BAB I
PENDAHULUAN
Firman Allah, yang artinya:
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya.
Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.”
(QS. At
Taubah: 108)
Sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Tabuk, orang-orang munafik
semakin pupus harapan untuk bisa mengalahkan kaum muslimin. Akhirnya mereka
mendirikan sebuah masjid dalam rangka memecah belah barisan kaum muslimin.
Mengetahui siasat buruk orang-orang munafik, Rasulullah memerintahkan para
sahabat untuk meruntuhkan masjid tersebut. Masjid ini dikenal dengan masjid
dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk
melaksanakan shalat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut
dihancurkan. Kemudian Lokasi bangunan masjid Dhirar dijadikan tempat pembuangan
sampah dan bangkai binatang.
Demikian akhir dari masjid yang
didirikan atas dasar kemunafikan dan niat yang tidak baik, niat untuk memecah
belah umat Islam, melakukan propaganda-propaganda yang memicu permusuhan di
antara sesama muslim. (A. Khoiru Anam)
Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk masuk dan shalat di
masjid dhirar, yang dibangun untuk tujuan makar dalam rangka merusak barisan
kaum muslimin, padahal itu berupa masjid maka lebih terlarang lagi jika itu
adalah gereja. Sementara Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk maksiat
kepada Allah.
Rumusan
masalah:
1.
Bagaimana
hukum masuk gereja?
2.
Benarkah
ada ulama membolehkan menghadiri acara peribadatan non-muslim tapi tidak
mengukuti acara tersebut?
Tujuan
makalah:
1. Sejarah pemusnahan tempat maksiat
2. Mengkaji tentang hukum memasuki gereja.
3. Mempelajari pendapat para ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah
Pemusnahan Tempat Yang Dimurkai Allah
Ibnu Katsir meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, Urwah, Qatadah, dan
lainnya bahwa di Madinah ada seorang pendeta yang bernama Abu Amir dari
Khazraj. Dia adalah seorang pemeluk nasrani yang memilki posisi penting di
kalangan kaum Khazraj.
Ketika Rasulullah SAW masuk ke Madinah, menghimpun kekuatan islam dan
membangun peradaban kaum muslimin disana, Abu Amir merasa tidak suka dengan
keberadaan Rasulullah SAW dan menunjukkan bibit permusuhan. Kemudian dia pergi
ke Mekkah untuk mengumpulkan dukungan kaum Kafir Quraisy untuk melawan
Rasulullah SAW.
Melihat Dakwah rasulullah yang sudah menyebar luas, semakin kuat dan
maju, diapun pergi mencari dukungan kepada Raja Romawi, Heraclius. Heraclius
menyambut baik kedatangan Abu Amir dan menjanjikan apa yang diinginkannya. Abu
Amirpun tinggal di Negeri Heraclius sembari mengendalikan kaum munafik di
Madinah
Abu Amir mengirim sebuah surat kepada kaum munafik Madinah. Ia
mengabarkan bahwa Heraclius akan memberi apa yang mereka inginkan. Abu Amir
memerintahkan kaum munafik untuk membuat markas tempat mereka berkumpul untuk
merencanakan aksi-aksi jahat mereka kepada kaum muslimin.
Kaum Munafik kemudian membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid
Dhirar. Masjid tersebut dibangun di dekat masjid Quba'. Ketika masjid Dhirar
telah berdiri, kaum munafik menemui Rasulullah SAW dan meminta beliau untuk
Shalat di masjid Dhirar sebagai tanda persetujuan Rasul atas berdirinya masjid
tersebut. Mereka berdalih masjid ini didirikan untuk orang-orang yang tidak
dapat keluar saat malam sangat dingin.
Pada waktu itu Rasul hendak berangkat ke Tabuk, dan beliau mengatakan
kepada kaum munafik, "Kami sekarang mau berangkat, Insya Allah nanti
setelah pulang". Allah melindungi Rasul untuk tidak shalat di masjid
tersebut.
Beberapa hari sebelum Rasulullah SAW tiba di Madinah, Jibril turun
membawa berita tentang masjid Dhirar yang sengaja dibuat untuk memecah belah
kaum muslimin. Rasulullah SAW kemudian mengutus Sahabat untuk menghancurkan
masjid tersebut sebelum Rasul tiba di Madinah. Berkenaan dengan Masjid ini
turunlah Firman Allah SWT : "Dan (diantara orang-orang munafik itu) ada
orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada
orang-orang mukmin), dan karena kekafirannya, dan untuk memecah belah orang-orang
mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya
sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, 'kami tidak menghendaki selain
kebaikan. 'Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka adalah pendusta
(dalam sumpahnya). Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamnya.
