MAKALAH MOTIVASI DALAM DAKWAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
“Pemudahlah jangan persulit ; gembirakanlah dan jangan kamu mengatakan sesuatu yang menyebabkan ia lari dari padamu” (HR. bukhari no.5659)
Hadits tersebut merupakan salah satu pesan nabi kepada kedua utusannya: Abu Musa Al Asy’ary dan Mu’azd ibn Jabal ketika hendak berangkat ke yaman menunaikan misi dakwah yang ditugaskan oleh rasulullah kepadanya. Pesan tersebut mengandung nilai motivatif (kekuatan pendorong) dan persuasif  (dorongan meyakinkan) terhadap orang lain tentang kebenaran yang disampaikan kepadanya. Atas dasar pesan demikian maka pihak-pihak yang menerima ajakan (dakwah) akan terbangkitlah dalam dirinya suatu daya rangsang tehadap kebenaran dakwah itu dengan sukarela. Situasi dan kondisi demikian baru dapat berkembang bila mana motivasi terhadap tingkah laku dalam proses dakwah tersebut benar-benar mengenai sasarannya. Di sinilah faktor motivasi menjadi penentu bagi berhasilnya proses pelaksaan dakwah.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Rasulullah SAW. telah berhasil mengembangkan agama Islam ke seluruh penjuru manusia. Dalam mengembangkan agama Islam, beliau mendapat tantangan yang amat keras, akan tetapi kemudian dunia menyaksikan bahwa dalam waktu yang relative singkat dunia telah menyaksikan agama Islam telah merambat ke wilayah Arab, Asia bahkan wilayah Eropa.
Pada kenyataannya melalui dakwah yang dikembangkan oleh Rasulullah, dunia Arab yang pada waktu itu dalam suasana kejahiliahan kemudian berubah menjadi masyarakat yang beriman kepada Allah swt. Kemudian mereka menjadi pengikut setia Rasulullah saw.
Dakwah merupakan aktivitas untuk mengajak manusia agar berbuat kebaikan  dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan mungkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
2.1.   Apa pengertian Motivasi itu ?
2.2.   Apa teori tentang pengaruh motivasi itu ?
2.3.   Sebutkan macam-macam motive ?

3.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah atau karya tulis ini adalah sebagaimana berikut:
3.1.   Untuk mengetahui pengertian Motivasi itu.
3.2.   Untuk mengetahui teori tentang pengaruh motivasi itu.
3.3.   Untuk mengetahui macam-macam motive.

4.      Manfaat Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah atau karya tulis ini adalah sebagaimana berikut:
4.1.   Memberi pengetahuan baru tentang Motivasi.
4.2.   Memberi cakrawala baru pada pembaca perihal teori tentang pengaruh motivasi.
4.3.   Memberi wawasan tentang macam-macam motive.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Motivasi
Banyak para ahli psikologi menepatkan motivasi pada posisi determinant (penentu) bagi kegiatan hidup individual dalam usahanya mencapai cita-cita. Diataranya Hubert Bonner menyatakan bahwa motivasi adalah secara fundamental bersifat dinamis yang melukiskan ciri-ciri tingkah laku manusia yang terarah kepada tujuan. Motivasi mengandung arti yang berhubungan dengan ketegangan jiwa, ketidak seimbang, atau gerarkan-gerakan yang harus dilakukan. Dalam motivasi itu terkandung suatu dorongan dinamis yang mendasari segala tingkahlaku individual manusia. Bila terdapat rintangan-rintangan yang menghalagi pencapaian tujuan yang diinginkan, dengan motivasi itu seseorang melipat gandakan usahanya untuk mengatasinya dan berusaha mencapai tujuan itu. Ia merasa terdorong untuk itu sampai ia berhasil atau gagal mencapainya, ia tetap pada usahanya mencapai tujuan yang diinginkan[1].
Motivasi dalam pengertian tersebut di atas merupakan tenaga kejiwaan yang dapat membangkitkan manusia dalam perjuangan hidupnya dan oleh karena menjadi tenaga penggerak yang sangat vital untuk menghidarkan seseornag dari frustasi (kekecewaan karena gagal dalam usaha).
Oleh karena motivasi dipandang sangat penting dalam kehidupan manusia para ahli psikologi memberikan pengertian sebagai berikut:
a.       Sigmund freud seorang sarjana psikoanalisi mengartikan motivasi berdasarkan insting sebagai berikut:
Seseorang bertingkah laku menurut dua macam dorongan yaitu dorongan instink untuk hidup dan dorongan insting untuk mati. Dorongan untuk hidup mendorongnya untuk mencintai dan mencipta, sedang dorongan insting untuk mati mendorong manusia untuk membenci dan menghancurkan[2].
Dengan pengertian tersebut maka motivasi diartikan sebagai “dorongan naluri” baik bersifat negative maupun positif, baik bersifat konstruksi maupun destruktif.
Dalam hubungannya dengan pengertian itu maka bilamana seseorang mengapdikan hidupnya kepada kepentingan orang lain misalnya untuk menciptakan hal-hal baru yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, jelaslah ia didorong oleh insting untuk hidup, akan tetapi bilamana ia berbuat merusak orang lain dalam rangka usaha mencapai cita-citanya, maka ia terdorong oleh insting untu mati. Bila mana seseorang tidak dapat berbuat berdasarkan atas doronga instingtif yang bersifat deduktif, maka hal itu disebabkan oleh karena norma-norma masyrakat tidak mengizinkannya. Oleh itu dorongan-dorongan naluriah manusia itu msti dikontrol dengn kekuatan- kekuatan dari luar dirinya misalnya kekuatan social kultural ataupun agama dalam masyarakat, dimana kekuatan dapat mengarahkan jalannya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat.
b.      Motivasi berasal dari kata motive yang diartikan oleh Fillmore H. Sandford sebagai berikut:
“motivation as energizing condition of the organism that serve to direct that organism toward the goal or goals of a certain class”[3]
Jadi motive diartikan sebagai suatu kondisi yang menggerakkan suatu makhluk yang mengarahkan kepada sesuatu tujuan atau beberapa tujuan dari tingkat tertentu. Dilihat dari asal kata, motive berasal dari kata “motion” yang berarti “gerakan”.
