Prospek
Akal di Lapangan Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban
islam sangat dipengaruhi oleh peradaban Persia-Iran. Pengaruh kebudayaan islam
Persia klasik pada periode pertengahan cukup dominan bagi pengambangan islam di
India ketika kerajaan mughal berkuasa termasuk bagi pengembangan islamisasi dan
pembentukan tradisi intelektual di wilayah Asia termasuk Indonesia maupun
dataran China.(Ajid Thohir, studi kawasan dunia islam, 2011;
hal-181). Dalam buku yang dikarang oleh Adel El-Gogary (Ahmadinejad The
Nuclear Savior of Tehran) yang diterjemahkan oleh Tim Kuwais, Depok. Iran
adalah salah satu negeri Persia yang mempertahankan budaya perang, dan iran
dinilai suatu negara yang berkembang ke arah pembentukan sebuah negara modern.
Fatwa pengharaman merokok (1891) merupakan tanda khas dalam sejarah Iran yang
mampu mempengaruhi kalangan ulama ahli agama, pemikir dan satrawan yang ada di
belahan dunia termasuk nusantara ini. (Tim Kuwais, 2007; 48).
Di
Indonesia, para pemikir muslim berusaha menjawab tantangan perubahan politik
dan realitas social yang diakomodir oleh ajaran islam dan bagaimana orang mampu
menjaganya dari kemandekan dan penfosilan dalam sebuah pola hidup yang tidak
dapat berubah dengan sebuah sistim hukum yang kebal dari perubahan. Tulisan ini
mencoba mendeskripsikan sejarah timbulnya pemikiran islam liberal-responsive yang
menurut sebagian orang menerimanya sebagai kriteria dalam menemukan posisi
hukum yang sebenarnya dalam konteks kekinian. Dan dari sisi
lain berusaha menggambarkan liberal-konserfative yang menjadi
program politik kaum pembaru sebagai biang atau benalu bagi kebenaran dan eksis
hukum islam. Selanjutnya, bagaimana respon pemikir islam yang berasaskan
tradisional terhadap tokoh pembaru ini. Dengan mengambil rujukan dari berbagai
literatur-literatur terkemuka, penulis jadikan sebagai sebuah referensi dalam
membuat karya ini. Berangkat dari “back-ward projections methodologies”,
penulis juga menuangkan gambaran tentang liberalisasi akal yang dijedikan
sebagai sebuah nash (dalil aqli) untuk menentukan suatu produk
hukum islam “laws produc of islam”. Disamping itu, kajian ini juga
melihat dari sisi sosio-cultural yang mempengaruhi
tradisi setempat (Persia menuju nusantara). Dilihat dari sudut sosio-cultural,
seperti yang telah dijelaskan oleh Deliar Noer dalam bukunya “Gerakan
modern islam di Indonesia”. Bahwa umumnya bangsa-bangsa yang
mayoritas beragama islam tinggal di negeri-negeri yang sedang berkembang.
Negeri-negeri tersebut menghadapi persoalan-persoalan yang umumnya sama, yaitu
persoalan-persoalan yang disebabkan antara lain oleh ledakan penduduk dan
meningkatnya tuntutan-tuntutan keperluan dari penduduk (hukum, ekonomi,
politik, pendidikan dan lainnya). Bangsa di negeri-negeri berkembang menyadari
ketertinggalan mereka dari negeri-negeri yang telah maju terutama dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. (Deliar Noer,1996; hal-1).
Gambaran
umum atau common sent dari pemikiran islam menempatkan posisi
akal sebagai posisi ke tiga setelah Al-quran dan Hadits dalam penentuan hukum.
Dengan demikian, kedua nash ini tidak boleh didahului oleh akal, walaupun isi
Al-quran dan Hadits Nabi itu sendiri tidak terlepas dari peng-interpretasian dari
akal. Karya ini juga berusaha memuat beberapa pernyataan dosen tentang posisi
akal dalam istimbat hukum islam, ini terjadi pada pertemuan perkuliahan untuk
menelaah bagaimana proses liberalisasi akal telah dilakukan kepada
mahasiswanya.
Untuk
lebih mendekatkan pemahaman kita terhadap tulisan ini, kita harus mengerti
bagaimana sebenarnya konsep liberal dan apa yang menjadi konsekuensi dari
konsep itu. Dari itu, kita bisa memilih dan memilah liberal yang bagaimana yang
mampu mengiri pe rkembangan permikiran islam dewasa ini dan bisa dijadikan
sebagai rujukan kita.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tranformasi
Pemikiran Liberal di Nusantara
Dilihat
dari sudut pandang sejarah, benih-benih pemikiran liberal sudah terlihat sejak
komplik teologi klasik yang mengakibatkan dunia islam heboh akan ketuhanannya.
Dari sini terlihat bahwa aliran teologi mu’tazilah yang rasional mampu ikut
mengiringi perjalanan teologi islam walaupun banyak saingan pada waktu itu yang
juga mempertahankan eksisnya. Salah satu pendapat mereka adalah “sifat
hamba adalah mutlak milik hamba”, (Haderanie, 1972 (thn asli 1200 H);
hal-91 dan dalam buku Seyyed Hussein Nasr, sains dan peradaban dalam
islam, 1997; 282). Haderanie, dalam bukunya “permata yang
indah (ad-durunnafis)” menyatakan bahwa aliran mu’tazilah adalah
aliran yang tidak bisa diikuti, ini sejalan dengan pemikiran kaum liberal saat
ini “bebas tampa batas”, terkadang kaum ini menempatkan posisi akal yang
berfikir radikal mempu menjawab permasalahan (polemic) keislaman
melalui interpretasi nash (Alam, Al-quran dan Hadits) tanpa melihat syarat bisa
untuk dijadikan sebuah pegangan. Di Indonesia sendiri, banyak tokoh liberal
yang muncul kepermukaan dengan beragam corak pemikirannya dalam pembaharuan
pemikiran islam. Seperti Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Prof.
Dr. Harun Nasution, Hamka dan banyak lagi tokoh-tokoh terkemuka lainnya yang
tak bisa disebutkan satu per satu dalam tulisan ini. Dalam buku yang dikarang
oleh Budhy Nunawar, jelas dia mengatakan tokoh liberal islam-Indonesia.
“…pemikiran
liberalism islam yang dalam konteks ini adalah pemikiran teologis, mendapatkan
momentumnya dan sekaligus nanti reaksi keras dari kalangan yang disebut dengan
“fundamentalis” itu, muncul dari gagasan-gagasan (khususnya) yang dilontarkan
oleh (alm.) Prof. Dr. Harun Nasution dan Prof. Dr. Nurcholish Madjid, dari
kedua tokoh pembaru ini, sejak tahun 70-an muncul istilah-istilah “islam
rasional” (Harun Nasution) dan “sekularisasi” (Nurcholish Madjid). Jadi, salah
satu inti dasar pemikiran kedua tokoh ini adalah islam itu Modern, Liberal dan Rasional”. (Budhy
Munawar-Rachman, islam pluralis, 2004; hal-573)
Yang
menjadi pertanyaan dan sekaligus membingungkan bahwa, apakah pemikiran
beliau-beliau tersebut bisa dijadikan sebagai sebuah rujukan, pedoman? Karena
tidak jarang pemikir islam dewasa ini mengambil referensi dan meng-back-ward-kan
pendapat (karya-nya) tersebut dengan tokoh liberal tadi untuk menguatkan
pendapatnya?. Sebagai contoh: Dosen Fakultas Syariah, Khamaruzzaman (Aceh),
Deliar Noer (Medan) dan Azyumardi, mereka-mereka ini sedikit tidaknya pernah
menyebutkan tokoh liberal yang telah panulis sebutkan di atas (Nurcholish
Madjid, Harun Nasution, Hamka) untuk men-tauqid-kan hasil desertasi
mereka. Memang disini kita tidak memberi sebuah judgement terhadap
pemikiran mereka dan kita tidak menyatakan yang ini benar dan pendapat yang itu
salah. Akan tetapi, sangat disayangkan ketika pemikiran mereka yang sedikit
bahkan banyak menyimpang dari ketentuan agama mampu mempengaruhi dan
mengelaborasi pemikiran manusia di dunia pada umumnya dan penduduk Indonesia
khususnya.
Kembali
ke pengaruh pembaruan islam di timur tengah menuju Nusantara, Pembaharuan
pemikiran islam di Indonesia juga dikenal dengan kaum modernis, awalnya, adanya
jaringan ulama Indonesia (networks of the Indonesians ulama) di
negara muslim dunia, sehingga pengaruh madrasah modern yang
muncul sebagai akibat pembaruan pendidikan dilaksanakan Dinasti Usmani sejak
perempat terakhir abad ke-19, selain itu diiringi dengan munculnya kerajaan
besar islam Safawi di Persia dan Mughal di India,(Azyumardi Azra,
Histiografi islam kontenporer, 2002; hal-123). Seperti kasus syaikh Abd
Al-Ra’uf Al-Singkili (Aceh, Indonesia) yang berkoresponden menyeberangi lautan
India dengan gurunya, Syeikh Ibrahim Al-Kurani di Madinah untuk meminta
petunjuk tentang masalah-masalah yang dihadapi khususnya di daerah Singkil.
Walaupun Al-Ra’uf ini bukan seorang ulama dalam konteks pembaru pemikiran
islam, akan tetapi terlihat bahwa jaringan ulama Indonesia ke negeri islam
(madinah) tidak terputus. Dalam keterkaitan penjelasan tadi dengan tema di atas
bahwa tokoh muslim di Nusantara sudah mempengaruhi cara pandang yang dilakukan
ulama-ulama dayah yang sifatnya tradisional-puritan (salafiyyah) juga
kalangan masyarakat profan, baik dari santri-nya, priyayi maupun abangan
(pamong praja). Dalam buku Zuli Qodir digambarkan betapa kampus sekuler (ITB,
IPB dan UGM) telah merasuki pemikiran mahasiswa yang berlatar belakang priyayi
dan abangan. Dari kasus di atas juga sama seperti yang telah diceriterakan oleh
Deliar Noer, ada dua buah bidang pengetahuan yang pokok di Indonesia, yaitu
fiqh dan mistik. Pengikut mistik biasanya membentuk suatu orde yang disebut
dengan tarekat. Dimana tarekat ini mempunyai jaringan atau hubungan dengan
syeikh yang ada di timur tengah, (Deliar Noer, 1996; hal-12). Jelas
tergambar pada kita bahwa tokoh pembaru islam Nusantara ini telah dipengaruhi
oleh pemikiran timur yang saat itu memberi peluang kembali untuk berijtihad.
Dalam
buku Zuli Qodir “pembaruan pemikiran islam”, menurutnya ada dua
Factor yang mempengaruhi pemberuan pemikiran islam di Indonesia, yakni factor
internal umat islam, terjadinya modernisasi dan sekularisasi yang menurut hemat
penulis hal ini akibat dari konsekuensi liberal, pendidikan islam dikalangan
santri, dan sekularisasi kaum santri dalam orientasi pekerjaan. Akibat dari
factor pertama, berpengaruh pada model-model pendidikan serta pengajaran di
perguruan tinggi khususnya. Kedua, factor eksternal, ini terjadi akibat adanya
perkembangan globalisasi modern, baik teknologi dan informasi. Perang irak
contohnya, Indonesia melalui media massa bersentuhan langsung dengan masalah-masalahreal yang
dihadapi umat islam secara keseluruhan. (Zuli Qodir, 2006; 3).
Banyak
tokoh muslim mensinyalir bahwa pemikiran tokoh islam kekinian ini juga telah
dipengaruhi oleh pemikiran barat seperti telah diutarakan oleh Edward Said yang
dimuat dalam buku Azyumardi Azra, katanya: “barat bertanggung jawab
membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin mereka jelaskan”. (Azyumardi
Azra, 2002; hal- 171). Ini berawal dari orientalis atau islamisis sekaligus
sebagai misionaris barat untuk mengubah pemikiran umat islam mulai dari
aqidahnya hingga syariatnya. Disamping itu, Islam dan siyasah sangat erat
hubungannya, menurut Fazlur Rachman pemikiran islam menjadi kaku ketika
“Guncangan yang terjadi karena kekalahan-kekalahan dan penaklukan politik,
mengakibatkan orang muslim secara psikologis kurang mampu memikirkan kembali
secara konstruktif pusakanya, (Al-quran dan Al-hadits)”…. Lanjutnya, “…islam
secara internal sudah tidak mampu menyusun kembali dirinya sendiri dan apa saja
yang dapat dilakukannya dengan jalan rekonstruksi…”, terhadap pengaruh
pemikiran barat, Fazlur menambahkan, “…jika memang dia (pemikir islam) dapat
melakukannya, akan dilakukan dengan pengaruh-pengaruh dan kutipan-kutipan dari
barat…”, (Fazlur Rachman, Islam, 1992; hal-338). Telaah
penulis, pemikiran muslim Indonesia dalam pembaruan hukum islam ada dua tujuan,
pertama bahwa politik menjadi senjata ampuh bagi sebagian tokoh islam dalam
meningkatkan otoritasnya kepada masyarakat, ke-dua bahwa dengan mengingat
adanya kemandekan hukum islam, pemikir islam berusaha mengembalikan posisi akal
sebagai posisi penting dalam interpretasi nash maupun keadaan budaya yang telah
menyimpang, dimana pembaruan semacam ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
tidak ada di dalamnya unsur politik. Pembaharuan semacam ini penulis
katagorikan sebagai liberal-responsiveyang akan dijelaskan di
sub-title berikutnya.
2. Konsep
Liberal
Dari
sudut pandang etimologi, liberal dapat diartikan sebagai sebuah kebebasan,
pembaharuan pemikiran (islam), kebebasan berijtihad, dan ada
juga yang mengartikan sebagai kebolehan berfikir tanpa batas, radikal,
artinya tidak ada syarat atau pra-syarat untuk berfikir. Dari sekian banyak
defenisi yang diutarakan, bisa kita tarik sebuah benang merah dari kata liberal
bahwa ia-nya adalah suatu kebebasan. Kalau ditilik dari
segiterminology, penulis mengutip dari sebuah fatwa ulama Indonesia yang
sekaligus di dalamnya men-judgement bahwa perbuatan tersebut adalah
sesuatu yang diharamkan. Adapun faham liberal menurut MUI adalah “memehami
nash-nash agama (Al-quran dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas,
hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran manusia”.
Lanjutnya “menganut faham ini haram hukumnya”. Di makalah ini,
penulis mengklasifikasikan konsep liberal itu dalam dua katagori.
Pertama,
konsep liberal yang responsive. Artinya bahwa, konsep liberal yang
dipakai dalam mengistimbatkan hukum, ini“memenuhi” kriteria
pengijtihatan dan mempunyai respon positif di kalangan masyarakat. Mengenai
penjelasan ini, penulis mengambil rujukan yang telah dikemukakan oleh Ulil
Abshar Abdalah yang dimuat dalam buku “Paham-Paham Keagamaan Liberal
Pada Masyarakat Perkotaan” oleh Departemen Agama RI. Ia mengatakan;
“…penambahan
kata “liberal” dalam islam, sesungguhnya hendak menegaskan kembali dimensi
kebebasan dalam islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan
emotif-subjektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam
“islam liberal” dipahamai dalam kerangka semacam ini. kata liberal di sini
tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap permissive
yang melawan kecenderungan “instrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan
menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada
focus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas
wahyu dan islam itu sendiri”, (Depag RI, 2007; hal-xvii).
Sedangkan
menurut Nuhrison M. Nuh, juga dimuat dalam buku di atas, dengan hasil
disertasinya menyatakan bahwa “intinya islam liberal adalah membuka kembali
pintu ijtihad, dan mencoba kembali menafsikan ajaran islam dalam konteks
kekinian”. Pada liberal-responsive (moderat-toleran, Zuli Qodir) ini,
mesih mengakui adanya tekstualisasi ijtihad disamping kontekstualisasi ijtihad,
mempunyai komitmen tentang rasionalitas dan pembaharuan hukum islam. Pembaruan
ini seperti yang telah penulis jelaskan di atas bahwa mereka bersungguh-sungguh
dalam mengkaji hukum islam dan menciptakan hukum islam yang sesuai dengan zaman
tanpa meninggalkan ketentuan-ketentuan dari ulama klesik terdahulu. Untuk
menentukan kebenaran mereka, kita mesti melihat jalan pemikiran meraka apakah
ada hubungannya dengan politik atau semata demi kepentingan umat.
Dalam
sudut pandang responsive, pembaharuan islam di Indonesia terletak pada
kedalaman dan bukan semata-mata terbatas pada kegiatan serta pemikiran di
permukaan saja. Pembaharuan pemikiran islam yang benar adalah penemuan kembali
ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang dapat mengiringi dan mengatasi
ruang dan waktu. Waktu, lingkungan dan inovasi mungkin menyebabkan dasar-dasar
tersebut kurang jelas tampak dan tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran yang
keliru lainnya. Biasanya pemikiran keliru yang dianggap benar dan sesuai dengan
perkembangan zaman sering jadi populer dan didukung pula oleh pejabat seakan
ialah yang mewakili islam. Seperti yang telah diutarakan oleh Seyyed Hossein
Nasr, intelektualitas manusia tidak terlepas dari pengawasan wahyu ilahi. Jadi,
bagi rasio manusia mempunyai hubungan “hierarki” yang kuat
dengan nash, yang tidak boleh tidak rasio itu harus dikembalikan ke nash itu.
Menurut penulis, hierarki yang dimaksud adalah adanya hubungan yang saling
mendukung. For instant; dalam perundang-undangan Indonesia, suatu
Perda (peraturan daerah) bisa disetujui apabila tidak melenceng dari ketentuan
yang diatasnya, yaitu UUD 1945. Bagi penulis, sosok Nasr adalah tokoh yang
perlu ditiru dalam bidang pemikirannya. Dia menempatkan sifat akal (rasional,
radikal) sebagai posisi sekunder setelah ketentuan dalil Naqli.
Hematnya, sesuatu yang tak mungkin menurut akal terkadang mungkin menurut wahyu
(dalil Naqli). Nasr menambahkan;
“…Semua
makhluk di alam ialah Muslim (doktrin Islam), yaitu menyerah kepada
kehendak ilahi. Suatu bunga tak bisa tidak selain menjadi bunga. Intan mau tak
mau akan berkilau. Allah yang membuatnya demikian, mereka harus
patuh”, (Seyyed Hossein Nasr, 1997; 3).
Nasr
ingin menjelaskan ketidak setujuannya dengan paham sekuler dan rasional bebas
yang jelas-jelas bertentangan dengan konsep Islam. Tegasnya, Endang dalam
bukunya “wawasan islam” menyatakan, beda antara rasio dengan wahyu, kebenaran
ilmu pengetahuan dan kebenaran filsafat adalah kebenaran nisbi “relatif”,
bukan kebenaran mutlak, karena sekedar berdasarkan “ra’yu” atau “rasio
akal budi” manusia, sedangkan manusia suatu instansi yang tidak
sempurna. sedangkan kebenaran wahyu merupakan kebenaran yang diturunkan oleh
Zat yang Maha Besar, Maha mutlak dan sempurna, (Endang Shaifuddin Anshari,
2004; 110). Jadi, golongan pembaru berusaha untuk mengembalikan ajaran
dasar (wahyu) dengan menghilangkan segala macam pemikiran (rasio)
keliru yang datang kemudian dalam millah, din atau agama,
dan dengan melepaskan penganut islam dari jumud,kebekuan,
dalam masalah yang dihadapi. Mereka memecahkan tembok tambahan dan jumud itu
agar dapat menemui kembali isi dan inti ajaran islam yang sesungguhnya, yang
menurut keyakinan dapat menjadi cahaya yang menyinari alam ini. Deliar Noer
menambahkan golongan pembaru itu dapat disebut tokoh modernis, tokoh-tokoh
tersebut dalam pemikiran yang dibawanya dikemukakan bukanlah harus menyesuaikan
diri dengan keadaan, bukan pula yang perlu disesuaikan dengan pikiran “modern”.
Dasar-dasar ini, inti ajaran islam itu adalah abadi, dan oleh sebab itu pada masa
atau zaman manapun ia senantiasa modern,(Deliar Noer, 1996;
hal-325). Pemikiran mereka senantiasa dapat diteliti, baik oleh mereka
sendiri (subject hukum) maupum oleh orang lain (object
hukum). Mereka sendiri secara prinsip tidak berhenti disatu masalah, setiap
masalah yang ditemukan harus sesuai dengan ajaran dasar atau pusaka kita
yaitu Al-quran dan Hadits. Tiap penemuan baru dapat ditest, dan oleh Deliar
Noer menyebutnya dengan istilah ijtihad. Tambahnya, ciri-ciri
pembaharu islam atau gerakan modern itu adalah;
·
Golongan pembaharu hanya mengakui
Al-quran dan Hadits sebagai sumber dasar rujukan para pemikir.
·
Mereka meyakini bahwa pintu ijtihad
tidak tertutup sehingga peluang untuk berfikir radikal yang sifatnya liberal
(bukan “bebas tampa batas”) tetap terbuka untuk mereka.
·
Mereka menolak taqlid (taqlid
buta), ini bukan berarti bahwa mereka menolak dan menyalahkan para pendiri
mazhab, selama mereka masih dibekali ilmu yang cukup dan pendapat siapapun
mesti diteliti berlandaskan Al-quran dan Hadits.
Dari
ciri-ciri yang telah disebutkan di atas terlihat bahwa murid dari Taqiyuddin
Ahmad ibn Taimiyah (w. 728 H/ 1332 M) yaitu Muhammad ibn Abdul Wahhab-lah (w.
1207/1792) salah satu dari tokoh pembaru pemikiran islam tersebut. Beliau
berusaha memberantas syirik, takhaiyyul, khurafat, bid’ah dilapangan ibadah,
menentang paham taqlid dan membuka paham ijtihad, (Endang;
hal-89). Kaitannya dalam hal ini, saya mengutip juga pernyataan seorang
imum meusjid (Aceh selatan: Tgk. Asrin) bahwa “setiap permasalahan
tidak luput dari pemikiran (ijtihad), manusia wajib berfikir tanpa meninggalkan
ketentuan pusaka kita (Al-quran dan Hadits) dan bagi Allah tak ada yang tak
mungkin”,(?). Tokoh muslim lain yang penulis anggap tergolong kedalam
pembaru islam kelompok ini “liberal-responsive” ialah Sayyid
Hossein Nasr yang oleh Azyumardi Azra menyebutnya dengan“tokoh solusi
manusia modern”. Sebagian orang menyebut Nasr sebagai tokoh neo-modernis
dan neo-sufi, dengan penuh semangat dia mengkritik pemikiran Al-Afghani, M.
Abduh dan Amir Ali yang oleh sebagian orang juga menyebut mereka-mereka dengan
tokoh pembaru dalam pemikiran islam, (Azyumardi Azra, Historiografi
Islam Kontenporer, 2002; 193-194).
Kedua,
kosep liberal yang konservatif, dalam hal ini para tokoh islam
lebih mementingkan politik dari pada bersungguh-sungguh memurnikan islam yang
akhirnya konsep liberal yang dihasilkan tertuju pada kepentingan pribadi atau
kelompok. Kaitannya dalam hal ini, penulis mengutip pernyataan dari Mahfud MD
menyatakan bahwa fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan acap kali
diintervensi oleh kekuasaan politik, dimana karakter produk hukum yang
dihasilkan akan bersifat konservatif, (Abdul Lathif dan Hasbi Ali,politik
hukum, 2011; hal-64). Memang kajian yang dilakukan oleh Mahfud
merupakan kajian hukum nasional, tapi kajian ini mempunyai keterkaitan dengan
hukum islam kekinian ini, para misionaris liberal melakukan misi-geger akan
hukum islam, akidah dangkal dan syariah hanya tinggal semboyan. Contoh lain,
penulis anggap sebagai sebuah liberal abangan adalah pernyataan seorang dosen
Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry B.Aceh dalam pertemuan perkuliahan, hal ini
penulis tidak perlu sebutkan namanya yang katanya bahwa “apa gunanya Qanun
yang berlandaskan Al-quran di Aceh seperti ketentuan maisir, khamar, khalwat
dan lain sebagainya, sementara hukum nasional sudah ada ketentuan itu, kalau
dilihat dari tujuannya, saya (seorang dosen) rasa tidak perlu lagi ada qanun,
cukup dengan KUHP yang mampu mengurangi kejehatan-kejahatan itu”. Betapa
besar pengaruh liberal tanpa batas telah merebak di kalangan dosen perguruan
tinggi ini, imbasnya pemikiran mahasiswanya diracuni dan dinodai. Liberal
semacam ini sangat ditakutkan dalam islam. untuk membantah pemikiran ini, saya
terinspirasi oleh kata-kata “mereka berpendidikan tapi sedikit wawasan”.
Meminjam pendapat Zuli Qadir, gerakan pembaruan islam dengan nama modernism
atau neo-modernisme dianggap terlalu mengagung-agungkan rasio ketimbang wahyu.
Mereka berusaha membongkar tradisi-tradisi lama umat islam yang dianggap tidak
lagi sesuai dengan zaman islam saat ini. umat islam tidak boleh “tunduk”
pada adanya otoritas tafsir agama. (Zuli Qadir, 2006;
hal-21). Terlihat bahwa hal ini mempunyai kepentingan politik dalam
pembaruan islam. Mereka tidak segan-segan mengenyampingkan ketentuan Syariat
dengan hasil piker rasionya. Dalam kasus ini, seorang dosen
juga di Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, “menyatakan bahwa untuk
menjalankan ketentuan syariat dan mencapai maqashidnya, tak perlu lagi ada
hukum cambuk dan rajam bagi pelaku pencuri dan penzina, karna itu salah satu
pelanggaran HAM dan tidak sesuai lagi dengan konteks masyarakat kini”,
(dalam pertemuan perkuliahan, HAM). Ini sangat bertentangan dengan Al-quran
yang menyatakan;
“perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nuur; 2)
Hukuman
cambuk disebutkan secara jelas dalam Al-quran, akan tetapi manusia dengan
kesombongannya, dengan koleksi buku yang masih terbatas, pengalaman sejengkal,
mencoba memalingkan hukum yang telah ditentukan Allah. Di Aceh, ada sebagian
orang bahkan dosen kami sendiri tidak setuju dengan syariat islam serta
uqubat-uqubat yang dilakukan, karna dianggap tidak manusiawi, menurutnya ada
cara lain yang lebih baik, tidak dengan hukuman cambuk. padahal hukuman cambuk
tidak hanya di Aceh, akan tetapi juga telah di laksanakan oleh negara-negara
berkembang seperti di Sungapura, Malaysia dan Pakistan, (Al-Yasa’
Abubakar, sekilas syariat islam di Aceh). Terobosan yang
diberikan guru ke murid semacam ini ditakutkan akan melahirkan
generasi-generasi islam tak sempurna.
Lain
halnya dengan pernyataan yang bertolak belakang dengan isu liberal Barat,
Presiden Iran yang keenam, Mahmud Ahmadinejad, menegaskan ketidak setujuannya
dengan liberalisme cangkokan (acquired liberalism) yang dijalankan
Presiden sebelumnya. Lanjutnya, pemuda adalah aset bangsa yang harus dijaga dan
dipelihara serta harus menjadi focus perhatian jangan sampai dipengaruhi oleh
virus kebinalan (Barat). Dalam hal budaya masyarakat, ia juga menegaskan bahwa
“kita tidak seyogyanya menolerir rendahnya tingkat kebudayaan”, (Tim
Kuwais, 2007; 42-43).
3. Konsekuensi
liberalism
Hal
yang ditakutkan timbul dari gerakan liberal adalah mereka membawa pengaruh
bebas tampa batas ke kalangan masyarakat awam dunia, khususnya Indonesia.
Mereka meng-interpretasi-kan teks Al-quran sekehendak nafsu mereka, disamping
itu lebih mementingkan kontekstualisasi dari tekstualisasi ijtihad. Berkenaan
dengan konsekuensi liberal, penulis memfokuskan pada dua hal yang sangat
berpengaruh di kalangan umat, adapun penagaruh liberah berimbas pada paham
sekularisme dan membolehkan akan pluralisme agama.
a. Sekularism
Pasang
surut mengenai hukum islam memang tak mengherankan lagi di negeri yang kita
cintai ini, salah satu faktor utamanya adalah peranan politik yang telah
merasuki tubuh para pemimpin kita. Tokoh-tokoh ini berani mengabaikan dan
pernah menyatakan islam adalah agama yang tidak sempurna, golongan nasionalis
“netral agama” atau “nasionalis sekuler” juga melontarkan tuduhan bahwa islam
sebagai pembawa perpecahan, (Badri Yatim, 1993; hal-262). Tapi kalau
ditilik dari sisi keislaman, Al-quran sebagai bukti mobilisasi antara makhluk
dengan sang khaliq memberikan keterangan islam bahwa agama yang sempurna.
“…pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu…”. (Q.S.
Al-Maidah; 3)
Politik
yang dianggap baik dijadikan sebagai salah satu pemersatu umat dalam beragam jenis
SARA yang ada di Indonesia. Soekarno misalnya, menjabat sebagai kepala negara
RI pada masa orde lama, tahun 1940-an (sebelum Indonesia merdeka), beliau
mencoba mempelajari dan mendalami islam dengan mengutip pendapat pemikir
pembaharu di negera-negara islam di Timur Tengah (Persia-Turki). Namun, dalam
buku Badri Yatim “sejarah peradaban islam”, menyatakan bahwa corak
pemikirannya diterapkan dengan paham sekularisme, Soekarno beserta
rekan-rekannya (Hatta, M. Yamin, Maramis dan Subardjo) mencetuskan ide
pancasila yang berketuhanan, akan tetapi negara pada dasarnya dipisahkan dengan
agama, (Badri Yatim, 264).
Perspektif
historis, sekularisme timbul di dunia barat sebagi reaksi terhadap kristianisme
pada akhir abad pertengahan. Sekularisme adalah satu isme dalam cultur yang
memiliki ciri secara sadar mengonsentrasikan atau memusatkan perhatian
semata-mata kepada masalah duniawi dan dengan sadar pula mau mengasingkan dan
menyisihkan peranan agama atau wahyu dan tuhan dari berbagai segi
kehidupan, (Endang, 2004; 183). Sekularisme merupakan paham yang
memisahkan antara gerakan nasional (negara) dengan agama, tokoh-tokoh sekular
seperti yang disebutka di atas menempatkan posisi agama sebagai amalan pribadi
yang sama sekali tidak bisa disatukan hubungannya dengan negara yang dianggap
sebagai penghalang bagi kemajuan dan penciptaan nesionalisme dari penduduk
negeri yang sifatnya plural. Dewasa ini, Turki tercatat sebagai negara sekuler
yang memiliki pengaruh besar terhadap sekulernya negara ini. Dari itu terlihat
bahwa politiklah sebagai peran utama dalam pembangunan pemikiran islam
Indonesia kini.
b. Relegions
Pluralism
Paham
pluralism menurut Anwar merupakan isme bagi setiap agama
menolak keyakinan khas masing-masing agamanya. Setiap pemeluk agama, tidak
boleh meyakini bahwa agamanya itu benar, karena semua agama akan menuju tuhan
yang sama. Dari pemahaman ini timbul juga paham transendensi agama-agama. Dalam
lefel eksoteric (bentuk) mempunyai banyak jalan manuju tuhan. Alwi Shihab
mengatakan;
“Dimensi
lahiriah mengacu pada dunia nyata, dan dimensi esensi mengacu pada asal wujud,
yaitu tuhan atau doktrin tauhid (islam). apa yang diterapkan di atas dapat pula
diterapkan pada defenisi Agama. Agamapun mempunyai dua dimensi eksoteris
(bentuk) dan dimensi esoteris (esensi). Dalam dimensi eksoteriknya, agama dapat
menempatkan dirinya secara beragam (Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Islam dan
agama-agama lainnya), tapi dari segi esensi yang mengacu pada asal wujud yang
Absolut, semua berasal dari satu sumber, yakni tuhan atau doktrin
tauhid”, (Alwi Shihab, 2004; hal-232).
Anwar
melanjutkan paham transendensi agama-agama ini dengan mengambil dua pendapat,
yaitu pendapat Nurcholis Madjid yang menggambarkan bahwa “setiap agama
merupakan ekspresi keimanan terhadap tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat ruda
itu adalah tuhan dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama”…. “oleh
karena itu ada istilah satu tuhan, banyak jalan”. Kedua, Anwar mengambil konsep
dari Prof. Huston Smith yang mengibaratkan konsep transenden ini seperti sebuah
piramida, dimana pada lefel bentuk (eksoterik) banyak macam ragam agama yang
didapati, akan tetapi pada lefel esoteric, anatomi, atau esensinya akan menuju
kepuncak piramida dengan ketuhanan sama (One God). Dari perspektif
Al-quran, islam bertolak belakang dengan konsep transendensi-relegions.
Islam merupakan Agama (eksoterik) yang sempurna, menurut Syeikh Muhammad
Zakir Naik (Islam) dalam dabatnya dengan Wiliam Cembell (Kristen), ia
menyatakan posisi islam sengat penting dalam Globalisasi modern, “…Islam dan
Al-quran wajar mengoreksi (dalam islam dikenal dengan metode taqsish dan metode
nasakh) Agama dan kitab sebelumnya”. Menurut Anwar, konsep transendensi
agama-agama adalah syirik, dan dalam dalil naqli banyak ayat
yang menerangkan tentang eksisnya Islam di dunia ini, seperti ayat-ayat
berikut;
“Maka
Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah
menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.(Q.S.
Ali-Imran: 83).
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Q.S Al-Baqarah:
208).
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun
orang musyrik membenci”. (Q.S. Ash-Shaff: 9).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang sempurna (Ad-dinul
kamiil). Islam bukan hanya mengakui fas (hukum yang dibuat
oleh Tuhan yang sifatnya sakral), tetapi Islam Juga merangkum yang
namanya lex (hukum yang dibuat manusia yang sifatnya profan). Islam
mengenal liberalisasi akal, tidak bisa dipungkiri bahwa akal (rasio)
memiliki kursi dalam percaturan penemuan hukum islam dengan menyesuaikanhierarki-nya
yang telah ditentukan oleh agama sebagai pusaka kita, yaitu Al-quran, Hadits
dan selanjutnya diinterpretasikan oleh rasio (akal). Liberalisme
mampu mempengaruhi pemikir-pemikir islam. Paham liberal bisa ke arah negative apabila
tidak berpatokan kepada ketentuan agama sebagai sebuah landasan kita dalam
melakukan pembaruan-pembaruan hukum (islam) yang telah meninggalkan rel yang
semestinya dilalui.
Liberalism
yang ada di Indonesia merupakan liberal cangkokan yang diserap dari belahan
dunia, baik pemikiran barat maupun pemikiran timur (Persia “iran”,
turki). Penyebaran ini bisa melalui media massa, maupun melalui orientalis
(Barat) dan oksidentalis (Timur) yang wajar sekali merasuki tokoh pemikir
nusantara ini dengan konsep-konsep yang keliru.
Konsep
liberal yang benar mampu membawa jawaban memuaskan atas kemandekan atau
kekosongan hukum dewasa ini serta dapat mengiringi perkambangan modernisasi
kehidupan. Sebaliknya, konsep liberal yang didasarkan atas “bebas tanpa batas”
serta kepentingan politik akan membawa ketidakjelasan tentang suatu hukum.
Konsep liberal semacam ini memiliki pengaruh yang sangat kuat di lapangan hukum
islam serta mampu mengubah tatanan budaya yang menyeleweng, baik melalui pers,
LSM, Universitas serta orientalis atau misionaris barat untuk menghancurkan
aqidah umat islam serta menodai pemikir generasi muda nantinya. Adapun ciri-ciri
modernism dan liberalism yang esensinya sesuai dengan pemikiran islam ialah
adanya kemampuan dan keberanian seseorang untuk melepaskan diri dari cara
berfikir dan bertindak tradisional serta berusaha memberantas bid’ah. Seorang
liberalist dan modernist berarti seseorang yang berfikir tanpa apriori,
tanpaprejudice (prasangka) dan tidak dogmatis dengan
istilah-istilah apapun. Seorang yang “liberalist” bisa mengubah dan mengkritisi
kebudayaan yang dianggap menyimpang dari syariat. Akan tetapi seorang liberalist
juga dapat mengubah dan mengkritisi kebiasaan-kebiasaan baik umat muslim dengan
mengganti kebiasaan-kebiasaan itu menjadi kebiasaan buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1) Al-Quran
Al-Kariim.
2) Azra,
Azyumardi, Historiografi Islam Kontenporer (wacana, aktualitas dan actor
sejarah), Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
3) Noer,
Deliar, Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta; PT
Pustaka LP3ES Indonesia, 1996.
4) Shihab,
Alwi, Membedah Islam Di Barat, Menepis Tudingan Meluruskan
Kesalahpahaman, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2004.
5) Departemen
Agama RI, Paham-Paham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan,
Jakarta; puslitbang kehudupan keagamaan, 2007.
6) Idris
Al-Banjari, M. Nafis, 1200 H. Alih bahasa oleh Dr. K.H. Haderanie HN. Ilmu
ketuhanan, permata yang indah; Ad-Durunnafis, Surabaya; CV. Nur Ilmu, 1972.
7) Rahman,
Budhy Munawar, islam pluralis, wacana kesetaraan kaum beriman,
Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2004.
8) Thohir,
Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam, perspektif etno-linguistik dan geo-politik,
Jakarta; Rajawali Pers, 2011.
9) Latif,
H. Abdul, dan Hasbi Ali, politik hukum, Jakarta; Sinar Grafika,
2011.
10) Qodir,
Zuli, Pembaharuan Pemikiran Islam, wacana dan aksi islam di Indonesia,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006.
11) El-Gogary,
Adel, Alih bahasa oleh Tim Kuwais, Ahmadinejad, The Nuclear Savior of
Tehran, sang nuklir membidas hegemoni AS & Zionis, sebuah narasi hidup
pribadi Ahmadinejad & revolusi nuklir-nya untuk perdamaian dunia, Depok;
Pustaka IIMaN, 2007.
12) Rahman,
Fazlur, islam, Jakarta; PT Bumi Aksara, 1992.
13) Anshari,
Endang Saifuddin, Wawasan Islam, pokok-pokok pikiran tentang paradigm
dan sistem islam, Jakarta; Gema Insani Press, 2004.
14) Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta; Rajawali Pers, 1993.
15) Abubakar,
Al-Yasa’, Sekilas Syariat Islam di Aceh; dinas syariat islam
provinsi nanggroe aceh Darussalam.
16) Nasr,
Seyyed Hossein,Science and Civilization in Islam, (1968). Diterjemahkan
oleh; J. Mahyudin, Sains dan Peradaban Dalam Islam, Bandung;
Penerbit Pustaka, 1997.
No comments:
Post a Comment