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba') sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. di dalamnya ada orang-orang
yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih."
(At-taubah : 107-108)
Dari kisah diatas bisa kita simpulkan bahwa Kaum Munafik telah melakukan
perbuatan konspirasi kejahatan untuk memerangi dan memcah belah Rasulullah SAW
dan kaum muslimin. karena itu Rasulullah SAW tidak membiarkan tindakan ini, dan
langsung mengambil tindakan tegas dan keras. Dalam menyikapi makar jahat dan
konspirasi kaum munafik yang membahayakan kaum muslimin, kita sebagai umat
islam harus tegas tanpa kompromi dalam menghancurkan setiap perangkat jahat dan
tipu daya yang mereka bangun.
Orang-orang munafik senantiasa bersujud di telapak kaki penjajah asing,
orang-orang kafir, untuk membantu mereka memerangi umat muslim. Tetapi, ketika
bertemu kaum muslimin, mereka bersikap seperti saudara, yang sama-sama mengagungkan
agama islam. Tetapi bila ada kesempatan, mereka akan menusuk kaum muslimin dari
belakang.
Selain itu, tindakan Rasulullah SAW terhadap masjid Dhirar menujukkan
perlunya menghancurkan tempat-tempat kemaksiatan, tempat yang tidak diridhai
Allah SWT, tempat yang dapat membahayakan kehidupan dan kemashalahatan umat
islam, sekalipun tempat tersebut disembunyikan dan disampuli dengan berbagai
kebaikan sosial.
Kalau Rasulullah SAW saja membakar bangunan masjid Dhirar, Umar Ibnu
Khattab juga pernah membakar satu desa yang menjual minuman keras (Khamr),
apalagi tempat-tempat kemaksiatan, apalagi tempat-tempat Kemesuman/Prostitusi,
apalagi tempat-tempat Perjudian yang digelar secara terang-terangan. dan
untuk hal ini sudah tidak ada perdebatan lagi diantara ulama muslimin.
Tempat-tempat kemaksiatan yang menggelar dosa secara terang-terangan
yang membawa banyak mudharat sudah seharusnya ditutup. Kita sebagai umat islam
sudah seharusnya juga bersatu dan sama-sama berkontribusi dalam mengupayakan
penutupan tempat-tempat yang dapat membuat Allah murka. Saatnya bergerak dan
bersatu bersama-sama sebagai satu kesatuan Umat muslim yang peduli peradaban
yang bersih.
2. Hukum
memasuki gereja.
Para ulama sepakati bahwa masuk ke dalam
rumah ibadah agama lain pada saat orang-orang kafir itu sedang menjalankan
ritual agama hukumnya haram. Sedangkan bila di dalam rumah ibadah itu sedang
tidak ada ritual agama, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian memakruhkan,
sebagian membolehkan dan sebagian lagi mengharamkan secara mutlak.
1)
Haram
Ketika Ada Peribadatan
Ketika sedang ada peribadatan, maka para
ulama sepakat mengharamkan seorang muslim masuk ke dalam rumah ibadah agama
lain.
a.
Al-Quran
Alasan pengharamannya jelas sekali, yaitu
kita dilarang ikut dalam peribadatan agama lain. Dan Allah SWT telah menegaskan
hal ini dalam Al-Quran Al-Karim.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لاَ أَعْبُدُ مَا
تَعْبُدُونَ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, Aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan
untukkulah agamaku". (QS.
Al-Kafirun : 1-6)
b.
Fatwa
Umar
Sedangkan hukum memasuki tempat ibadah orang
kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka adalah haram.
Keharaman ini berangkat dari perkataan shahabat Umar bin Al-Khattab
radhiyallahuanhu.
"Janganlah
kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan
hari agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka."
2)
Ketika
Tidak Ada Peribadatan : Khilaf
Sedangkan bila tidak ada akfitas ritual
peribadatan di dalam rumah ibadah itu, maka para ulama berbeda pendapat dalam
hukum memasukinya. Jumhur ulama umumnya membolehkan hal itu, namun pandangan
mazhab Al-Hanafiyah memakruhkannya.
a.