Bilamana pengertian diatas kita pakai maka seringkali pengetian tersebut dipersamakan dengan “kebutuhan” (need) atau “dorongan” (drive). Kebutuhan atau “need” sebenarnya lebih menujukkan kepada pengertain biologis, karena menyangkut pemenuhan kebutuhan terhadap kekurangan zat yang dibutuhkan oleh makhluk untuk mempertahankan hidupnya atau mengurangi kelebihan zat-zat yang dapat membahayakan hidupnya. Misalnya kebutuhan kepada kalori adalah suatu “need” tetapi bila seseorang/makhluk tidak terdorong untuk berusaha/mencari kalori makanan tersebut; maka tidaklah ada yang disebut “kebutuhan” (need) membangkitkan makhluk untuk berjuang mencapai tujuan. Oleh karena itu “need” berbeda dengan “motive”.
Demikian pula “drive” mengandung arti yang lebih menunjukkan kepada dorongan-dorongan yang sangat erat hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan biologis serperti makan Karena rasa lapar; dorongan minum karena haus dan sebagainya. Oleh karenanya “drive” diketegorian ke dalam “dorongan-dorongan prime” atau dorongan fisiologi (jasmaniah) “Drive” adalah kondisi ketidakseimbangan yang memaksa seseorang untuk berbuat.
Menurut psikologi, pengertian “motive” tersebut digunakan untuk kondisi motivational yang lebih bersifat psikologi. Motive semacam ini sering pula disebut “motive sekunder” atau “derived motives” yang termasuk di dalamnya dorongan berkumpul (gregariousness), dorongan menyerang (aggressiveness), dorongn untuk berhubungan dengan orang lain (affiliativeness), dorongan untuk mencari sesuatu (acquisitiveness), dorongan untuk maju (achievement motive), dorongan untuk berkuasa (need for power) dan sebagainya[4].
Motive seringkali juga dipandang sebagai kebiasaan yang diperoleh (acquired habit) yakni dorongan yang disebut motive itu berasal dari kelompok social menurut situasi belajar yang berbeda-beda bagi masing-masing individual dan kelompok.
Motive itu terbentuk di dalam diri seseorang melalui pengaruh nilai-nilai dan harapan-harapan social dan kultural. Berbeda dengan drive yang bersankut paut dengan masalah biologi. Motive berada dalam wilayah psikolgi social, oleh karena manusia berjuang untuk memperoleh nilai-nilai seperti sukses, harga diri, rasa aman, kasih sayang, dan sebagainyan, bukan manusia makhluk biologis, akan tertapi manusia adalah mahluk social yang senantiasa mengadakan respons (jawaban) terhadap sikap dan nilai-nilia makhluk social lainnya.
Menurut H. bonner, dorongan yang disebut motive itu menjadi penentu bagi tingkah laku manusia dalam dua cara yakni:
1)      Ia menjadi pengubah dan penyalur drive karena adanya harapan masyarakat.
2)      Ia merupakan kebutuhan sekunder untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan secara kultural dan secara individual (pribadi). Ia bebas dari kebutuhan jasmaniah dan juga bebas dari apa yang disebut drive itu.[5]

B.     Berbagai teori tentang motivasi
Berbagai teori tentang pengaruh motivasi terhadap perilaku manusia dapat dikemukakan antran lain sebagai berikut:
1.      Menurut Floyd L. Ruch, motivasi itu sangat kompleks dan dapat mempengaruhi manusia ada 3 cara yakni:
a)      motive dapat memungkinkan pola ransangan dari luar diri manusia mengalahkan ransangan lain dan menyainginnya, misalnya seorang anak yang memcium bau gorengann ikan laut yang sedap dalam keadaan lapar tidak dapat lagi terpengaruh oleh ransangan lain bersifat visual. (gambar-gambar menarik, film dan sebagainya).
b)      motive dapat membawa seseorang terikat dalam suatu kegiatan tertentu sehingga ia dapat menemukan objek atau situasi khusus diluar dirinya seperti waktu makan telah datang maka orang lalu menghentikan pekerjaan yang ia sedang kerjakan dan beralih kepada kegiatan memcari makan.
c)      motive dapat menimbulkan kekuatan untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih berat tidak hanya mendorong kearah tujuan tertentu untuk memnuhi kebutuhan khusus saja, akan tetapi kekuatan darongan tersebut menjadi lebih umum sifatnya. Misalnya seorang mahasiswa dalam keadaan lapar dapat lebih baik mengerjakan test kecerdasan daripada setelah makan kenyang[6].
Jadi suatu ransangan (stimulus) yang dating dari luar mampu menimbulkan suatu tenaga yang dapat diarahkan kepada tujuan yang terkendali oleh factor yang memberikan ransangan tersebut.
Dalam hubungn ini dalam proses dakwah diman jurusan dakwah/penerang agama sebagai factor pemberi ransangan dakwah dapat mengarahkan response (jawaban) si penerima dakwah kepada tujuan dakwah yakni timbulnya proses belajar (learning) pada si penerima materi dakwah yang dimotivasikan kepadanya.
