Inovasi
adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang
belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan, dilaksanakan oleh
sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat
digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek
kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup
setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto,
1993). Inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dapat dianggap
sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian
mutakhir. Inovasi sering berkembang dari penelitian dan juga dari petani (Van
den Ban dan H.S. Hawkins, 1999). Mosher (1978) menyebutkan inovasi adalah cara
baru dalam mengerjakan sesuatu. Sejauh dalam penyuluhan pertanian, inovasi
merupakan sesuatu yang dapat mengubah kebiasaan.
Segala
sesuatu ide, cara-cara baru, ataupun obyek yang dioperasikan oleh seseorang
sebagai sesuatu yang baru adalah inovasi. Baru di sini tidaklah semata-mata
dalam ukuran waktu sejak ditemukannya atau pertama kali digunakannya inovasi
tersebut. Hal yang penting adalah kebaruan dalam persepsi, atau kebaruan
subyektif hal yang dimaksud bagi seseorang, yang menetukan reaksinya terhadap
inovasi tersebut. Dengan kata lain, jika sesuatu dipandang baru bagi seseorang,
maka hal itu merupakan inovasi (Nasution, 2004).
Rogers
dan Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1987) mengartikan inovasi sebagai gagasan,
tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal,
sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru
atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak dipergunakan atau
diketemukannya pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif,
menurut pandangan individu yang menangkapnya. Baru dalam ide yang inovatif
tidak berarti harus baru sama sekali.
B. Pengertian
Adopsi
Rogers
(1983) menyatakan adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan untuk
menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan
dan penolakan ide baru tersebut. Adopsi juga dapat didefenisikan sebagai proses
mental seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi.
Adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari satu pihak,
disampaikan kepada pihak kedua, sampai ide tersebut diterima oleh masyarakat
sebagai pihak kedua.
Adopsi
dalam penyuluhan perikanan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses
penerimaan inovasi atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap,
maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang
disampaikan penyuluh pada petani atau masyarakat sasarannya.
C. Proses
Adopsi Inovasi
Adopsi
adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak
yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang
mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau
menolaknya kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe
pengambilan keputusan yang khas (Suprapto dan Fahrianoor, 2004).
Mardikanto
dan Sri Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai penerapan atau penggunaan
sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan
komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat
atau diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang
dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya.
Dalam
model proses adopsi Bahlen ada 5 tahap yang dilalui sebelum seseorang mengadopsi
suatu inovasi yaitu sadar (awreness),
minat (interest), menilai
(evaluation), mencoba (trial) dan adopsi
( adoption).
1. Tahap
Sadar
Sasaran
telah mengetahui informasi tetapi informasi tersebut dirasa kurang. Pada tahap ini sasaran mulai
sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. Pada tahap ini
sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal yang baru yang aneh tidak
biasa (kebiasaan atau cara yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung
kekeliruan, cara baru dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatannya, cara
baru dapat mengatasi kesulitan yang sering dihadapi). Hal ini diketahuinya karena hasil
berkomunikasi dengan penyuluh. Tahapan
mengetahui adanya inovasi dapat diperoleh seseorang dari mendengar, membaca
atau melihat, tetapi pengertian seseorang tersebut belum mendalam.
2. Tahap
Minat
Sasaran
mencari informasi atau keterangan lebih lanjut mengenaiinformasi tersebut. Pada
tahap ini sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh
penyuluh. Pada tahap ini sasaran mulai
ingin mengetahui lebih banyak perihal yang baru tersebut. Ia menginginkan keterangan-keterangan yang
lebih terinci lagi. Sasaran mulai
bertanya-tanya.
3. Tahap
Menilai
Sasaran
sudah menilai dengan cara value/bandingkan inovasi terhadap keadaan dirinya
pada saat itu dan dimasa yang akan datang serta menentukan apakah petani
sasaran mencoba inovasi atau tidak. Pada tahap ini sasaran mulai berpikir-pikir
dan menilai keterangan-keterangan perihal yang baru itu. Juga ia menghubungkan hal baru itu dengan
keadaan sendiri (kesanggupan, resiko, modal, dll.). Pertimbangan- pertimbangan atau penilaian terhadap
inovasi dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu
teknis, ekonomis dan sosiologis.
4. Tahap
Mencoba
Sasaran
sudah mencoba meskipun dalam skala kecil untuk menentukan angka dan kesesuaian
inovasi atau tidak. Pada tahap ini sasaran sudah mulai mencoba-coba dalam luas
dan jumlah yang sedikit saja. Sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak
dilakukan sendiri, tetapi sasaran mengikuti (dalam pikiran dan
percakapan-percakapan), sepak terjang tetangga atau instansi mencoba hal baru
itu (dalam pertanaman percobaan atau demosntrasi).
