Asal-Usul Berdirinya
Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah
berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567 H/1171 M yang pada
awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika
Utara dan kemudian berpindah ke Mesir. Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah
Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib dan juga
Dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali
bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab
keturunan Fatimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara para
sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para
sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor
diantaranya; pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya
Rasulullah SAW dan ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk
mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi
penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga
Ubaidillah al Mahdi.
Sejarah mencatat bahwa
kelompok fatimiyah lahir paling dahulu dibanding kelompok lain. perlu diingat bahwa
kelompok ini berkaitan dengan Fatimah, putri Nabi Muhammad yang dikawinkan
dengan Ali, kemenakannya. Dari perkawinan itu lahir Hasan dan Husain pendiri
Dinasti Fatimiyah tersebut adalah Ubaedillah, menurut pendapat kaum sunah,
sedangkan menurut para pendukung dinasti itu sendiri, adalah Al-Mahdi,
keturunan Fatimah dengan Ali. Tujuan berdirinya dinasti ini tidak lain untuk
menyingkirkan bani abbasiyah dan mengembalikan kepemimpinan islam ketangan
keluarga Ali. Tuntutan itu dilancarkan oleh kelompok syiah ismailiyah.
Barangkali hal itu dilakukan karena kelompok ismailiyah selama ini senantiasa
berjuang dibawah tanah melawan dinasti abbasiyah, yang dilakukan dari syiria.
Selama abad delapan dan sembilan yang telah lalu, aliran islam ismailiyah
lambat laun mendapat dukungan dari berbagai kelompok dari hampir seluruh dunia
Islam. Sampai akhinya terbentuklah jaringan propaganda yang rapi dari aliran
Ismailiyah itu dan membangun sistem keyakinan isoterik, yang diambil dari
ajaran nabi lewat Ali dan pengikutnya.[1](Islamologi sejarah, ajaran dan
peranannya dalam peradaban umat manusia, Prof. Dr. Abu Su’ud)
Dinasti Fatimiyah
beraliran Syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al Salamiyah
bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke
Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapatan sambutan baik,
terutama dari suku Barber ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi
menumbangkan gubernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart dan
Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.
Sejak semula bani
Fatimiyah telah menyatakan bahwa mereka adalah penguasa-penguasa yang berhak
atas seluruh dunia Islam, dan perpindahan mereka ke Mesir dan Suriah dalam
tahun 969 adalah langkah ke arah realisasi tujuan itu. Selain dari usaha
kemiliteran mereka juga melakukan kampanye propaganda yang padat di seluruh
propinsi-propinsi Asia. Ini dilaksanakan oleh sejumlah besar pendakwah, da’i.
Propagandanya tidak hanya merupakan suatu pemolesan kembali argumen-argumen
lama guna konsumsi rakyat, walau kadang-kadang memang benar demikian. Para da’i
ini beroperasi dalam berbagai tingkat yang tinggi Ismailisme dikemukakan oleh
Bani Fatimiyah sebagai monoteisme yang
dinyatakan dalam krangka-krangka filsafat Yunani. Usaha yang serupa pernah
dilakukan dalam sebuah karya yang
dihasilkan di Basrah dibawah inspirasi Ismailiyah (bukan Fatimiyah), barangkali
dalam paroh kedua abad ke10, yang dikenal sebagai Risalat al-ikhwan as-Safa
(risalah ikhwan suci); ini adalah ensiklopedia mengenai sains-sains Yunani yang
dikerjakan dengan agak serampangan, yang tujuan utamanya adalah untuk
memperlihatkan bagaimana cara memperoleh kebahagiaan di dunia yang akan datang.
Karya yang dihasilkan dibawah Fatimiyah adalah lebih alamiah dan lebih
filsafati.[2] (Kejayaan Islam:kajian kritis dari tokoh orientalis. W.
Montgomery Watt)
Pada awalnya, Syiah
Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah
bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik
keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia
mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan
ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar
belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.