2.      K.S. Lashley dalam eksperimen-eksperimen yang hasilnya diuraikan dalam psychologica review 1938 dengan judul: An experimental analysis of instinctive behavior, bahwa motivasi itu dikendalikan oleh response-responsi dari susnan saraf sentral kea rah ransangan dari luar yang variasinya sangat banyak menurut peristiwa dan individu yang berbeda-beda. Tingkah laku yang dimotivasi tidak hanya tergantung pada satu ransangan saja akan tetapi bergantung pada pola ransangan yang komplek meskipun satu ransangan sudah pula dapat menimbulkan response[7].
Pandangan Lashley tesebut jelas menunjukkan pahamnya yang bersifat fisiologi (badaniah). Akan tetapi memang tidak dapat dimungkiri bahwa antara fungsi dan organ tubuh dengan proses bekerjanya fungsi-funsi kejiwaan manusia berhubungan sangat eratnya. Bilamana susunan saraf manusia itu tidak normal, maka sudah pasti fungsi jasmaniahnya tidak akan mampu mengadakan response yang normal pula. Apalagi response terhadap dakwah islamiah yang sangat erat denagn masalah enserapanmelalui pikiran, ingatan, kemauan dan perasaan, adalah sangat menghajatan kepada sehatnya sistem saraf penerima dan pengolah ransangan di dalam mana proses belajar manusia sangat terpengaruh olehnya.
3.      Teori lainya adalah menurut pandangan psikologi social yang pada dasarnya menggangap bahwa setiap motive itu mengandung factor-faktor kemasyarakatan. Teori tersebut antara lai menyatakan bahwa motive-motive psikologi itu dibentuk oleh banyak factor. Hal tersebut berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan seperti kebutuhan kepada perlindungan dan kedamaian, kebutuhan kepada penerimaan masyarakat sekitar dan sebagainya. Pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut disamping bergantung kepada lingkungan individual, juga kepada tingkat perkembangan fisik, social dan emosionalnya. Semakin banyak pengalamannya semakin banyak dan komplok pula pola motivasinya dalam masyarakat. Orang yang telah dewasa, misalnya mempunyai motive-motive yang lebih kompleks daripada anak-anak. Orang dewasa mempunyai motive-motive kecuali bersifat individual juga social seperti motive sebagai suami-isteri yang mengemudikan keluarga dalam masyarakat, sebagai kepala desa, sebagai pejabat pemerintah, sebagai pemimpin atau pengikut dalam masyarakat dan sebagainya. Kesemua motive tersebut tidak dapat lepas dari persetujuan masyarakat sekitar. Sebaliknya masyrakat tidak hanya menjadi penyalur motive manusia saja, atau tidak hanya mengarahkan kembali dorongn-dorongan biologis kepada bentuk-bentuk lahiriah yang disetujui dan dikehendaki oleh masyarakat, akan tetapi juga masyarakat itu sendiri menciptakan motive-motive, keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan baru.
Sebegitu jauh masyrakat juga merupakan kekuatan yang kreatif dalam tingkah laku manusia. Banyak keginian individual manusia tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan individunya saja,  akan tetapi berkaitan pula dengan orang lain yang mampunyai penelaian danpersepsi terhadap keinginan tersebut. Leh karenanya maa keinginan individual itu pada hakikatnya juga produk (hasil) dari persepsi dan evaluasi sosial.
Dengan demikian semua motive-motive individual manusia sebagai anggota masyarakat perlu ditransformasikan ke dalam kesejahteraan masyrakat, oleh karena tujuan pemenuhan motive tersebut tidak hanya sekedar mengurangi keterangan fisiologis akan tetapi yang lebih penting adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.[8]
Teori di atas sebenarnya merupakan pandangan yang berasaskan kepada keseimbangan hidup individual dan social berdasarkan teori equilibrium (keseimbangan)  yang bepangkal pada teori yang disebut Homeostasi*). Ditarik ke dalam proses dakwah maka teori keseimbangan tersebut dapa diterapkan pada pemenuhan terhadap kebtuhan hidup individual dan sosial yang berimbang yang diandaei dengan harmonisasi hubungan vertikanl dengan tuhannya dan dengan masyarakatnya. Di sinilah proses dawah berada daam arah dan tujuan pengembanan individualisasi dan sosialisasi manusia secara simultan (bersama) karena hal tersebut merupakan intinya kebahagian manusia dunia dan akhirat.
4.      Teori lainnya yang cukup terkenal adalah apa yang disebut oleh Maslow sebagai teori kebutuhan, yaitu bahwa motive manusia senantiasa menggerakkannya kepada pemenuhan aan kebutuhan-kebutuhan yang bertingkat sebagai berikut:
a)      pemenuhan kebutuhan fisiologi (jasmaniah).
b)      pemenuhan kebutuhan security (keamanan) atau pelndungan.
c)      pemenuhan kebutuhan hidup kemasyarakatan (sosial).
d)     pemenuhan kebutuhan akan pengakuan.
e)      pemenuhan kebutuhan akan kepuasan.[9]
Dalam proses kegiatan dakwah/penerangan agama pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia menurut teori di atas adalah mutlak  perlu dierhatikan, oleh karena tanpa dapat menghampiri motive-motive pokok manusia, pesan dan pesan dawah mustahil dapat mempengaruhi perilaku obyek dakwah/penerangan agama sebagai yang diharapkan.
