasannya dengan adanya syari’ah liberal yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu
syariah liberal (liberal syari’a), syariah yang tersembunyi
(liberal syari’a), atau syariah yang ditafsirkan (interpreted syari’a). yang
beroperasi pada isu-isu system teokrasi dalam Islam, demokrasi, hak-hak
perempuan, hak-hak non muslim, kebebasan berfikir, serta gagasan tentang
kemajuan.
Sedangkan
leonard binder mengkritik terhadap ideologi-ideologi pembangunan seperti yang
dikembangkan oleh marx dan lain-lain yang berfokus pada pembahasan korelasi
antara liberalism Islam dengan liberalisme politik, Dikotomi antara agama dan
politik. Dan lain sebagainya
DAFTAR RUJUKAN
1
Abu A’la “Pengantar dalam buku Dari
Neo-modernisme ke Islam Liberal , , 2003, hal.xi ).
2
Adian Husaini, MA., Nuim Hidayat, Islam
Liberal, (Jakarta: GIP, 2004), hal. 2
3
Anis Malik Taha, Tren Pluralisme
Agama, Perspektif, Jakarta, 2002
4
“(Kompas, 18-11-2002, dalam
artikel : “Menyegarkan kembali pemahaman Islam”)
5
Alister E. McGrath, The Balckwell
Encyclopedia of Modern Christian Thought, Oxford, 1993).
6
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam
Liberal di Indonesia, , Jakarta ,2007.
7
Charles khuzman, Wacana Islam
Liberal, Pengantar Islam Dan Konteks Islaminya, paramadina,
Jakarta, 2003, hal: xviii
8
Ghulam ahmad perwez, Two
Contrasting System, terjemahan dalam Aziz Ahmad dan G.E Von Grune Baum
(eds). Muslim Self Statement In India And Pakistan, 1857,
1968(weisbaden, jerman barat: Otto Harras Showitz, 1970. Hal 171.
9
Harorld Laski dan John L.
Stanley, The Rise of European Liberalisme, London, 1997, m.s.
10 Henri
Munson, Jr Religion And Power In Morocco (New Haven, Conn,
Yale University Press, 1993
13 Khalif
Muammar, Atas nama kebenaran , m.s. 75.
14 Leonard
binder, Islam Liberal; Kritik Terhadap Ideologi
Pembangunan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2001. Hal
6.
15 Lutfi
Syaukani, Merenungkan Sejarah Al Quran, dalam Abd.Muqsith Ghazali,
Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal.1.).
16 Muhammad
salim al ‘awwa, political pluralism From an islamic prospective”,
dalam azzam tamimi(ed), power sharing islam? London: liberty for muslim word
publications, 1993).
17 Muhammad
asad, the principles of state and government in islam(Berkeley:
university of calivornia press, 1961) hal 48.
18 Owen
Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir, Februari 2006).
19 Paden
dalam Charles khuzman, Wacana Islam Liberal, Pengantar
Islam Dan Konteks Islaminya, paramadina, Jakarta, 2003, hal: iv.
20 Rahman,
artikel, hal 31 dalam Kurzman, hal ix.
21 Sulaiman
al-Khirasyi, Hakikat Liberaliyah wa mauqif Muslim minha, , ha.l 12]
22 Syekh
Abdullah al-Khatib dalam kitabnya “al Islam Wa Raddu Ala Hurriyatil
Fikri”
23 www. unc.edu/~kurzman/LiberalIslamLink.
24 Yousef
al qardawi, Priorities Of The Islamic Movement In The Coming Phase(cairo:
dar al nashr for eghyptian universities, 1992, hal: 143-144.
[2] Pendapat Owen
Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir, Februari 2006).
[9]
(lihat
laman web.unc.edu/~kurzman/LiberalIslamLink.)
[11]
Dr.
Anis Malik Taha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif, Jakarta,
2002
[15]
(Lutfi
Syaukani, Merenungkan Sejarah Al Quran, dalam Abd.Muqsith Ghazali,
Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal.1.).
[19] Muhammad salim
al ‘awwa, political pluralism From an islamic prospective”, dalam
azzam tamimi(ed), power sharing islam? London: liberty for muslim word
publications, 1993), hal 72-73. Lihat juga muhammmad S El ‘awa, on the
political system of the Islamic state, 1975, terjemahan oleh ahmed
nadji al- imam(Indianapolis, ind american trust publications,
1993)
[20] Muhammad asad,
the principles of state and government in islam(Berkeley: university
of calivornia press, 1961) hal 48.
[21] Yousef al
qardawi, Priorities Of The Islamic Movement In The Coming Phase(cairo:
dar al nashr for eghyptian universities, 1992, hal: 143-144.
[22] Henri
Munson, Jr Religion And Power In Morocco (New Haven, Conn,
Yale University Press, 1993, Hal 111
[24] Charles
khuzman, Wacana Islam Liberal, Pengantar Islam Dan Konteks
Islaminya, paramadina, Jakarta, 2003, hal: xviii.
[25] Paden dalam
Charles khuzman, Wacana Islam Liberal, Pengantar Islam Dan
Konteks Islaminya, paramadina, Jakarta, 2003, hal: iv.
[26] Ghulam ahmad
perwez, Two Contrasting System, terjemahan dalam Aziz Ahmad dan G.E
Von Grune Baum (eds). Muslim Self Statement In India And
Pakistan, 1857, 1968(weisbaden, jerman barat: Otto Harras Showitz,
1970. Hal 171.
[28] Leonard
binder, Islam Liberal; Kritik Terhadap Ideologi
Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2001. Hal
6.
[31] Ahmad Nur
Fuad, Sekularisasi Politik; Pengalaman Amerika Serikat Dan Dunia
Islam, Skripsi,Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[32] Masykuri Abdillah membagi kepada kelompok konservatif,
modernis, dan sekuler. Sementara Bahtiar Effendi mengelompokkannya ke dalam dua
spektrum pemikiran: formal-idealistik dan substansial-realistik.
[33] Muhammad Yusuf Musa, Nidham al-Hukm fiy al-Islam,
(Kairo: dar al-Kitab al-’Arabiy, 1963), h. 18. Bandingkan dengan Abdul Baqi
Surur, Dawlah al-Qur`an, (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1972), h. 80
[34] 12Menurut pemahaman mereka, negara Madinah yang dibangun
oleh Nabi tidak didasarkan pada batas-batas geografis, ras, warna kulit, atau
nasionalitas. Negara ini mewakili kehendak bersama dari sebuah masyarakat
penganut Islam yang terorgnaisir dan tidak mengenal klan, suku, nasion yang
disebut ummah. Ummah yang menegakkan negara ini pada hakekatnya
bersifat supra nasional dan satu-satunya kekuatan pemersatu umat manusia yang
berbeda-beda di dalam tradisi, adat kebiasaan, ras, dan nasionalitas adalah
wahyu. Baca Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah,
(Bandung: Pustaka, 1995), h. 172
[35] Dalam konteks sekarang, pemahaman ini tidaklah terlalu
mengejutkan meskipun kadang-kadang menghawatirkan. Dunia Islam kontemporer
menyaksikan sebagian kaum Muslimin yang ingin mendasarkan seluruh kerangka
kehidupan sosial, ekonomi dan politiknya pada ajaran secara eksklusif tanpa menyadari
keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam
praktiknya. Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik
yang dewasa ini populer dengan berbagai istilah, seperti revivalisme Islam,
kebangkitan Islam atau fundamentalisme Islam. Dalam konteks negara bangsa yang
ada dewasa ini, seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia,
Aljazair dan Indonesia, model formal itu mempunyai perbenturan dengan sistem
politik modern.
[36] Ada banyak ayat al-Qur`an yang dapat digunakan untuk
mendukung pernyataan ini. Ayat yang paling sering dirujuk adalah al-Qur`an
16:89 yang berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu kitab suci untuk
menjelaskan segala sesuatu, dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
mereka yang berserah diri (kepada Allah)”
[37] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan
Makna, h. 57. Bandingkan dengan Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1
[38] Bagi Asad, yang
sebelum memeluk Islam bernama Leopold Weiss, suatu negara dapat menjadi
benar-benar islami hanyalah dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran
Islam terhadap kehidupan bangsa dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam
undang-undang negara. Negara, tandas
Asad, merupakan syarat mutlak bagi kehidupan Islam. Dan ia menolak dengan keras
bentuk negara sekuler.Pemikiran
politiknya dapat dibaca dalam Muhammad Asad, The Principles of State
and Government in Islam, (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980
[39] Pemikirannya
dapat dibaca, antara lain, dalam Muhammad Husayn Fadhlallah, al-Islâm
wa Manthiq al-Quwwah, (Beirut: al-Idarah al-Islamiyah, 1986); al-Harâkah
al-Islâmiyyah: Humum wa Naqdiyah, (Beitur: Dar al-Malak, 1990),
[40] Pemikiran-pemikiran
Sayyid Qutb dapat dibaca dalam al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyah fiy al-Islâm,
(Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1967).
[41] Untuk mengetahui
pemikiran politiknya, baca antara lain karya-karya [1] Abu al-A’la
al-Mawdudi, al-Mabâdi` al-Asâsiyah li al-Dawlah al-Islâmiyah,
(Jeddah: Dar al-Sa.udiyah li al-Nasyr wa al-Tawzi., Tanpa Tahun).
[42] Secara lebih
lengkap dan utuh, pemikirannya dapat dibaca, antara lain, dalam Hasan Turabi,
[1] “The Islamic State” dalam dalam Voices of Resurgent Islam,
disunting oleh John L. Esposito, (New York: Oxford University Press, 1983)
[43] Di antara
gagasan Thaha Husein adalah [a] kejaan dan kemakmuran dunia Islam dapat
terwujud kembali bukan dengan jalan kembali kepada ajaran Islam yang lama, dan
juga bukan dengan mengadakan reformasi atau pembaharuan ajaran Islam, tetapi
dengan perubahan-perubahan total yang berwatak liberal dan sekular dengan
mengacu kepada Barat; [b] dari awal sejarahnya, Islam dan negara memang selalu
terpisah. “Umat Islam sadar terhadap suatu prinsip yang sekarang ini telah
diakui secara universal bahwa sistem politik dan agama itu dua hal yang
terpisah, dan bahwa negara itu didasarkan atas landasan-landasan praktis. Lihat
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, h. 139. Mengomentari
pemerintahan Nabi, ia lebih suka menyebut dengan sistem musyawarah, karena
dalam kenyataannya, Tuhan memerintahkan Rasul agar bermusyawarah dengan umatnya
manakala menghadapi problem-problem keduaniaan. Ia menolak pendapat Husein
Haikal yang menyatakan bahwa pemerintahan Nabi dan khalifah empat sebagai
pemerintahan demokrasi. Sebab, demokrasi sebagai suatu sistem belum dikenal
waktu itu. Lagi pula, pelaksanaan pemerintahannya tidak memenuhi kriteria
demokrasi; tidak semua rakyat baik langsung maupun tidak langsung ikut serta
dalam pemilihan kepala negara, rakyat tidak berwenang mengawasi dan menuntut
tanggung jawab kepala negara, dan tidak ditemukan peraturan yang tetap untuk
dapat mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan kepala negara. Lihat, Thaha Husein,
al-Fitnah al-Kubra, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu`allafat
al-Duktur Thaha Husein, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973), Juz IV, h.
227 dan 218
[44] Luthfi Sayyid
lebih menekankan identitas nasional Mesir daripada Islam, dan pemisahan antara
agama dan politik, serta perlunya Mesir meniru secara selektif pola politik,
ekonomi, dan sosial Barat. Menurutnya, baik pan-islamisme maupun pan-arabisme tidak
lagi relevan dengan realitas dunia Islam pada zaman modern ini, yang pada
kenyataannya telah terbagi dalam banyak wilayah dan kebangsaan. Lihat Munawir
sadzali,Islam dan Tata Negara, h. 138
[45] Muhammad Sa.id
al-Asymawi, seorang hakim dan penulis Mesir terkemuka, menyatakan bahwa banyak
di antara kegagalan masa lalu dalam sejarah Islam disebabkan oleh tercampur
aduknya agama dan politik. Dengan berani dan tanpa ragu ia mengatakan, “Allah
bermaksud menjadikan Islam sebagai sebuah agama, sementara orang-orang (al-nas)
memahaminya bermakna politik. Dalam syari.at Islam, tidak ada sesuatu yang
memaksa seseorang untuk mengikatkan agama ke dalam sebuah bentukan negara”
Syari’ah tidak berhubungan dengan bentuk pemerintahan tertentu. Pemikiran
politiknya dapat dibaca dalam Muhammad Sa’id al-Asymawi, al-Islâm
al-Siyâsiy, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992); al-Khilâfah
al-Islâmiyah, (Kairo: Sina li al-Nayr, 1990
No comments:
Post a Comment