Para Penguasa Dinasti
Fathimiyah
1. Al-Mahdi (297-323 H/909-934 M)
Al-Mahdi merupakan
penguasa Fathimiyah yang cakap. Dua tahun setelah penobatannya, ia menghukum
mati pimpinan propagandanya yakni Abu Abdullah Al-husayn karena terbukti
bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abul Abbas untuk perebutan jabatan
khalifah. Kemudian Al-Mahdi melancarkan pergerakan perluasan wilayah kekuasaan
keseluruh Afrika yang terbentang dari perbatasan Mesir sampai dengan wilayah
Fes di Maroko.
Pada tahun 941 ia
menduduki Alexandria. Kota-kota seperti Malta, Syiria, Sardinia, Corsica dan
sejumlah kota lain jatuh kedalam
kekuasaannya. Pada tahun 920 khalifah Al-Mahdi mendirikan kota baru di pantai
Tunisia dan menjadikannya sebagai Ibu kota Fathimiyah, kota ini dinamakan kota
Madiniyah.
2. Al-Qa’im (323-335 H/934-949 M)
Al-Mahdi digantikan
oleh puteranya yang tertua yang bernama Abul Qasim dan bergelar Al-Qa’im. Ia
meneruskan gerakan ekspansi yang telah dimulai oleh ayahnya. Pada tahun 934 M,
ia mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke daerah selatan pantai Prancis.
Tentara ini berhasil menduduki genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria,
mereka melancarkan pembunuhan, penyiksaan, pembakaran kapal-kapal, dan merampas
budak-budak. Pada saat yang sama ia juga mengarahkan pasukannya ke mesir, namun
pasukan ini berhasil dikalahkan oleh Dinasti Ihsidiyah, sehingga mereka terusir
dari Alexandria.
Al-Qa’im merupakan
prajurit pemberani, hampir setiap ekspedisi militer dipimpinnya secara
langsung. Ia merupakan khalifah Fathimiyah pertama yang menguasai lautan
tengah. Ia meninggal pada tahun 946 M. Ketika itu sedang terjadi pemberontakan
di susa’ yang dipimpin oleh Abu Yazid. Al-Qaim digantikan oleh puteranya yang
bernama Al-Mansyur.
Al-Mansyur adalah
pemuda yang sangat lincah. Ia berhasil menghancurkan kekuasaan Abu Yazid.
Meskipun putera Abu Yazid dan sejumlah pengikut setianya senantiasa menimbulkan
keributan, namun seluruh wilayah Afrika pada masa ini tunduk kepada
kekhalifahan Bani Fathimiyah. Al-Mansyur membangun sebuah kota yang sangat
megah di wilayah perbatasan Susa’ yang dinamakan kota Al-Mansyuriyah.
3. Mu’izz (341-352 H/965-975 M)
Ketika Al-Mansyur
meninggal, puteranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad menggantikan kedudukannya
sebagai khalifah dengan bergelar Al-Mu’izz. Penobatan Al-Mu’izz khalifah
keempat menandai era baru dinasti Fathimiyah. Banyak keberhasilan yang
dicapainya. Pertama kali ia menetapkan untuk mengadakan peninjauan keseluruh
penjuru wilayah kekuasaannya untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Selanjutnya ia menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh demi terciptanya
keadilan dan kemakmuran . Ia menghadapi gerakan pemberontakan secara tuntas
hingga mereka bersedia tunduk kedalam kekuasaan Mu’izz.
Khalifah Mu’izz
meninggal pada tahun 975 M; setelah memerintah selama 23 tahun. Ia merupakan
khalifah Fathimiyah yang terbesar. Ia adalah pendiri dinasti Fathimiyah di
Mesir. Seluruh kerusuhan dan pemberontakan dapat diatasinya, sehingga rakyat
merasa damai dan nyaman dalam pemerintahannya.
4. Al-Aziz (365-386 H/975-996 M)
Al-Aziz menggantikan
kedudukan ayahnya Mu’izz. Ia dicatat sebagai khalifah Fathimiyah yang paling
bijaksana dan pemurah, kedamaian yang berlangsung pada masa ini ditandai dengan
kesejahteraan seluruh warga, baik muslim maupun non muslim. Al-Aziz meninggal
pada tahun 386 H/996 M. Bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti
Fathimiyah.