5.      teori tentang virus mental dari david C. McCleland, seorang ahli psikologi dari universitas Harvard, USA pada prinsipnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
Di setiap kehidupan psikologi manusia baik secara individual maupun social/kelompok terhada suatu daya kekuatan mental yang mampu mendorong kea rah suatu aktivitas kehidupan yang luar biasa hebatnya sehingga dengan daya tersebut manusia dapat mengalami kemajuan yang luar bias cepatnya. Daya kekuatan pendorong tersebut disebut Visual mental, karena bilamana telah berjangkit di dalam jiwa manusia bias menjadi daya yang berkembang luas serta
dapat minumbukan inpact (pengaruh) kepada kemajuan hidup masyarakat sekitar.
Daya kekuatan tersebut oleh David C. McClelland diberi nama n. Ach sesuatu kependekan dari need for achievement yang artinya kebutuhan ntuk memproleh prestasi dan hasil yang gemilang. Need for achievement itu terdapat di dalam mental manusia untuk melakukan untuk mengusahakan sesuatu yang lebih baik, lebih efesien, lebih cepat, lebih gemilang daripada apa yang telah dilkukan sebelumnya.
Untuk menjelaskan maksud tersebut oleh david c.mcClelland memberikan contoh tentang sikap pikiran 2 orang mahasiswa A dan B sebagai berikut:
A adalah seorang  mahasiswa yang menceritakan bahwa ia di waktu sedang belajar untuk suatu ujian sulit untuk memutuskaan pikirannya karena teringat kepada pacarnya. Sedang si B, seorang mahasiswa yang menceritakan tentang dirinya secara spontan bahwa ia dengan berusaha keras memperoleh angka ujian yang yang baik karena ingin memasuki peguruan tinggi (fakultas kedokteran). Untuk itu ia belajar jauh malam, khawatir kalua-kalau tidak berhasil dan sebagainya.
Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa si B, memunyai pikiran-pikiran ber-n Ach lebih baik daripada si A dan ternyata ushannya tidak sia-sia, karena dapat meraih angka ujian yang kumlaude. Si B, jelas lebih banyak dijang kiti virus mental tersebut.
Dengan demikian apajyang disebut virus mental atau n. Ach itu tidak lain adalah motive psikologi dalam diri manusia yang mampu mendorong untuk berusaha dengan giat memperoleh sukses yang lebih besar, dan motive demikian inilah yang sangat diperlukan dalam roses mondernisasi yang sedang membangun.
Bila hal tersebut dimanfaatkan dalam proses/penerangan Agama maka jelas
bahwa yang diperbuat oleh juru dakwah/penerang Agama adalah menjiwai motive tersebut dengan ajaran agama sehingga agama bagi dirinya menjadi suatu religious referrene (pola dasar hidup beragama) yang dinamis, bukan statis.
Dalam usaha penjiwaan tersebut insting (naluri agama) yang ada dalam setiap diri manusia perlu dibangkitkan melalui berbagai metode, dengan mengingat corak lingkungan hidup dan sosio-kulturalnya, tingkat pendidikan, tingkat usia, peradaban serta sosio-ekonominya.
Untuk menjelaskan arti dan kegunaan apa yang disebut n. Ach tersebut fillmore H. Sanford mengertikannya ‘as an energizing conditions of the orgainism leading it to seek high standard of performance[10], yaitu sebagai suatu kondisi yang memberikan kekuatan suatu organism eke arah usaha memperoleh standar perilaku yang tinggi.dengan demikian maka n. Ach dapat berjangkit dalam semua lapamgan hidup manusia baik secara partial (sebagian) ataupun secara total (menyuruh). Yang menjadi masalah adalah bagaimana menemukan kunci untuk membangkitkannya.
Melihat pentingnya fungsi motivasi dalam perilaku organisme, maka Thorndike, ahli ilmu jiwa aliran behaviorisme di Amerika Serikat, menciptakan hukum efek (law of effect). Menurut hukum ini, hubungan yang dibentuk oleh organisme antara suatu situasi ransangan dengan response (jawaban) menjadi kuat bilaman response tersebut diikuti oleh suatu pemenuhan terhadap kepuasan atau diikuti oleh pengurangan terhadap suatu kebutuhan (need reduction).[11]
Teori diatas menjadi intinya pandangan para ahli-ahli psikologi asiosiasionistis yang menerapkan ke dalam kegiatan belajar manusia melalui metode pemberian hadiah. Jadi efek (pengaruh) daripada hadiah adalah berupa daya dorong organisame untuk belajar. Dalam islam terknal dengan terhieb  dan terghieb (mendorong seseorang supaya menyukai suatu perbuatan yang baik).
William McDougall (1871-1938) menyebut daya motivatif tersebut dengan hormic yaitu suatu daa desak dari  dalam driri manusia (urge) yang bergerakkan arah prilaku yang bertujuan.
Tingkah laku yang bertujuan itu menurut William McDougall mempunyai beberapa ciri obyektifsebagi berikut:
1)      Tingkah laku itu tetap ada, meskipun berproses dari melakukan response yang tetap berlanjut setelah ransangan menghilang.
2)      Dengan adanya ketetapan tersebut nampaklah adanya variasi kegiatan. Bilaman ada rintangan maka tingkah laku tersebut tetap berlangsung sehingga tujuan tercapai seolah-olah tiada rintangan yang menghalanginya.
3)      Kegiatan baru berakhir ketika tujuan telah tercapai dan berberapa tujuan berlangsung lagi. Misalnya seekor kucing lari tergesa-gesa memanjat pohon untu menyelamatkan diri dari kejaran anjing,setelah sampai diatas  maka kucing tersebut duduk diatas dahan sambal mengawasi anjing yang berada dibawahnya. Tujuan menghindari kejaran anjing telah tercapai ketika teah berada diatas pohon akan tetapi setelah itu masih pula timbul kegiatan baru berupa mengawasi anjing di bawah pohon itu.