5. Tahap
Adopsi/Menerapkan
Sasaran
sudah meyakini kebenaran inovasi dan inovasi tersebut dirasa bermanfaat
baginya. Pada tahap ini petani sasaran menerapkan dalam jumlah/skala yang lebih
besar. Pada tahap ini sasaran sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal
baru itu, maka ia mengetrapkan anjuran secara luas dan kontinu. Dapat saja
sesuatu tahap dilampaui, karena tahap tersebut dilaluinya secara mental. Tidak semua orang mempunyai waktu,
kesempatan, ketekunan, kesanggupan dan keuletan yang sama untuk menjalani,
kadang-kadang mengulangi proses adopsi sampai sakhir dan mendapat sukses.
Selain proses adopsi inovasi diatas, menurut Rogers dan Schoemaker (1992) menyatakan bahwa proses adopsi dapat terjadi melalui 4 (empat) tahapan yaitu : tahap mengetahui (knowledge), persuasif (persuasive), mengambil keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation) yang selanjutnya diklasifikasikan menjadi empat tahap yaitu :
1. Tahap
mengetahui : petani sasaran sudah mengetahui adanya inovasi dan mengerti
bagaimana inovasi itu berfungsi.
2. Tahap
Persuasi : petani sasaran sudah
membentuk sikap terhadap inovasi yaitu apakah inovasi tersebut dianggap sesuai
ataukah tidak sesuai bagi dirinya.
3. Tahap
Keputusan : petani sasaran sudah terlibat dalam pembuatan keputusan yaitu
apakah menerima atau menolak inovasi.
4. Tahap
Konfirmasi:petani sasaran mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah
dibuatnya. Mungkin pada tahap ini petani sasaran mengubah keputusan untuk
menolak inovasi yang telah di adopsi sebelumnya.
Inovasi
harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh adopter.
Banyak
innovasi yang ditawarkan kepada masyarakat, namun dapat kita lihat bahwa tidak
semua inovasi tersebut menyantuh kedalam masyarakat. Karena inovasi-inovasi
tersebut hanya dibuat atas keinginan-keinginan pihak luar dari masyarakat
tersebut, bukan dari kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian
terjadilah ketidak addopsian innovasi tersebut oleh masyarakat.
Kalau
mengharapkan masyarakat akan mengadopsi inovasi tersebut, para warga masyarakat
harus menyakini bahwa hal itu merupakan kebutuhan yang benar-benar diingikan
oleh mereka. Suatu inovasi akan menjadi kebutuhan apabila inovasi tersebut
dapat memecahkan permasalahan yang mereka hadapi. Sehingga identifikasi dari
persoalan tersebut dapat kta lihat; bahwa sesuatu yang kita anggap masalah,
belum tentu menjadi masalah pula bagi orang lain, kemudian jikapun permasalahan
itu benar adanya yang dirasakan oleh masyarakat, belum tentu penyelesaian yang
ditawarkan seseuai dengan kondisi masyarakat penerimanya.
Inovasi
harus memeberikan keuntungan bagi adopternya.
Soekartawi
(1988) mengatakan bhwa jika benar teknologi baru yang ditawarkan akan
memberikan keuntungan yang relative lebih besar, dari nilai yang dihasilkan
oleh teknologi lama, maka kecepatan adopsi innovasi akan berjalan lebih cepat.
Untuk menemukn innovasi kriteri seperti ini dapat dilakukan dengan cara;
bandingkan teknologi interoduksi dengan teknologi yang sudah ada, kemudian
identifikasi teknologi dengan biaya rendah atau teknologi yang produksinya
tinggi.
Inovasi
harus memiliki kompatibilitas atau keselarasan.
Beberapa
pakar berbeda dalam memaknai kompatibilitas innovasi (teknologi), dimana:
1. Bila
teknologi merupakan kelanjutan dari teknologi lama yang telah dilaksanakan,
maka kecepatan proses adopsi innovasi akan berjlan lebih cepat.
2. Teknologi
harus sesuai dengan penggunaannya.
3. Kompatibilitas
disini dimaksud mempunyai keterkaitan dengan sosilal budya, kepercayaan dan
gagasan yang dikenalkan sebelumnya dan keperluan yang dirasakan oleh adopter.
4. Inovasi
harus mendayagunakan sumber daya yang sudah ada.
Maksudnya
disini adalah ketika adopter menggunakan inovasi tersebut, maka sumberdaya yang
ada disekitar mereka mendukung penggunaan inovasi tersebut.
Inovasi
tersebut terjangkau oleh financial, sederhana, tidak rumit dan mudah
diperagakan. Jadi, semakin mudah teknologi tersebut di praktekkan, maka semakin
cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan.
Inovasi
harus mudah untuk diamati. Jika inovasi tersebut mudah diamati maka banayak
adopter yang mampu menggunakannya dengan meniru tata pelaksanaannya tanpa bertanya
kepada para ahlinya. Dengan demikian akan terjadi proses difusi, sehingga
jumlah adopter akan meningkat.
Faktor
– Faktor yang meperngaruhi aecepatan adopsi diantaranya:
1. Sifat-sifat
atau karakteristik inovasi.
2. Sifat-sifat
atau karakteristik calon pengguna.
3. Pengambilan
keputusan adopsi.
4. Saluran
atau media yang digunakan.
5. Kualifikasi
penyuluh.
Tipe-tipe keputusan adopsi inovasi, yaitu:
1. Keputusan
otoritas ( Authority Decision) Keputusan ini dibuat oleh atasan atau suatu
lembaga, pemerintah, pabrik, sekolah dan sebagainya
2. Keputusan
Individu ( Individual Decision) Keputusan ini dilaksanakan oleh individu/
seseorang terlepas dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh masyarakat
(collective) dalam sistem sosial
3. Keputusan
bersama (Collective Decision) Keputusan ini disepakati dan dilaksanakan secara
bersama atau melalui consensus masyarakat dalam sistem sosial
Kenyataan
bahwa sikap sasaran terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi oleh faktor
internal individu (karakteristik kepribadian individu) dan faktor internal
(faktor-faktor di luar diri individu). Akan tetapi yang lebih dominan
mempengaruhi sikap dan keputusan sasaran terhadap suatu inovasi adalah
faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor eksternal meliputi norma-norma,
kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu
petani dalam sistem sosial.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor intemal (karakteristik individu, motivasi,
keterlibatan dalam organisasi, komunikasi impersonal, terpaan media massa,
tingkat kosmopolitan), faktor ekstemal (kebijakan pemerintah, sistem sosial dan
norma-norma sosial), dan persepsi nelayan terhadap sifat-sifat inovasi
(keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas triabilitas, dan
observabilitas) berpengaruh positif terhadap adopsi inovasi usaha perikanan.
D. Kategori
Adopter
Anggota
sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima
inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima
inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah
pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).
1. Innovators
Sekitar
2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani
mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi. Golongan ini
merupakan golongan yang paling cepat melewati proses adopsi. Orang yang termasuk golongan ini jumlahnya
tidak banyak dalam suatu daerah, satu atau dua orang saja, mungkin juga tidak
ada. Mereka merupakan orang yang maju
sekali, pandai, pengetahuannya luas, usahanya maju, penghasilannya tinggi, kaya
dan pengalamannya luas. Tanah usahanya
luas, mempunyai kegemaran dan kesempatan untuk mencoba hal-hal baru. Sifat istimewanya adalah selalu ingin tahu
dan aktif mencari keterangan kemana-mana.
Petugas penyuluhan sering dibuat kewalahan. Biasanya mereka kurang memperdulikan
orang-orang sekitarnya, tidak aktif menyebar-luaskan innovasi atau pengetahuan
dan pengalamannya.
2. Early
Adopters (Perintis/Pelopor)
Sekitar
13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para
teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi.
Golongan ini merupakan sasaran yang cepat ikuti inovator, pendidikan diatas
masyarakat sekitar, dan mempunyai faktor produksi sehingga mudah untuk
praktikkan hal-hal baru, aktif dalam masyarakat dan supel dalam pergaulan, sumber
advis dan informasi bagi masyarakat lain, mau berbagi pengetahuan sehingga
cocok untuk dijadikan teladan yang selanjutnya menjadi kontak, bersifat
“localite” dalam proses penyebaran inovasi, golongan ini paling membantu
penyuluh perikanan.
3. Early
Majority (Pengikut Dini)
Sekitar
34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi
internal tinggi. Pada golongan ini proses adopsi lebih lambat dibandingkan
golongan penerap dini, biasanya merupakan para tokoh masyarakat setempat, dimana
biasanya tidak mau usahanya gagal untuk menjaga agar citranya tidak buruk,
tingkat pendidikan, pengalaman, dan kondisi sosio ekonominya sedang.
4. Late
Majority (Pengikut Akhir)
Sekitar
34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis,
menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
Pada golongan ini petani ikan yang
kurang mampu, pendidikan rendah bahka masih buta huruf, sifatnya kurang giat
dalam mengetrapkan inovasi baru, harus melihat contoh dari golongan terdahulu,
kurang menggunakan media massa sehingga lambat mengetahui informasi terbaru,
hubungan dengan penyuluh relatif kecil.
5. Laggards
(Kelompok Kolot/Tradisional)
Sekitar
16% adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan
terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas. Golongan ini disebut juga
non adopter, tuan-tuan tanah, masyarakat
yang berpandangan kolot (tradisional), tidak senang terhadap perubahan,
kalau-pun menerima akan terjadi di akhir.
No comments:
Post a Comment