5. Al-hakim (386-412 H/996-1021 M)
Sepeninggal Al-Aziz, khalifah Fathimiyah
dijabat oleh anaknya yang bernama Abu Al-Manshur Al-Hakim. Ketika naik tahta ia
baru berusia sebelas tahun. Selama tahun-tahun pertama Al-Hakim berada dibawah
pengaruh seorang gubernurnya Yang bernama Barjawan. Barjawan terlibat konflik
dengan panglima militer Ibn Ammar. Setelah berhasil menyingkirkan sang
panglima, Barjawan menjadi pelaku utam pemerintahan Al-Hakim, dikemudian hari
Al-Hakim mengambil tindakan menghukum bunuh terhadap Barjawan lantaran penyalah
gunaan kekuasaan Negara.
6. Al-Zahir (412-426 H/1021-1036 M)
Al-Hakim digantikan oleh puteranya yang
bernama Abu Hasyim Ali dengan gelar Al-Zahir. Ia naik tahta pada usia enam
belas tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt
Al-Mulk. Sepeninggal sang bibi, Al-Zahir menjadi raja boneka ditangan
menteri-menterinya. Pada masa pemerintahan ini rakyat menderita kekurangan
bahan makanan dan harga barang yang tidak terjangkau. Kondisi ini disebabkan
terjadinya musibah banjir yang terus-menerus. Al-Zahir meninggal pada bulan
juni 1036 M. Setelah memerintah enam belas tahun.
7. Al-Mustansir (427-487 H/1036-1095 M)
Al-Zahir digantikan
oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad
yang bergelar Al-Mustansir, pemerintahannya selama 61 tahun merupakan
masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Islam.
8. Al-Musta’li (487-495 H/1095-1101 M)
Putera termuda
Al-Mustansir yang bergelar Al-Musta’li menduduki tahta khalifah sepeninggal
sang ayah. Nizar, putera Al-Mustansir yang tertua. Setelah meninggalnya
Al-Musta’li, anaknya yang masih hijau yang bernama Al-Amir Manshur dinobatkan
sebagai khalifah oleh Al-Afzal. Afzal merupakan perdana menteri yang berkuasa
secara absolut selama dua puluh tahun masa pemerintahan Al-Amir. Ia merupakan
raja Mesir yang sesungguhnya hampir selama lima puluh tahun. Berkat luwesan dan
keadilannya, Mesir menjadi cukup tenang dan makmur, Afzal tetap memegang
kekuasaan terbesar sekalipun khalifah Al-Amir telah dewasa.
Perkembangan dan
Kemajuan Dinasti Fatimiyah
Pekerjaan Fatimiyah
yang pertama adalah mengambil kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah
keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali bin Abi Thalib. Tugas yang
selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai seorang Jendral bernama Jauhar
Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam saat itu.
Berat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir dapat direbut dalam masa yang pendek.
Tugas utamanya adalah:
1) Mendirikan ibu kota baru yaitu Kairo.
2) Membina suatu universitas Islam yaitu
Al-Azhar.
3) Menyebarluaskan ideologi Fatimiyah,
yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria, dan Hijaz.
Setelah itu baru
kahalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362 H/973 M memasuki kota Iskandariyah,
kemudian menuju Kairo dan memasuki kota baru. Tiga tahun kemudian Muiz
meninggal digantikan oleh Aziz. Sesudah itu digantikan oleh Al-Hakim yang
melanjutkan pembangunan daulah Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun.
Jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah, yang berfungsi sebagai
akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Baghdad. Dilengkapi dengan
perpustakaan yang bernama Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku
tentang bermacam-macam ilmu. Lahir bermacam-macam sarjana dalam bermacam-macam
ilmu, diantaranya yang terkenal adalah Ibn Haitsam yang di Barat disebut
Alhazen. Bukunya Kitab al-Manazhir mengenai ilmu cahaya diterjemahkan kedalam
bahasa Latin di masa of Cremona dan disiarkan tahun 1572. [4](sejarah islam
klasik perkembanagan ilmu pengatahuan Islam, Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto)
Pada masa pemerintahan
Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama dipandang
sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat
memperhatikan masalah keberagaman masyarakat meskipun mereka berstatus sebagai
warga negara kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani, Turki, Sudan.
Sementara itu, agama
yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman Syi’ah
Ismailiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para missionaris Daulah
Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil meraih
pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan Daulah Fatimiyah dipandang sebagai
era kebangkitan dan kemajuan mazhab Ismailiyah.
Setelah Fustat bagian
utara ditentukan sebagai ibu kota kekhalifahan Fatimiyah yang baru. Mereka
bertekad untuk membangun kekaisaran Islam yang baru. Selanjutnya mereka
menyebut ibu kota baru itu Al-Kahirah, yang berarti sang penakluk. Secara
bahasa sama dengan kata Mars. Nama itu kemudian lebih gampang diucapkan dengan
Kairo. Sejak itu penampilan Fustat makin cemerlang, dan mampu menjadi pesaing
kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah.
Sebagai pusat pengembangan intelektualdan keilmuan kota Kairo telah membangun
Al-Azhar sebagai Universitas-Mesjid yang sangat potensial. Pada mulanya selama dua abad Al-Azhar telah memainkan
peranan penting sekali sebagai pusat propaganda ajaran Ismailiyah oleh Dinasti
Fatimiyah. Islamologi sejarah, ajaran dan peranannya dalam peradaban umat
manusia, Prof. Dr. Abu Su’ud)
Di masa khalifah ke-8
Mustansir pengembagan ilmu semakin semarak dengan perpustakaan negara yang
dipenuhi dengan 200.000 buah buku. Zaman khalifah-khalifah ini Mesir mengalami
kemakmuran. Perdagangan juga berkembang kesegala arah, ke India, ke Italia, dan
Laut Tengah Barat, dan kadang-kadang ke Byzantium. Kota Kairo menjadi kota
internasional yang berkembang produksi-produksinya. Kemakmuran penduduknya juga
merangsang timbulnya pemikiran dari seluruh dunia Islam karena semangat
intelektualnya dan semangat toleransinya. Ahli Zimah terutama umat Kristen dan
Yahudi mendapat perlakuan yang baik sehingga umat Kristen diperbolehkan
membangun gereja. Beberapa diantara mereka ada yang diangkat menjadi gubernur
di antara mereka ada yang diangkat menjadi gubernur diantaranya Menasseh,
seorang Yahudi, sebagai gubernur Syiria pada zaman Al-Aziz. Bahkan Al-Aziz
sendiri mempunyai istri yang beragama Kristen.
Pada masa Al-Aziz
mesjid Al-Azhar mengalami perubahan dasar. Keistimewaan mesjid ini, ia dimulai
sebagai sebuah mesjid dan berkembang
menjadi sebuah universitas. Al-Azhar yang dibangun tahun 970 M sebagai
mesjid baru, lama kelamaan berkembang menjadi pusat pendidikan tinggi Islam
yang terus berlanjut sampa sekarang. Semula perguruan tinggi Al-Azhar
dimaksudkan untuk menyebarluaskan doktrin Syi’ah, namun kemudian oleh
Salahuddin al-Ayyubi diubah menjadi pusat pendidikan sunni sampai sekarang.[6]
.(sejarah islam klasik perkembanagan ilmu pengatahuan Islam, Prof. Dr. Hj.
Musyrifah Sunanto)
Sepanjang kekuasaan Abu
Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian.
Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai
pemerintahan di Mesir. Dibawa kekuasaannyalah Dinasti Fatimiyah mencapai puncak
kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at
sepanjang wilayah kekuasaannya yang terbentang dari Atlantik hingga Laut Merah,
juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus, bahkan di Mosul. Kalau
dihitung-hitung, kekuasaannya meliputi wilayah yang sangat luas.