4)      Kegiatan yang dilakukan menjadi lebih baik karena pengulangan. Gerakan yang tak bermanfaat dihilangkan dari semua prilaku menjadi lebih lancar dan cepat. Dengan kata lain organisme dapat belajar mencapai tujuan dengan lebih efisiaen.[12]
Jadi suatu prilaku atau tingkah laku manusia atau binatang yang bersumber dari dorongan psiologi yang disebut hormic dapat berubah menjadi semakin baik da efisien proses belajar. Demikian pula proses belajar dalam rangkaian kegiatan dakwah bagi manusia akan semakin berfungsi dengan efeisien bilmana ransangan dakwah itu mampu memperkuat ikatan hubungan stimulus dan proses dakwah tersebut. Pengulanga untuk mengingat-ingat, baik melalui ucapan maupun amalan raktis akan menambahkan dalamnya kesan-kesan religious manusia sebagai objek dakwah itu.
Sebelum dikemukan uraian tentang proses belajar secara lebih luas dalam rangkaian kegiatan dakwah/penerangan agama atau tabligh, maka lebih dahulu dikemukan beberapa macam motive yang mempengaruhi prilaku manusia.
C.    Macam-macam motive
Para ahli psikologi individual maupun social/kelompok telah melakukan studi secara luas tentang seberapa banyak dorongan-dorongan kejiwaan yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Dengan nama yang berbeda-beda bagi adanya dorongan-dorongan tersebut mereka menguraikan macam-macam motive antara lain:
1)      motive yang mendorong aktivitas pribadi yang disebut oleh Goldstein self-actualization yang didalamnya terkandung dorongan yang bersifat organis (jasmaniah) dan psikolgis (rohaniah). Motive ini menuntun kepada pemuasan hidup jasmaniah seperti makan dan minum, dan pemuasan rohaniah seperti harga diri, status dan rasa aman serta kebebasan dari segala tekanan dan sebagainya.
Dalam prakek dawah motive tersebut sapat dikembangkan melalui pemberian kesepatan seluas-luasnya kepada orang untuk aktif melakuakan tugas-tugas yang sesuai dengan kemanpuannya dengan pengarahan kepada hal-hal yang tidak berlawan dengan norma susila dan social. Persepsi individual terhadap tugas-tugas yang menjadi pilihan dihargai sewajarnya.
2)      Motive kepada keamanan atau disebut security motive. Motive ini dipandang oleh ahli psikologi sebagai yang paling asasi. Motive ini mengandung keinginan-keinginan yang didasarkan atas kebutuhan seseorang untuk melindungi dirinya dari segala bentuk ancaman terhadap intergitas dan stabilitas hidupnya. Manifestasinya adalah dalam bentuk penghindaran dari bahaya dan resiko, juga dalam sikap hati-hati atau waspada serta konservatif, dan sebagainya.
Bilamana dalam proses dakwah jaminan rasa aman tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk situasi dan kondisi kehidupan di lingkungan masyarakat dimana dakwah sedang dilangsungkan, maka masyarakat dengan mudah akan terdorong untuk menerima bahkan menaruh simpati serta mengaktuasikan ke dalam prilaku pribadinya. Akan tetapi bilamana sebaliknya malah menimbulkan atau mengundang  ancaman dari luar, maka sudah pasti meraka akan menolak bahkan antipasti terhadap kegiatan dakwah.
Biasanya keadaan demikian terjadi dalam situasi dan kondisi suhu politik dan keamanan yang sangat menuntun kepada konforitas kegiatan-kegiatan dawah itu.
Termasuk ke dalam klasifikasi motive tersebut adalah:
a)      motive fisiologis yaitu desakan keinginan yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah. Dengan telah dipuasannya kebutuhan ini maka seseorang  menjadi tenang. Tergolong dalam motive ini adalah rasa lapar, haus, nafsu berkelamin, dan sebagainya dapat dianggap sebagai motive yang timbul secara periodic yang bukan bersifat kronis (tidak henti-hentinya). Sebenarnya dorongan keinginan demikian banyak dipengaruhi oleh factor kebudayaan dan harapan social, misalnya etika dan normal susila dan agama serta kebiasaan/tradisi-tradisi masyarakat. Dengan demikian tidaklah mesti setiap orang yang mengalami dorongan keinginan tersebut alu bebas memenuhi tanpa adanya peraturan dan aturannya. Dalam masyarakat primitife-pun tata cara dan peraturan serta aturan bagi pemenuhan kebutuhan demikian telah ada, apalagi di lingkungan masyarakat beradab.
Penonjolan dalam dakwah perlu ditampakkan dalam pesan dan kesan serta tekanan tentang perlunya tertib hidup social manusia melalui ketaatan kepada segala peraturan dan aturan moral dan kebudayaan yang institutionalized (terlambangkan) dengan menunjukkan nilai-nilainya yang luhur tidak bertentangan denganagama didakwahkan kepada mereka, meskipun sikap bijaksana tetap diperlukan untuk itu.
b)      Motive kepada kepercayaan dan konformitas dipandang oleh banyak ahli psikologi sebagai suatu kekuatan yang cukup memberikan dorongan kepada manusia kearah hidup tentram. Dalam hubungan ini Hubert Bonner menyatakan bahwa belief is a powerful motivating force in society, for it is commonly the source of enduring safety, the desire to believe is a potent motivating force in men’s life[13]. Yaitu: kepercayaan kepada Yang Maha Ghaib adalah suatu tenaga motivasi yang paling kuat dalam masyarakat, karena hal itu pada umumnya merupakan sumber kedamaian yang tahan lama; suatu dorongan keyakinan untuk mempercayai-Nya adalah kekuatan pendorong yang pontensial dalam kehidupan manusia.