Jumhur
Ulama : Boleh
Jumhur ulama baik dari mazhab Al-Malikiyah
dan Al-Hanabilah serta sebagian ulama Al-Syafi'iyah berpendapat bahwa seorang
muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya.
Di antara dasar kebolehan memasuki rumah
ibadah agama lain adalah :
·
Rasulullah
SAW Shalat di Depan Ka’bah
Ketika Rasulullah SAW masih tinggal di
Mekkah, saat itu Ka’bah masih dikelilingi dengan 360 berhala. Boleh dibilang
bahwa saat itu Ka’bah lebih merupakan tempat ibadah orang kafir, ketimbang
rumah ibadah agama Islam. Namun beliau SAW tetap datang dan masuk ke Ka’bah.
Bahkan beliau SAW shalat di depan Ka’bah, padahal di sekeliling beliau terdapat
berhala yang begitu banyak. Hanya saja beliau tidak mau ikut dalam ritual
ibadah yang dikerjakan oleh orang kafir jahiliyah. Sehingga ketika orang-orang
jahiliyah sedang menjalankan ritual ibadah mereka, beliau SAW tidak turut
campur.
·
Rasulullah
SAW Masuk Masjid Al-Aqsha
Walaupun di dalam Al-Quran tetap disebut
dengan istilah Al-Masjid Al-Aqsha, namun ketika Rasullullah SAW di-isra’-kan
kesana, sebenarnya saat itu wujud masjid itu lebih merupakan tempat ibadah
orang-orang Nasrani. Faktanya saat itu memang belum ada orang yang beragama
Islam di tempat itu, yang ada hanyalah pemeluk agama nasrani, alias kristen.
Maka kedudukannya tempat itu lebih merupakan rumah ibadah agama Kristen. Pada
saat itu dakwah Nabi dan penyebaran Islam memang belum mencapai tempat sejauh
itu. Peristiwa isra’ itu terjadi menurut para sejarawan, kurang lebih satu
setengah sebelum hijrah. Jangankah Palestina, Madinah pun belum mengenal agama
Islam. Namun diriwayatkan bahwa beliau SAW pada saat isra; itu masuk ke
dalamnya, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau shalat sunnah di
dalamnya.
·
Umar di
Masjid Al-Aqsha
Ketika Rasulullah SAW wafat, akhirnya beberapa
tahun kemudian barulah dakwah Islam masuk ke Palestina, hingga Masjid Al-Aqsha
secara resmi diserahkan kepada umat Islam lewat tangan Umar.
Pada saat itu Umar memang menolak untuk
mengerjakan shalat di dalamnya, namun alasannya bukan karena keharamannya,
melainkan karena untuk menjaga perasaan dan hati para pemeluk nasrani. Selain
itu beliau sendiri lebih ingin shalat di lokasi dimana Rasulullah SAW take-off
menuju Sidratil Muntaha, karena pastilah tempat itu punya nilai khusus.
Akhirnya di tempat itu didirikan sebuah
masjid, yang diberi nama masjid Umar. Lokasinya hanya bersebelahan saja dengan
masjid Al-Aqsha yang tadinya rumah ibadah agama nasrani.
·
Syarat
Tapi sebahagian yang lainnya mensyaratkan
harus ada izin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. Oleh karena itu
hukum memasuki gereja seperti halnya untuk menghadiri perkawinan atau bertugas
melakukan pekerjaan tertentu, bukanlah sesuatu yang diharamkan. Syaratnya
adalah orang muslim tersebut tidak melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan
aturan-aturan agama.
Meskipun demikian, sebaiknya dia tidak
melakukannya kecuali jika dianggap perlu dan mendesak.
b.
Mazhab
Al-Hanafiyah : Makruh
Ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah
menyatakan bahwa makruh hukumnya seorang muslim memasuki gereja atau tempat
ibadah orang kafir.
Yang menjadi dasar kemakruhannya bukan karena
seorang muslim tidak punya hak untuk memasukinya. Namun dasarnya karena tempat
ibadah agama lain itu merupakan tempat berkumpulnya setan.
Oleh karena itu pada dasarnya sekedar masuk
ke dalam rumah ibadah bukan haram hukumnya, tetapi makruh karena menghindar
dari kumpulan setan.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment