Jurnalistik
dan Pers
BAB
I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Semua system kebebasan pers di dunia ini
memiliki konsep mengenai tanggung jawabnya masing-masing. Dari segi konstitusi
Negara kita sangat menghargai kebebasan pers. Dalam bab X tentang Hak Warga
Negara Pasal 28 UUD 1945 disebutkan,
“Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang–undang…”.
Pasal ini terkait dengan niat Negara
untuk membangun kehidupan demokrasi dan menyelenggarakan keadilan social dan
perikemanusiaan. Dengan menempatkan “hak untuk berkomunikasi” serta “dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” (dalam hal ini pers),
konstitusi kita sekarang mengakui “kebebasan pers”. Kebebasan disini bukan
berarti bebas tanpa batas karena tidak ada kebebasan yang tidak memiliki batas
didalam masyarakat modern, termasuk di Negara paling liberal sekalipun.
Tetapi seiring berjalannya waktu, sering
terjadinya permaslahan-permasalahan didalam dunia jurnalistik yang berkaitan
dengan etika. Dasarnya adalah bagaimana jurnalisme mampu member keseimbangan
dalam pemberitaan. tidak ada tendensi, terlebih penghakiman yang akan
menjerumuskan satu pihak, membongkar celah, dan tidak bisa dikembalikan lagi ,
kode etik lantas dibuat. Pemberitaan yang tidak seimbang tentu akan membuat orang
yang ada dalam berita itu merasa harga dirinya terkoyak-koyak.
Walaupun mungkin apa yang diberitakan
itu benar , ketika aib dibuka secara terang-terangan, tentu saja yang
bersangkutan akan memberi perlawanan. Penyimpangan Kode Etik Jurnalistik telah
mencapai maksud yang sempurna ketika pers mulai jadi hakim sendiri. Memutuskan
mana yang benar dan mana yang salah seenaknya. Karena itu, tidak jarang dalam
melaksakan kebebasan pers itu wartawan cenderung lupa atau sengaja melupakan
hak orang lain sehingga merugikan profesinya sendiri.
B. Rumusan Masalah
1) Pengertian
Jurnalistik dan fungsi pers
2) Apa
saja Kode Etik Jurnalistik dan Wartawan
3) Penyimpangan
yang dilakukan Media Massa atau Pers
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Jurnalistik dan Fungsi
Pers
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu
mengaitkan jurnalistik dengan dengan pekerjaan wartawan (jurnalis). Hal
tersebut ada benarnya, meski tak sepenuhnya demikian sebab dalam dunia
jurnalistik, baik secara teori maupun praktik, juga menyangkut banyak bidang keahlian
atau ketrampilan lainnya. Misalnya menyangkut desain, lay out, produksi,
kalkulasi, advertensi, fotografi, usaha, sirkulasi, pemasaran dan lain-lain.
Jika kita melihat secara etimologis , jurnalistik atau jurnalisme berasal dari
kata journal (inggris) atau du jour (prancis) yang berarti catatan harian atau
catatan mengenai kejadian sehari-hari atau bisa juga diartikan sebagai surat
kabar harian.
Berdasarkan perkembangan yang ada pada
saat ini, jurnalistik dapat diartikan sebagai seluk beluk mengenai kegiatan
penyampaian pesan atau gagasan kepada khalayak atau massa melalui media
komunikasi yang terorganisasi seperti surat kabar /majalah (media cetak) ,
radio , televise , internet ( media elektronik ), dan film (news reel). Media
massa menjadi alat persuasi yang sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan
hidup manusia. Media massa digunakan sebagai sarana pemasaran produk yang utama
serta menjadi penentu utama selera konsumen.
Fungsi pers disini adalah sebagai
pemberi informasi , mendidik , menghibur , control dan pembanding media. Peran
dan fungsi lain media massa atau pers dalam system social apapun seringpula
dimanfaatkan untuk keperluan propaganda ,psychological warfare atau yang biasa
disingkat dengan psywar (sebuah kegiatan yang dekat dengan aktivitas intelijen)
, agitasi (hasutan yang umumnya dilakukan oleh tokoh atau aktifis untuk
mempengaruhi massa), dan kampanye. Bagi para produsen fungsi media yang utama
adalah sebagai sarana promosi serta persuasi untuk kegiatan pemasaran produk
dan jasa.
2. Kode Etik Jurnalistik dan Wartawan
Sudah semestinya kode etik jurnalisme
dan kode etik profesi kewartawanan selain berisi panduan moral juga
memperhatikan pula ketentuan hukum dan sistem nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Kode etik merupakan panduan moral atau etika kerja yang disusun dan
ditetapkan organisasi profesi seperti dokter , pengacara , guru , jurnalis ,
dan lain-lain. Selain sebagai pedoman, fungsi kode etik juga mengatur mengenai
hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak. Maksudnya adalah untuk mencegah anggota
organisasi profesi bersangkutan melakukan praktik-praktik merugikan profesi dan
masyarakat, apalagi praktik-praktik yang menyangkut pelanggaran pidana.
Dibidang jurnalisme kode etik diperlukan karena adanya tuntutan asasi, yaitu
kebebasan pers. Disisi lain ,kode etik juga dibuat untuk melindungi organisasi
dan anggota seprofesinya dari tekanan atau hal-hal merugikan yang dating dari
luar.
Jadi, kode etik biasanya sebagian juga
bermuatan masalah-masalah yang diatur dalam delik pers. Kode Etik Wartawan
Indonesia ( KEWI ), sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan Dewan Pers No.
1/2000 yang dirumuskan diBandung 1 september 1999 ( yang dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Dewan Pers), menyebutkan, “wartawan Indonesia tidak
menyiarkan informasi yang bersifat dusta , fitnah , sadis , dan pornografi
serta tidak menyebutkan indentitas korban susila”. Sementara itu Kode Etik
Jurnalistik Indonesia (tahun 2003) dalam pasal 3 menyebutkan, “wartawan tidak
menyiarkan karya jurnalistik ( tulisan , gambar , dan suara ) yang menyesatkan
, memutar balikkan fakta , bersifat fitnah ,cabul , sadis , serta sensasional”.
Pasal 3 ini diubah menjadi pasal 4 dalam Kode Etik Jurnalistik ( Tahun 2006
disebut sebagai pengganti KEWI 2000 ) dan rumusan dipersingkat menjadi ,”
wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong , fitnah , sadis dan cabul.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan “menyesatkan” disitu adalah berita yang membingungkan ,
meresahkan , membohongi , membodohi atau melecehkan kemampuan berfikir khalayak
. sementara itu, maksud kata fitnah adalah membuat kabar atau tuduhan yang
tidak berdasarkan fakta. Cabul adalah perbuatan yang melukai susila dan
berselera rendah. Singkatnya yang sering kita sebut dengan pornografi.
3. Penyimpangan yang Dilakukan Media
Massa atau Pers
Sayangnya dalam melakukan
kewajiban-kewajiban yang diuraikan diatas, media massa atau pers juga kerap
melakukan penyimpangan didalam pelaksanaan peliputannya, yaitu:
Ø Memelintir
bahasa atau menggunakan bahasa besifat sensasional atau bombatis dengan
menggunakan teknik jurnalisme omongan, mengutip pendapat dari sumber yang tidak
bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Ø Mencampur
adukkan antara realita dan kepalsuan ( atau dikenal pseudosophy)
Ø Memunculkan
headline dan judul berita yang berbeda (misleading) dengan isi berita sehingga
tidak sesuai dengan kenyataan
Ø Melakukan
dramatisasi fakta, dengan tujuan mengorbankan rasa benci dan permusuhan didalam
masyarakat.
Ø Tidak
objektif dalam pemberitaan, lebih ke opini sendiri
Adapula
contoh kasuh pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh media massa
atau pers ,yaitu: ANTV dan TVone dalam pemberitaan sepak bola Nasional
khususnya berkaitan dengan Tim Nasional Sepak Bola Indonesia (Timnas
Indonesia). Seperti sudah diketahui bersama bahwa AFC dan FIFA yang menyatakan
bahwa Timnas Indonesia adalah Timnas yang dikelola oleh Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia (PSSI), ternyata hal ini disesatkan oleh pemberitaan yang
dilakukan oleh ANTV dan TVOne. Lebih parah lagi, ANTV dan TVOne terkait
pemberitaan Bola Nasional ini diduga melanggar Kode Etik Jurnailistik pasal 4
dalam penafsiran ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa: Pasal:4 Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Dalam sejarah perkembangan Pers menurut Paul Johnson, jurnalis dan ahli sejarah
Amerika Serikat, ada tujuh dosa yang mematikan kebebasan Pers , yaitu:
1) Penyimpangan Informasi
Kalau pewarta warga (citizen journalist)
memasukan banyak opini dan informasi yang belum terverifikasi dalam tulisannya,
tentu masih dapat dimaklumi, tapi jika media profesional dengan institusi resmi
juga memasukkan informasi yang belum jelas, tentu itu bukan masalah sepele.
Alkisah sebuah media online memberitakan tentang seorang buruh pabrik bernama
Saih menemukan satu tas uang berisi 435 juta rupiah. Alih alih mengambilnya, ia
malah mengembalikan kepada orang yang berhak; seorang bendahara yang menjatuhkan
uang gaji karyawan perusahaan yang baru diambilnya. Cerita berakhir happy ending, Saih diberi
sepuluh juta dan sang bendahara selamat dari pemecatan.
Tentunya berita tersebut menarik
perhatian banyak orang. Di zaman edan
seperti ini, saat sang wakil rakyat hobi
menghambur hambur uang yang diwakili, saat petugas malah memeras para pembayar
pajak, dan nyaris semua hal memerlukan upeti demi kelancaran; kejujuran terasa
lebih berkilau dari emas. Wajar kalau berita tersebut menyentuh hati banyak
orang.
Sayangnya berita itu
ternyata tidak seluruhnya benar.
Ada banyak versi yang beredar dari media
online itu. Versi yang kemudian dikutip banyak anggota forum sosial di internet
(diantaranya bahkan forum kompas dan kaskus)
yang berpikir sederhana, bahwa kalau sebuah berita muncul di media massa
resmi pasti sudah terverifikasi kebenarannya.
Ceritanya makin simpang siur. Bahkan
diantara sesama media online pun berbeda.
Seorang jurnalis televisi pun penasaran dan mencoba menelusuri cerita
sebenarnya. Segera setelah selesai ia memberi tahu saya, bahwa cerita yang
sesungguhnya berbeda. Saih, sang buruh memang benar-benar jujur mengembalikan
tas yang ditemukannya. Penerimanya juga bendahara sebuah pabrik. Itu benar. Tapi yang lainnya seperti
mengarang indah.
Sebenarnya tas yang ditemukan Saih tidak
berisi ratusan juta seperti kabarnya, tapi hanya berisi 900 ribu uang milik
sang bendahara. Sisanya adalah slip gaji karyawan yang memang totalnya
mencantumkan 400an juta. Saih hanya
menerima uang jasa sekadarnya dari sang bendahara, bukan 10 juta rupiah. Intinya, berita awal
disebuah media massa online itu menyimpangkan informasi demi sesuatu; entah
dramatisasi, atau pemanjaan khayalan romantis sang reporter.
Menyakitkan buat saya yang juga sempat
menjadi jurnalis, karena ini adalah institusi/media massa resmi yang membuat
kesalahan ini. Dulu saya dicekoki bahwa menurut Joseph Pulitzer salah satu ‘bapak’ jurnalisme dunia, yang terpenting dalam jurnalisme ada tiga hal. Yaitu: Akurasi,
Akurasi dan Akurasi..
Penyimpangan informasi ini sangat
mungkin terjadi, mungkin dalam rangka mencari dramatisasi suatu kejadian,
mempertegas kesalahan salah satu pihak atau bahkan supaya menarik perhatian dan
bisa ditayangkan oleh sang editor. Kesalahan ini sering dialami, dan tidak disadari
oleh para jurnalis. Padahal tanpa membelokkan informasi pun, seringkali
kekeliruan terjadi. Misalnya, kalau anda
membaca tulisan saya dan tidak familiar dengan berita itu, maka mungkin sekali
anda akan menyangka bendahara yang saya sebut diatas adalah seorang pria. ..
dan saya tidak berniat menyimpangkan informasi apapun.
2)
Dramatisasi
Fakta
Drama memang menarik perhatian. Baik di
media tulisan ataupun (apalagi!) di media audio visual. Hal itu menyebabkan
banyak orang (baca: jurnalis) berusaha mencari unsur drama dalam beritanya.
Tentunya hal itu tidak dilarang, karena dalam nilai berita yang diajarkan di
kampus-kampus pada para calon dosen dan jurnalis muda juga selalu ada nilai
Human Interest dan Drama. Kalau ada sebuah peristiwa yang punya nilai dramatis
tinggi berarti memang nilai beritanya akan ikut melonjak, Itu bukan masalah,
yang jadi masalah adalah saat orang berusaha menambahi drama pada sebuah berita
yang fakta-faktanya sendiri kurang jelas.
Contoh paling nyata adalah berita bunuh
diri, di koran atau di televisi sering ada tulisan atau narasi yang berlebihan
mendramatisasikan peristiwa bunuh diri itu. Misalnya dalam tulisan di sebuah
media online ini.
PEKANBARU-
Tim SAR berhasil mengevakuasi jenazah Ahmad Afandi (25) di tepian Sungai Siak,
Pekanbaru, Riau. Korban diduga bunuh diri dengan terjun ke sungai karena
frustasi tidak bisa melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2).Penemuan jenazah
pemuda yang baru lulus sarjana oleh tim SAR itu dibantu masyarakat sekira pukul
10.00 WIB. Jenazah ditemukan di dekat jembatan Siak III Pekanbaru atau sekira 3
kilometer dari lokasi terjunnya Afandi di Sungai terdalam di Indonesia
itu."Korban ditemukan oleh warga tersangkut kapal dengan posisi
telungkup," kata Kapolsek Sektor Kawasan Pelabuhan Pekanbaru, AKP Hermawi,
Rabu (6/3/2013) di lokasi.Kapolsek mengatakan bahwa korban terjun ke Sungai Siak pada Minggu, 3 Maret 2013
sekira pukul 20.00 WIB.Setelah ditemukan, tim SAR bersama pihak Kepolisian
langsung mengevakuasi korban. Selanjutkan korban dibawa ke rumah duka di
Perumahan Putri Tujuh,Panam Pekanbaru."Motif sesungguhnya mengapa korban
nekat terjun masih kita selidiki," imbuhnya.
Djoni Kusbiono, seorang praktisi Periklanan, menulis: “Bohong dan
dramatisasi memang jelas berbeda. Bohong berarti, fakta tersebut tidak ada
alias tanpa fakta. Sedangkan dramatisasi berarti, fakta tersebut ada narnun
disampaikan secara berlebihan.”
Dalam Contoh, sang penulis seolah tahu
persis alasan orang yang tewas itu membunuh diri, padahal di bagian akhir
polisi pun masih mencoba menyelidiki.
Memang ada fakta bahwa orang yang mati baru lulus kuliah dan gagal
mendapatkan beasiswa ke jenjang berikut. Dengan (hanya) berbekal data itu,
penulis membuat dugaan bahwa itu adalah alasannya untuk bunuh diri. Ia
mendramatisasi fakta yang ada.
Kalau memang ada yang menduga bahwa
orang yang tewas itu bunuh diri karena tak bisa melanjutkan S2, maka sebaiknya
orang yang menduga itu juga dimasukkan ke kutipan. Itu cara menulis berita yang
lebih baik.
Lain lagi dramatisasi di sebuah media
cetak harian yang sering dianalogikan sebagai koran kuning, dengan judul-judul
provokatif dan ‘lebay’ mereka berusaha menarik minat para pembacanya. Fenomena itu juga sempat dibahas oleh Iwan
Awaluddin Yusuf dalam blognya. Salah satu bahasannya ada dalam kutipan ini:
berita
berjudul “Burung Mau Matuk, Istri Ngantuk, Yang Punya Burung Ngamuk” berikut.
“…Malam
itu, Suminah sudah pulas tidur. Apalagi, seharian penuh mengurus rumah dan
anak-anak…Suminah pun dibangunkan. Tapi karena sudah telanjur pulas, Suminah
tak juga bangun. Padahal, malam itu Rahman sedang on alias sedang kepingin.