Motive untuk mempercayai hal ghaib itu juga dipandang menjadi landasan motivasi kesuaian (konformitas). Manusia sebagai anggota masyarakat atau kelompok baru merasa hidup tenteram aman bilamana perilakunay bersesuai dengan norma-norma tradisi kultural masyarakatnya, oleh karena dengan demikian masyarakat lingkungannya membenarkan atau menyetejuinya; sanksi-sanksi yang berlaku di dalam masyarakat atau kelompoknya memperbesarkan rasa keterikat dalam pribadinya.
Kebutuhan terhadap konformitas (kesesuaian) dengan lngkungan socialnya itu pula sangat mempengaruhi dorongan keinginan kepada hal-hal baru dan kepada perubahan dan dengan dorongan tersebut seseorang tetap berada di dalam garis tindakan yang aman asalkan tindakan yang dilakukannya itu berada di dalam intersitas yang biasa, tidak aneh-aneh. Bilamana penyusuaian diri (self-adjustment) dengan lingkungan social serta kepada perasaan tak menyenangakan akibat tekanan organis (kebutuhannya) tidak menimbulkan kesukaran dan ancaman, maka dia akan tetap hidup aman tenteram dalam diri pribadinya serta dunia sekitarnya. Akan tetapi bila sebaliknya yaitu terjadinya frustasi (kekecewaan) karena dorongan keinginan tidak terpenuhi secara mendalam dan terlalu banyak, maka pribadinya menjadi sangat terganggu oleh karenanya. Dunia sekitarnya berubah menjadi musuhnya, dan inilah sumbernya penyakit kejiwaan manusia.
Dengan demikian jelaslah bahwa kedua motive tersebut merupakan daya kekuatan rohaniah yang dapat menghalagin manusia dari frustasi hidup dalam masyarakat, meskipun manusia dalam keadaan terpengaruh oleh kedua motive ini berada dalam sikap statis, tidak dinamis. Sikap statis demikian hanya bias dihilangkan malalui kesadaran pribadi yang ditanamkan oleh dinamika dakwah yang bersifat persuasive dan aspiratif untuk maju sebagaimana dorongan psikologi firman Allah yang menyatakan:

“Allah tidak akan mengubah nasib suatu masyarakat atau kaum bila mana meraka tidak berusaha mengubah nasib mereka sendiri”.QS 13:11
Motive mempercayai hal-hal ghaib sebenarnya sama dengan dorongan naluri diniyyah (naluri agama) yang oleh Carl Gustuf Jung disebut naturaliter religiosa (kecenderungan asli kepada agama). Naluri ini baru bias dikembangkan bilamana diindividualisasikan dan disosialisasikan melalui proses dakwah dan pendidikan.
3)      Motive untuk mengadakan response. Motive ini berbeda dengan motive untuk hidup aman dan tenteram, karena motive ini timbul bilamana ada dorongan ingin mendapatkan pengalaman baru dalam hidup sekitar, baik dalam hubungan personal maupun impersonal. Dorongan keinginan mengadakan response adalah hubungan yang intim dan bersahabat dengan orang lain (bersifat personal) yang didalamnya mengandung keinginan untuk dicintai, untuk dihagai, untuk dipuji. Dengan telah terpenuhinya dorongan tersebut, seseorng baru merasa puas dan well-adjusted.
Berbeda dengan dorongan nafsu seks yang baru reda bilamana telah dipenuhinya ketegangan jasmaniah, maka dorongan motive ini baru terpuaskan bilamana telah terjadi identifikasi dengan orang lain. Motive tersebut Nampak jelas di dalam perkmabangan masa kanak-kanak di mana identifikasi aktif dengan orng dewasa (misalnya orang tua) merupakan pola pemuasan akan dorongan tersebut. Bilaman telah dewasa maka dorongan tersebut makin meluas kepada orang yang ada di lingkungan masyarakat (misalnya, sahabat karibnya dsb).
Manifestsi dari motive ini Nampak berkambang dalam bentuk kerjasma, saling tolang menolong, rasa keteriakatan kelompok di mana ikatan rasa kasih
sayang di antara satu sama lain merupakan tali pengikatnya.
Dalam proses dakwah motive tersebut sengat berasar pengaruhnya bagi perkambangan sentiment keagamaan dalam kehiduan kelompok, terutama dalam kelagan remaja. Sentimen keagaman ini datap berkembang bilamana didekati malalui organisasi, klab-klab yang dijiwai dengan dakwah keagamaan in action dalam bentuk bentuk kegiatan seni budaya (sandiwara, music, keolahragaan dan sebagainya).
4)      Motive-motive lainnya yang bersifat individual adalah motive untuk mendapatkan pengakuan didalam kelompok atau masyarakat dimana dia hidup. Motive recognition inidimineftasikan dalam berbagai bentuk perilaku misalnya sikap berani, memamerkan diri dalam berpakaian, dalam berpendapat, dan sebagainya. Tergolong ke dalam motive ini adalah self-esteem, yaitu motive yang mendorong untuk mendepatkan penghargaan dari orang lain terhadap dirinya, atau disebut harga diri. Impact yang diperoleh dari pemuasan motive tersebut ialah timbulnya kepercayaan terhadap diri sendiri. Di smping itu motive terhadap status (kedudukan), diberipengertian oleh H. Cantril sebagai hubungan antara nilai-nilai yang telah mempribadi dalam pribadi seseorang dengan norma-norma (kaidah-kaidah) masyarakat. (The relationship between a person’s interiorized values and the norms of his society)[14]. Adapun motive lainnya yang berhubungan erat dengan motive status ialah prestise (harga diri melalui nama baik dirinya); ia merupakan perluasa dan intensifikasi psikologi dari kebutuhan terhadap status.
5)      motive yang mendorong mencari penglaman baru adalah merupaka daya kekuatan psikologi yang membawa manusia kepada usaha pemberahuan dan perubahan.
Menifetasikan dalam bentuk perilaku pada masa kanak-kanak ialah adanya dorongan untuk menambah luas daerah pengalaman seperti sejak periode merebut dunia (menurut istilah Prof.Cassimir) atau periode mengenal dunia sekitar. Usia anak pada masa ini adalah 1 tahun yakni masa kemampuan berjalan. Perhatiannya sangat bersar kepada kenyataan yang ada di sekitarnya dan ia berusaha memperoleh pengetahuan baru tentang dunia sekitar tersebut. Dorongan ini kemudian menjadi kebutuhan unuk memperoleh kelezatan/kesenangan hidup, dorongan memperoleh pengetahuan; dorongan untuk mencapai-cita dsb.
Akan tetapi bila motive ini sangat kuat menguasai seseorang maka ia akan menjadi tidak konversiaonal maka ia berusaha merubah dorongan itu ke dalam nilai-nilai social yang tinggi harganya seperti menghasilkan seni budaya atau penemuan-penemuan ilmiah. Akan tetapi bila sebaliknya ia memperoleh bentuk yang eksentrik atau tidak ada rasa tanggu jawab social maka seseorang mengalami keresahan atau keguncangan pribadi atau disorganisasi pribadi.
Termasuk ke dalam jenis motive ini adalah sexual veriestime yakni dorongan nafsu berahi yang bersifat avonturi (ingin menjelajahi pengalaman seksual sebanyak mungkin). Sebelum nafsu ini terpuaskan maka ketegangan belum terlapaskan. Doraongan demikian bila berlebih-lebihan dapat menjurus kepada penyakit seks yang disebut seks maniak yang membahayakan ketetraman masyarakat. Dalam contohnya yang masih dapat ditoleri adalah pribadi Don Juan yang berwatak selalu berusaha memuaskan nafsu seks terhadap motive lainnya yang masih tergolong ke dalam motive mencari pengalaman baru yaitu dorongan (impuls) ingin mengetahui hal-hal yang belum diketahui. Dorongan ini disebut noetic impulse, yaitu keinginan untuk mengetahui dan mengerti/memahami sesuatu. Semua makhluk yang berakal memiliki motive ini sebagaimana Maslow menyatakan keinginan tersebut merupakan suatu fungsi kecerdasan yang relative tinggi. Manusia ingin meletakkan fakta-fakta ke dalam suatu sistem, menyelidiki arti maksudnya sebagai filosof berbuat demikian.[15]
Self-aktualisasi atau panegasan diri pribadi seseorang juga dipandan sebagai motive yang termasuk kedalam dorongan mencari pengalaman baru. Dengan self-aktualisasi manusia perkembangan hidupnya dapat di-efektif-kan. Dorongan ini ditandai dengan suka bergaul (sociabilitas); mengadakan identifikasi; simpati; dan rasa kasih sayang kepada orang lain.
Dalam hubungan ini Maslow menyatakan bahwa berbeda dengan nafsu boheimian (berahi ala Don Juan) yang tidak punya rasa tanggung jawab social dan tidak dapat terkendalikan arah-tujuannya, maka kebutuhan seseorang terhadap self acutlisasi dalamhubungan dengan perubahan dan pembaharuan terlatek dalam kebutuhan untuk bertumbuh dan berkembang kea rah semakin terbentuk menjadi apa yang mungkin ada pada dirinya (he must be what he can be).[16]
Didalam uasha mempeoleh hasil guna pelaksanaan dakwah motive atau dorongan diatas masih perlu diarah kan kepada proses dakwah yakni mengendalikan, mengarahkan, mengembangkan dan memanfaatkan kemamuan tersebut bagi keuntungan manusia sebagai makhluk individual dan sebagai anggota masyarakat. Daya Tarik dakwah dan tabligh kepada sasarannya sangat ditentukan oleh kemampuan mengendalikan, mengembangkan dan menanfaatkan motive-motive tersebutuntuk diaktulisasikan (digerakkan) dan diorientasikan kepada tujuan dakwah/penegak agama.
Menurut penekanan-penekanan dalam berbagi uraian Prof. Fllmore H. Sandford antara lain menyatakan bahwa dalam urusan mengelola masalah manusia, masalah industry dan semua masalah yang lainnya, usaha mencitkan kondisi di mana motive-motive yang tinggi data diaktifkan maka kondisi demikian itu memunyai konsukuesi yang hebat sekali terhadap tingkat dan kualitas daripada produktifitas dan kreativitas manusia.[17] Demikian pula dalam proses kegiatan dakwah dan penerangan agama, factor mnusias adalah yang menjadi sasaran yang perlu didoroang sedemikian rupa sehingga produktivitas dan kreatifitas hidup individual dan social yang di jiwai oleh agama (religious reference) dapat berkembang karena hal tersebut menjadi kebutuhan hidup manusia itu sendiri. Dengan demikian proses pengarahan/pemanfaatannya dapat
digambarkan sebagai berikut:






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Rasulullah SAW. telah berhasil mengembangkan agama Islam ke seluruh penjuru manusia. Dalam mengembangkan agama Islam, beliau mendapat tantangan yang amat keras, akan tetapi kemudian dunia menyaksikan bahwa dalam waktu yang relative singkat dunia telah menyaksikan agama Islam telah merambat ke wilayah Arab, Asia bahkan wilayah Eropa.
Banyak para ahli psikologi menepatkan motivasi pada posisi determinant (penentu) bagi kegiatan hidup individual dalam usahanya mencapai cita-cita. Diataranya Hubert Bonner menyatakan bahwa motivasi adalah secara fundamental bersifat dinamis yang melukiskan ciri-ciri tingkah laku manusia yang terarah kepada tujuan. Motivasi mengandung arti yang berhubungan dengan ketegangan jiwa, ketidak seimbang, atau gerarkan-gerakan yang harus dilakukan. Dalam motivasi itu terkandung suatu dorongan dinamis yang mendasari segala tingkahlaku individual manusia. Bila terdapat rintangan-rintangan yang menghalagi pencapaian tujuan yang diinginkan, dengan motivasi itu seseorang melipat gandakan usahanya untuk mengatasinya dan berusaha mencapai tujuan itu. Ia merasa terdorong untuk itu sampai ia berhasil atau gagal mencapainya, ia tetap pada usahanya mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam hubungannya dengan pengertian itu maka bilamana seseorang mengapdikan hidupnya kepada kepentingan orang lain misalnya untuk menciptakan hal-hal baru yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, jelaslah ia didorong oleh insting untuk hidup, akan tetapi bilamana ia berbuat merusak orang lain dalam rangka usaha mencapai cita-citanya, maka ia terdorong oleh insting untu mati. Bila mana seseorang tidak dapat berbuat berdasarkan atas doronga instingtif yang bersifat deduktif, maka hal itu disebabkan oleh karena norma-norma masyrakat tidak mengizinkannya. Oleh itu dorongan-dorongan naluriah manusia itu msti dikontrol dengn kekuatan- kekuatan dari luar dirinya misalnya kekuatan social kultural ataupun agama dalam masyarakat, dimana kekuatan dapat mengarahkan jalannya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat.
“motivation as energizing condition of the organism that serve to direct that organism toward the goal or goals of a certain class”
Jadi motive diartikan sebagai suatu kondisi yang menggerakkan suatu makhluk yang mengarahkan kepada sesuatu tujuan atau beberapa tujuan dari tingkat tertentu. Dilihat dari asal kata, motive berasal dari kata “motion” yang berarti “gerakan”.
Menurut Floyd L. Ruch, motivasi itu sangat kompleks dan dapat mempengaruhi manusia ada 3 cara yakni: dapat memungkinkan pola ransangan, terikat dalam suatu kegiatan tertentu, dapat menimbulkan kekuatan.
Para ahli psikologi individual maupun social/kelompok telah melakukan studi secara luas tentang seberapa banyak dorongan-dorongan kejiwaan yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Dengan nama yang berbeda-beda bagi adanya dorongan-dorongan tersebut mereka menguraikan macam-macam motive antara lain:
1)                  Motive yang mendorong aktivitas pribadi,
2)                  Motive kepada keamanan,
3)                  Motive untuk mengadakan response,
4)                  Motive untuk mendapatkan pengakuan,
5)                  Motive yang mendorong mencari penglaman baru.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Bonner, Hubert: “Social Psychology. An Interdisciplinary Approach”, Amerika Book Company. 1953.
Cantril H: “The Psychology of Social Movement”, New York: Wiley. 1941
M. Arifin, Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi, (Jakarta, Bumi Aksara 1990).
Maslow,A.H:”Self Actualiting People, A Study of Psychology Health” Symposia on Tonical Issues.1950
Ruch.Floyd L:”Psychology and Life”. Scott,Foreman and Co, 6 th ed. 1966
Sanford. Fillmore: ”Psychology, A Scientific Study of Man”. Wadworth Publishing Co, Inc, Bolmont, California, 1966
Woodwarth,Robert S.: “Contemporary Schools of Psychology”, Methhueen & Co,Ltd London,1956





[1] Social Psychology. An Interdisciplinary Approach, Hubert bonner, hal. 145-146.
[2] Ibid, Op. Cit., hal. 147.
[3] Psychology A scientific study of Man, Fillmore H. Sandford, hal. 213
[4] Ibid, hal,213.
[5] Ibid, H. Bonner, hal. 148.
[6] Psychology And Life, Floyd L. Ruch, hal. 146
[7] An Experimental analysis of instinctive behavior, Psychol Rev. 1938.
[8] Social Psychology, An Interdisciplinary Approach, Hubert Bonner, hal. 170-171.
[9] Theory of Human Motivation, A. H. Maslow, Psyhol.Rev.1943.
[10] Psychology, A. Scientiffic Study of Man, Fillmore H. Sandford, hal.232, 1965.
[11] Psychology and Life, Floyd, L. Ruch., hal. 140-141.
[12] Contemporary Schools of Psychology, Robet S. Woodworth, op. cit, hal. 355.
[13] Social Pcychology, An Interdisciplinary Approach; Hubert Bonner, hal. 160.
[14] The Psychology of Social Movement, H. Cantril, hal 42
[15] Self-Actualizing people; A study of psychology health; symposia on topical issues, (1950), A.H. maslow, hal. 110.
[16] A. theory of human motivation, a.h. maslow. 382.
[17] Psychology, a scientific study of man, fillmore h. sandford, hal. 242.

No comments:

Post a Comment