Di Mesir sendiri era
Fatimiyah berlangsung selama sedikit lebih dari dua abad dan merupakan zaman
kemakmuran. Mesir tidak mengalami kerusuhan yang merongrong kehidupan
sehari-hari seperti di Irak dan Suriah. Perdagangan berkembang dan didorong
oleh pemerintah dan perdagangan itu ke segala arah, ke India melalui laut
merah, ke Italia melalui Laut Tengah Barat, dan kadang-kadang ke kerajaan
Bizantium. Karena sikap rezim yang toleran, maka zaman itu adalah zaman vitalitas
intelektual yang tinggi. Toleransi itu terlihat antara lain, dalam kenyataan
bahwa di antara wazir-wazir yang banyak itu terdapat yang beragama Kristen,
satu atau dua bekas pemeluk Judaisme dan bahkan seorang Imamiyah, sementara
orang-orang Yahudi memegang jabatan-jabatan tinggi.[7](Kejayaan Islam:kajian
kritis dari tokoh orientalis. W. Montgomery Watt)
Masa Kemunduran dan
Runtuhnya Dinasti Fatimiyah
Gejala-gejala yang
menunjukkan kemunduran Dinasti Fatimiyah telah terlihat dipenghujung masa pemerintahan
Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan Al-Muntasir yang
terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada masa
pemerintahan Al-Adid 567 H/1171 M.
Menjelang pertengahan
abad ke-11 bani Fatimiyah mulai dibingungkan oleh masalah yang tidak bisa
berhasil diselesaikan oleh berbagai dinasti di Timur. Masalah bagaimana
mengendalikan tentara profesional. Bahkan di Mesir tentara Turki menguasai
keadaan, walau terdapat juga orang-orang Sudan, Berber dan Armenia. Terdapat
persaingan sengit antara kelompok-kelompok ini, yang kadang-kadang ecah mnjadi
pertempuran. Setelah 1058 kekuasaan boleh dikata berada ditangan klik-klik
militer, yang tidak memahami kebutuhan negara yang sebenarnya. Setelah suatu
bencana kelaparan yang hebat dari 1065 sampai 1072 khalifah al-Mustansir
(1035-1094) meminta bantuan seorang Jendral dari suku Armenia bernama Badr
al-Jamali, yang menjabat gubernur Acre. Orang ini segera berlayar ke Mesir
dengan pengawal armenia dan sepasukan tentara yang setia. Sebelum maksud
pemanggilannya oleh Mustansir diketahui dia telah menangkap dan menghukum mati
para Jendral Turki dan pejabat-pejabat Mesir yang mungkin menimbulkan masalah.
Dengan tindakan-tindakan tegas lainnya dan kekuasaan yang kuat dia memperbaiki
kemakmuran sekedarnya. Dia biasanya disebut sebagai pemimpin militer (amir
al-juyush), walau dia mengurusi pemerintahan dan dakwah, yaitu propaganda
religio-politis. Tahun 1094 putranya Al-Afdal, atau Al-Malik Al-Afdal,
menggantikannya dan meneruskan kemakmuran negara sampai wafatnya tahun 1121.
Setelah itu keadaan merosot dengan cepat, dan tahun 1171 Bani Fatimiyah
digantikan oleh Salahuddin Al-Ayyubi.[8](Kejayaan Islam:kajian kritis dari
tokoh orientalis. W. Montgomery Watt)
Adapun faktor yang
menyebabkan kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari
faktor internal dan eksternal:
1. Faktor internal
Faktor internal yang
paling besar dalam menghantarkan kemunduran Dinasti Fatimiyah adalah
dikarenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah
tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para
pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para
khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk
melakukan ekspansi.
2. Faktor eksternal
Adapun faktor eksternal
yang menjadi penyebab runtuhnya Dinasti Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan
Nur al-Din al-Zanki adalah gubernur Syiria yang masih berada dibawah kekuasaan
bani Abbasiyah. Popularitas Al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan
pasukan salib atas permohonan khalifah Al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan
tentara salib.
Dinasti Fatimiyah
berakhir pada tahun 567 H/1171 M. Untuk mengantisipasi perlawanan dari kalangan
Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan
sebagai pusat pemerintahan dan militer, yang kini bangunan benteng tersebut
masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral Qadim (Mesir Lama) yang terletak
tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di
Qatamiyah.
Dinasti Fatimiyah
merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya,
dinasti ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan
Dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukan
oleh Dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.
Dalam masa
pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah sangat konsern dengan pengembangan paham
Syi’ah Ismailiyah. Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di
jajaran pemerintah dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya
ini cukup berhasil yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia
menerimanya meskipun berasal dari non muslim.
Kemunduran Dinasti
Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan para
khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh
kebijakan para wazir sementara para khalifah hanya hidup menikmati kekuasaanya
dalam istana yang megah.
E. Pemaknaan Batin Bahasa Arab Al-Qur’an
Bahasa Arab mempunyai
peran yang sangat besar dalam kehidupan muslim di berbagai belahan dunia. Ismail
dan Lois Lamya al-Faruqi secara tepat
menggambarkan fenomena ini sebagai berikut:
Dewasa ini bahasa Arab
merupakan bahasa daerah sekitar 150 juta orang di Asia Barat dan Afrika Utara
yang merupakan dua puluh dua negara yang menjadi anggota Liga Negara-Negara
Arab. Di bawah pengaruh Islam, bahasa ini menentukan bahasa Persia, Turki,
Urdu, Melayu, Hausa dan Sawahili. Bahasa Arab menyumbang 40-60 persen kosakata
untuk bahasa-bahasa ini, dan kuat pengaruhnya pada tata bahasa, ilmu nahwu dan
kesustraannya. Bahasa Arab merupakan bahasa religius satu milyar muslim di
seluruh dunia, yang diucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bahasa ini juga
merupakan bahasa hukum Islam, yang setidaknya dalam bidang status pribadi,
mendominasi kehidupan semua Muslim. Akhirnya inilah bahasa kebudayaan Islam
yang diajarkan di beribu-ribu sekolah di luar dunia Arab. Dari Sinegal sampai
Filipina, bahasa Arab dipakai sebagai bahasa pengajaran dan kesustraan dan
pemikiran di bidang sejarah, etika, hukum, dan fiqih, teologi dan kajian kitab.
Bahasa Arab tersusun
dalam sistem simbolik. Kosa kata yang dipakai dalam bahasa adalah simbol bagi
makna yang berada di baliknya. (Al-Quzwaini, Al-Idloh fi Ulum il-Balaghah
“Beirut: Dar al-jail, 1993), h. 149). Ibarat kata adalah sebuah badan, maka makna
adalah ruhnya. (Al-Quzwaini, Al-Idloh
fi Ulum il-Balaghah “Beirut: Dar al-jail, 1993), h. 152). Karena itu sebuah
kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak dipisahkan dari konsep
maknanya. Kosakata apapun tidak akan berfungsi sebagai simbol jika tidak
dipisahkan dari konsep maknanya. Kosakata apapun tidak akan berfungsi sebagai
sebuah simbol bagi seseorang yang tidak mengatahui maknanya. Bahasa Arab yang
dipakai al-Qur’an misalnya, tidak akan berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan
Ilahi bagi siapa pun yang tidak mengerti bahasa Arab. Karena itu betapapun
tingginya nilai sastra al-Qur’an, berhadapan dengan mereka, al-Qur’an tidak
dapat menyampaikan satu pesan pun.
Sistem simbolik bahasa
Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti pula bahwa bahasa
Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab. Pemakaian bahasa
Arab oleh al-Qur’an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur’an sangat terkait
pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada pemakaian kosakata
bahasa arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab. Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa
Al-Qur’an dengan budaya Arab ditunjukkan dalam transformasi pesan-pesan Ilahi
melalui budaya masyarakat Arab.
Dakwah Pada Masa Daulat Utsmaniyyah
Dakwah Pada Masa Daulat Utsmaniyyah
No comments:
Post a Comment