Mungkin kalau Rahman itu Ahmad Dhani, dia tak ragu berteriak. “Aku sedang ingin
bercinta!”.Tapi Suminah sudah terlanjur malas. Rahman terus memaksa. Dan
Suminah pun marah sambil menggerutu. Mendengar itu, rahman tak suka. Biarpun
tengah malam, mereka cuek saka ribut mulut. Saling memaki dan makin lama suara
mereka makin keras. Sampai akhirnya, “Plakkk!” Tangan Rahman sudah mendarat di
pipi Suminah.Kali ini Suminah tak bisa menahan air matanya. Melihat istrinya
menangis. Rahman makin semangat. Dia terus memukuli Suminah seperti Mike Tyson
memukuli lawan-lawannya yang gendut. Tak peduli Suminah menangis, rahman malah
cuek saja memegangi tangan Suminah. Dan “Krakk” tangan Suminah pun dipelintir…
(LM, 9 Agustus 2008)”
Menarik memang gaya penulisannya. Menarik karena seolah-olah bercerita, tapi
jadi mengurangi akurasi karena dramatisasi berlebihan pada fakta-fakta yang
didapat. Berita mengenai sebuah kekerasan dalam rumah tangga malah menjadi
cerita ringan ditangan penulis ‘berita’ ini.
Tentunya dramatisasi yang berlebihan juga terjadi di media televisi dan
radio. Lihat daja, ada beberapa stasiun televisi yang tidak sungkan memberikan
backsound musik pada berita-berita mereka. Kalau berita sedih maka musik pun
mendayu-dayu, saat berita kriminal backsound pun berubah seperti film laga.
Bahkan ada petinggi televisi berita yang beranggapan, kalau berita yang bagus
harus didramatisasi...
3)
Serangan
pada Privasi
Pada dasarnya semua orang (bahkan
penjahat, artis, koruptor dan pejabat) punya hak pribadi yang harus dihargai,
sayang media massa sebagai salah satu institusi yang seharusnya paling mengerti
hal itu malah kerap mengabaikannya.
Coba saja tonton televisi saat ini,
berapa banyak televisi yang dalam berita kriminalnya berusaha menutupi wajah
sang tersangka pelaku kejahatan. Padahal mereka baru tersangka, belum terbukti
melakukan kesalahan. Tapi itu belum
seberapa, lihat berapa banyak media televisi mengabaikan hak-hak korban
kejahatan asusila, bahkan anak-anak. Walaupun mengambil wajahnya dari belakang,
tapi dengan jelas menyebutkan sekolah dan kelasnya. Dengan gamblang juga
memampangkan wajah sang tersangka, padahal kebanyakan tersangka pelaku adalah orang
dekat korban. Belum lagi saat mewawancara ayah atau ibu korban. Tentunya setelah menonton berita itu, semua
teman dekat, tetangga, kawan sekolah dan keluarga langsung tahu siapa korban
itu.
4)
Pembunuhan
Karakter
Menurut Dr. Erman Anom, MM pengajar komunikasi di Universitas Esa
Unggul, Jakarta. Pembunuhan karakter ini
umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/perusahaan, yang
diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan
dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan segi/sisi “buruk” mereka
saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
Dalam Jurnalisme pembunuhan karakter
sering terjadi saat media membahas tentang kesalahan-kesalahan seseorang atau
sekelompok orang. Untuk memperkuat berita mereka, seringkali para jurnalis
melakukan penyelidikan yang searah dengan bagian paling heboh dalam berita itu.
Saat seorang dokter di sebuah rumah
sakit dituduh membuat cacat seorang bayi oleh orang tua bayi itu, para jurnalis
berduyun-duyun datang. Mereka mulai menggali-gali keburukan dari sang dokter,
rumah sakit tempat kejadian dan korban-korban lain yang pernah dikecewakan oleh
rumah sakit itu. Tujuannya memang memperkuat berita yang diperoleh, tapi
informasi yang dicari dengan gaya itu hanya akan menghasilkan informasi yang
senada; menjelekkan dokter atau rumah sakit tersebut.
Lain lagi kasus Aceng, sang bupati
Garut. Awalnya berita tentangnya adalah kasus kawin siri yang berakhir dalam 3
hari, dan rentetan berita itu berakhir dengan cap tukang kawin dan suka
melecehkan wanita. Diluar bukti-bukti yang dikumpulkan para jurnalis, berita
yang susul menyusul dan nyaris semuanya negatif tentang Aceng, telah membunuh
karakternya sebagai politisi senior. Aceng yang tadinya adalah politikus yang
cukup baik (terbukti bisa mencapai jenjang bupati) sampai tak lagi laku, bahkan
saat mendaftar menjadi caleg sebuah parpol baru.
Sebenarnya sudah ada cara yang pas untuk
mencegah terjadinya berita satu arah yang menuju pada pembunuhan karakter
ini; namanya Balance Reporting. Dengan
menjalankan itu, jurnalis bisa tetap menjaga beritanya tetap benar dan
berimbang. Beri kesempatan seimbang
antara berita yang positif dan negatif tentang suatu hal, biar masyarakat yang
menarik kesimpulan.
5)
Eksploitasi
Seks
Seks memang selalu jadi daya tarik bagi
media. Tak perlu membuka majalah atau koran, cukup berjalan ke stand penjual
koran dan perhatikan display mereka. Perhatikan bahwa di hampir semua majalah
dan sebagian koran ada gambar yang mengeksploitasi sensualitas. Perhatikan juga
bahwa banyak judul yang dibuat bombastis, provokatif bahkan vulgar secara
seksual.
Bukan hanya koran dan majalah, buka juga
situs situs berita online. Buka bagian hot gossip, berita entertainmen dan
selebritis. Gambar-gambar sensual mengundang niscaya memenuhi monitor anda.
Belum lagi iklan-iklan dikanan kirinya yang juga mengeksploitasi seks dan
sensualitas.
Buka juga bagian berita metro. Lihat
bagaimana berita pencabulan, pelecehan, perkosaan dan razia warung remang
remang selalu muncul. Saksikan juga di berita berita televisi –terutama saat
malam hari- entah kenapa berita-berita sejenis muncul. Beberapa teman produser
malah yakin bahwa pria, sasaran audience berita-berita malam itu, selalu
tertarik dengan kasus perkosaan, pencabulan maupun razia para pekerja seks.
Siaran yang berulang-ulang tentang suatu
tindakan membuat masyarakat menjadi lebih toleran, dan pada gilirannya
menganggap tindakan itu layak dipertimbangkan. Bahkan seolah-olah siaran
tersebut memberi ide pada orang-orang yang sudah memiliki kecenderungan
menyetujui arah tindakan tersebut. Contoh sederhananya peristiwa kawin cerai di
kalangan artis yang sangat sering diberitakan media, lambat laun dianggap
wajar, dan bukan lagi sebuah aib bagi seorang artis untuk kawin cerai. Kalau
dulu bercerai konsekuensinya sangat berat dalam masyarakat, kini kawin cerai
hanya sekedar peristiwa biasa. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau yang
disiarkan berulang-ulang adalah pencabulan anak oleh orang-orang yang
seharusnya melindunginya.
6)
Meracuni
Pikiran Anak
Sekali cara meracuni pikiran anak-anak,
mulai dari iklan sampai tulisan jurnalistik. Racun yang disampaikan juga bukan
hanya berbentuk pornografi atau konsumerisme, tapi juga pemakluman dan
perusakan nilai/norma yang dianut anak-anak itu. perhatikan beberapa contoh
berita ini:
Beberapa berita tentang anak yang bunuh
diri gara-gara tak bisa sekolah. Berita tersebut seolah membuat anak yang bunuh
diri adalah korban, dan tidak bisa sekolah adalah penyebabnya. Berita berita seperti ini seolah menafikan bahwa
sekolah adalah sesuatu yang wajib dan sangat penting, bahkan dibandingkan
nyawa. Beberapa berita yang terus di
follow up, mencerminkan anak yang bunuh diri adalah korban.. tidak bersalah…
terpaksa melakukan bunuh diri karena haknya sekolah tak diberikan.
Dan
itu baru salah satu contoh.
Jargon
kuno: “bad news is good news” membuat
banyak jurnalis memilih memberitakan kesedihan kesengsaraan dengan negatif.
Menghilangkan optimisme dan kemampuan berpikir positif.
7)
Penyalahgunaan
Kekuasaan
Disaat pemerintah Indonesia sangat
peduli pada pencitraan, media masa (dan jurnalis sebagai pelakunya) mendapat
suntikan kekuatan yang sangat besar. Media seperti punya kekuatan untuk
menentukan nasib seseorang. Saat seorang selebritis atau pemimpin politik
terkena masalah, Media bisa jadi pemangsa yang sangat kejam atau justru tameng
yang sangat kuat.
Pencitraan jadi senjata utama. Tak
masalah melakukan kawin cerai, memukuli kekasih atau bahkan membohongi public,
selama didukung oleh media. Tak heran
banyak politisi berupaya memperoleh akses ke Media Massa. Penguasaan media
jelas akan meningkatkan prosentase keberhasilannya. Tentunya itu adalah
penyalahgunaan kekuasaan media. Rasanya bukan rahasia lagi persaingan politik
dan pengaruh sudah merasuk ke media. Akibatnya, jurnalis yang notabene hanyalah
buruh di media tempatnya bekerja juga terseret. Jurnalis yang bekerja disebuah
media akan dipaksa membela pemiliknya,
menghindari berita yang menyakiti pemiliknya dan mem blow up berita yang
merusak saingan sang pemilik.
Penafsiran:
Ø Bohong
berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang
tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Ø Fitnah
berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
Beberapa
Fakta tentang ANTV dan TVOne telah melanggar Kode Etik Jurnalistik ini,
terutama dalam pemberitaan di program acara Lensa Olahraga dan Kampiun. (ANTV),
juga Kabar Indonesia Petang dan Kabar Arena (TVOne), yang antara lain:
·
Adanya pemberitaan yang menyatakan bahwa
Timnas Indonesia yang dibentuk oleh KPSI adalah Tim Nasional Sepakbola
Indonesia. Hal ini merupakan indikasi atas kebohongan dan fitnah atas
keberadaan dan posisi Timnas Indonesia yang sah serta diakui oleh AFC/FIFA;
·
Adanya kebohongan dan fitnah pemberitaan
yang menyatakan dengan memberikan label kepada La Nyalla Mataliti sebagai ketua
umum PSSI hasil KLB di Ancol, padahal AFC maupun FIFA tidak mengakui adanya KLB
Ancol. AFC dan FIFA hanya mengakui organisasi PSSI adalah yang dipimpin oleh
Djohar Arifin Husen;
·
Pemberitaan terkait poin 1 dan 2 ini
hingga sekarang terus dilakukan, terkahir kali pemberitaan ini adalah saat
Kampiun hari Minggu (23/9/12) yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia akan
melanjutkan latihan di Australia dengan melakukan latih tanding bersama
Klub-klub lokal Australia
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Media massa adalah suatu alat yang digunakan
seseorang untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Media massa juga
merupakan media yang selalu menjadi perhatian masyarakat. kehidupan masyarakat
pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas dari media massa baik itu
televise , Koran ,radio , atau internet. Keefektifan serta peranannya yang
begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi
pembentukan kepribadian masyarakat, serta perilaku dan pegalaman kesadaran
masyarakat. oleh karena itu pula banyak kelompok masyarakat yang berupaya
menjadikan media massa sebagai propaganda ide , cita-cita , nilai , dan norma.
Maka dari itu sebagai warga Negara Indonesia yang taat terhadap
peraturan-peraturan serta norma-norma yang sudah ditentukan , kita harus tetap
berpegang dengan Kode Etik Jurnalistik dalam pencarian , penyusunan dan
penyebaran berita kepada seluruh masyarakat agar terbentuk pribadi yang lebih
baik bagi warga Negara Indonesia. Menurut Paul
Johnson, ada tujuh dosa yang mematikan kebebasan Pers, yaitu:
1.
Penyimpangan Informasi
2.
Dramatisasi Fakta
3.
Serangan Privasi
4.
Pembunuhan Karakter
5. Eksploitasi
Seks
6. Meracuni
Pikiran Anak
7. Penyalahgunaan
Kekuasaan
DAFTAR
PUSTAKA
A. Buku;
1.
Barus Sedia Willing.2010.Jurnalistik;
Petunjuk Teknis Menulis Berita.Jakarta : Erlangga Setiati Erni.2005.
2.
Ragam Jurnalistik Baru dalam
Pemberitaan.Yogyakarta : C.V. Andi Offset Kusumastuti,M.Si.,Frida,Dra..2010.
3.
Media Dengarkan Aku.Yogyakarta : Mata
Padi Pressindo
B. Media
Massa;
1.
Blog, Anneahira.
www.anneahira.com/kasus-pelanggaran-kode-etik-jurnalistik-htm. diakses tanggal
26 september 2012 jam 2.58 AM.
2.
Blog, Kompasian.
www.Olahraga.kompasiana.com/bola/2012/09/23/antv-tvone-langgar-kode-etik-jurnalistik-terkait-berita-bola-nasional/
diakses tanggal 26 september 2012 jam 3.02 AM.
No comments:
Post a Comment